HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

halsa
Chapter #41

Letter of Invitation

Mencintai dalam sepi

Dan rasa sabar mana lagi

Yang harus kupendam dalam

Mengagumi dirimu

Melihatmu genggam tangannya

Nyaman di dalam pelukannya

Yang mampu membuatku

Tersadar dan sedikit menepi

Earphone yang menyumpal telinga kanan Mentari terlepas begitu saja. Lagu galau yang mengiringi langkahnya tetap mengalun karena telinga kirinya masih tersumpal earphone. Mentari berdiam diri dengan pandangan nanar ke arah depannya. Saat ini ia hanya ingin galau, apa salahnya?

"Minta waktunya, boleh?"

Dilihatnya seseorang yang barusan berucap membuat gundah-gulana menyerang perasaan Mentari. Bahkan Mentari baru menyadari earphone-nya terlepas karena seseorang itu melepasnya.

"Sorry gue lepas earphone lo."

Tiga minggu telah berlalu. Tidak ada laki-laki yang sekarang berhadapan dengannya. Entah suatu kebetulan mereka tak bertemu dalam waktu tiga minggu, atau memang laki-laki itu menghindarinya. Suara lelaki itu pun tampak lebih serak dari biasanya. Atau mungkin Mentari lupa bagaimana laki-laki itu bersuara.

"Oh iya, selamat ya atas kenaikan kelasnya." Laki-laki itu kembali berdialog.

Mentari merotasikan bola matanya jengah. Laki-laki yang selama tiga minggu ini tak bertemu terasa berbeda. Laki-laki itu lebih lembut dari biasanya. "Bisa balikin earphone gue?" Mentari mengulurkan tangannya.

Rean, laki-laki itu hanya mengangguk. Lantas dia menyerahkan benda pipih berwarna putih itu pada pemiliknya. "Minta waktunya?"

"Gak ada waktu." Mentari melenggang pergi begitu saja menyusuri aula sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman kenaikan kelas beserta pengumuman hasil ulangan akhir semester yang diadakan satu minggu lalu. Mentari bukan hanya berhasil naik ke kelas dua belas, tapi mendapat peringkat tiga. Bagaimanapun Mentari memiliki otak jenius. Terlebih ia mengidamkan cita-citanya, sebagai seorang dokter.

Rean tidak berhenti begitu saja. Dia mengejar langkah Mentari keluar aula. "Mentari."

"Emang gak bisa di sini?" Mentari membalikkan tubuhnya yang spontan berhadapan dengan tubuh jangkung Rean. Ia mendongakkan kepalanya. "Apa yang mau diomongin?"

Rean menghela napas panjang. "Gue ...."

"Lama!" Mentari melenggang pergi begitu saja. Kali ini Rean tidak mengejarnya. Padahal Mentari berharap Rean mengejarnya dan membicarakan hal yang akan laki-laki itu sampaikan.

Mentari bukan robot yang bisa menghapus memori dengan begitu saja. Hal-hal kecil yang tanpa laki-laki itu sadari menjadi kenangan indah yang sulit untuk dihapus. Lautan luas yang tampak indah itu sebagai filosofi kebahagiaannya bersama Rean yang terpatri dalam perasaanya. Namun, siapa sangka di dalam lautan itu begitu menyeramkan. Mungkin memang benar, kisah cinta Mentari menyeramkan karena nyaris menghancurkan hubungan orang lain.

Mentari memilih duduk di halte dekat sekolah. Kebersamaannya dengan Rean berputar seperti film kelabu dalam ingatannya. Jelas Mentari sakit hati. Ia berhak bergundah gulana dengan perasaannya yang salah. Lantas, laki-laki yang selama tiga minggu tak bertemu dengannya, sekarang menemuinya seolah memberikan secercah harapan. Setidaknya laki-laki itu jangan muncul dalam kehidupannya, walaupun laki-laki itu terperangkap dalam hatinya.

Lihat selengkapnya