Entah memang pagi ini lebih dingin dari pagi biasanya, atau justru kondisi Mentari yang tidak baik-baik saja. Mentari yang merasa kedinginan memutuskan mengenakan sweeter hoodie merah muda untuk membantunya menghangatkan tubuh. Jarum jam menunjukkan pukul lima pagi lewat tiga puluh menit, Mentari sudah siap untuk berangkat sekolah.
"Mang, boleh anterin saya ke sekolah?"
Seorang pria dengan usia berkepala empat yang tengah memanaskan mobil di carport sempat terlonjak, merasa heran dengan kehadiran Mentari yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Bahkan pria itu beberapa kali mengerjap memastikan bahwa dia tidak salah mengenali gadis itu.
"Mang Anim ini kenapa sih?" Mentari tersenyum gamang. "Saya Mentari."
Mang Anim-yang menjadi supir pribadi di rumah ini menggaruk tengkuknya. "Abis saya kaget, Non, liat Non pagi-pagi gini udah siap berangkat ke sekolah."
Mentari menanggapinya hanya dengan seulas senyuman tipis. Pantesan aja hawa dingin kerasa banget, masih lumayan subuh ternyata.
Di tengah perjalanan yang menenangkan di pagi ini, Mentari membuka pintu imajinasinya. Disandarkannya kepala Mentari ke jok mobil seraya membayangkan mama berada di sampingnya.
"Mentari, sekuat apa pun kamu ingin merubah segalanya, ingat, kita hanya manusia biasa yang tak layak melawan takdir." Bayangan mama yang berkata demikian terasa nyata. Walaupun itu hanya sebuah fatamorgana. "Kamu itu bukan gadis yang harus kesulitan menghidupi diri. Kamu tidak dituntut apa pun. Kamu hanya perlu peduli pada masa depan yang penuh kebahagiaan, dan juga bersyukur. Kamu harus percaya, jika saat ini ikhlas memenuhi perasaan kamu, suatu saat nanti kebahagiaan yang tidak pernah kamu bayangkan akan menimpa kamu."
Mentari tersenyum kecut menanggapi ucapan mama. Walaupun mama benar-benar ada disampingnya dan berkata demikian, Mentari akan tetap bersikap seperti ini. Mama kenapa benar-benar pergi?.
Sosok mama dalam imajinasi Mentari itu kembali berkata, "Ada pertemuan, ada kepergian. Itu hukum alam yang tidak bisa dibantah. Mentari hanya harus pasrah dan bersyukur. Mentari tidak tahu bagaimana seseorang yang nantinya menunggu Mentari di masa depan. Mentari harus bisa paham, bahwa rencana Tuhan lebih baik dari apa yang kita rencanakan. Hidup juga tidak hanya tentang kebahagiaan. Bahagia dan sedih juga tidak sempurna, selayaknya manusia di muka bumi yang tidak ada yang sempurna."
Setetes cairan bening merembes membasahi kedua pipi Mentari yang memerah. Ia semalaman ingin menumpahkan lara yang dirasakannya, tapi tertekan untuk menumpahkannya. Seandainya Mentari menumpahkan laranya saat tadi malam, maka tidur lelapnya akan hilang sepenuhnya. Mentari tidak suka menumpahkan lara, karena ia akan berakhir menangisi hal-hal yang kecil.
"Suatu hal yang menyenangkan bukanlah kesempurnaan, tapi menjalani semuanya dengan keikhlasan," ucap Mentari dengan pelan.
--------
"Rean!" Maureen dengan amarah yang memuncak menjadi pusat perhatian saat memasuki ruangan kelas XII IPA 1.
"Kenapa lo!?" sergah Rayhan yang sontak berdiri dari duduknya.
Maureen yang memiliki tujuan utama kepada Rean menghampiri lelaki itu yang tengah fokus pada ponselnya. "Gila ya lo!!!" Tangan kanannya yang sudah melayang dengan cepat dicekal oleh Rean.
"Kenapa?" Rean mengangkat kedua alisnya dengan wajah datar bak seseorang berdarah dingin.
"Lo yang bikin gue semalaman tersiksa!" Maureen menekan kata demi kata yang diucapkannya dengan nada se-pelan mungkin. "Gue gak ada urusan sama lo."
"Lo yang mulai duluan!" Rean membentak, membuat Maureen nyaris tak berkutik. "Lo pikir gue gak tahu aksi bejat lo yang selalu gangguin Vina! Walaupun lo seorang penguasa di sekolah ini, tapi gue gak suka seorang kriminal dipertahankan!" Rean lantas menghempaskan tangan Maureen yang dicekalnya dengan kasar. "Gue gak puas karena lo gak dapet sangsi apa pun!"
"Sebegitu tulusnya lo meranin diri sebagai seorang lelaki sejati." Maureen tertawa hambar.
"Maksud lo apa?"
"Kepura-puraan lo sama Vina, apa itu gak termasuk nyakitin?"