HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

halsa
Chapter #47

London Sky

Dunia mengajarkan tentang merelakan, juga menerima. Di dunia ini ada dua pilihan: mengajak seseorang yang kita sayangi hidup bersama kita, atau bahkan merelakan dia bersama orang yang lebih layak. Maka Rean memilih untuk merelakan Mentari, orang yang disayanginya, bahagia dengan orang yang lebih layak. Rean tahu konsekuensi hidup dengan ginjal barunya. Dia bukan laki-laki kuat seutuhnya, walaupun dia berusaha membentuk tubuhnya agar tampak baik-baik saja. Mentari memiliki latar belakang yang membuatnya hampir putus asa. Mentari seseorang yang berkali-kali ditinggalkan, jadi perempuan itu harus memiliki rumah utuh untuk tetap bertahan.

"Nyawa pasien terancam!" Seorang dokter yang saat itu menangani Rean berkata demikian. Rean mengingatnya dengan setengah kesadarannya. Terkahir dia tersadar saat dirinya terjatuh di atas motornya. Ingatannya mengingat Mentari berteriak memanggil namanya, berteriak memintanya untuk membuka mata.

"Pasien belum sepenuhnya sadarkan diri." Suara itu bisa Rean dengar.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Rean berusaha membuka matanya. Pandangannya mengabur, tetapi perlahan semuanya tampak jelas. Beberapa perawat mengelilinginya.

"Pasien sadar, Dok!"

"Dokter ...." Rean berucap begitu lirih, sampai-sampai seorang perawat mendekatkan pendengarannya pada mulut Rean. "Waktu berlalu sejauh mana?"

Perawat yang barusan mendengarkan Rean pun membalasnya, "Kamu kecelakaan tadi siang, sekarang sudah jam tujuh malam."

"Siapkan keperluan untuk operasi!" Seorang dokter menyela.

Rean yang mendengar itu terperangah. Apakah tubuhnya sekuat itu harus melewati beberapa operasi.

Seolah dokter itu mengerti atas raut wajah Rean, dokter itu berkata, "Kamu mengalami kecelakaan, yang menyebabkan kepala kamu bocor. Kami harus melakukan operasi setelah kamu sadarkan diri."

"Bilang kepada keluarga saya, bahwa saya tidak selamat," ucap Rean dengan suaranya yang lirih. Dia berkata demikian tanpa berpikir panjang karena rasa putus asa yang memenuhi pikirannya. "Jika perempuan bernama Mentari sudah pergi, katakan kepada mama saya, bahwa saya baik-baik saja."

Dokter itu mengerutkan keningnya.

"Saya mohon, Dok." Air mata Rean meleleh, mengingat tindakannya mungkin akan melukai banyak orang. Namun, Rean memutuskan untuk merelakan seorang perempuan yang dicintainya itu hidup bahagia bersama orang yang lebih layak.

Seandainya waktu itu bisa diputar kembali, Rean tidak akan berbohong atas kematiannya. Karena selama Mentari pergi darinya, gadis itu tampak frustasi. Namun, di sisi lain Rean merasa tindakannya benar. Karena bisa jadi Mentari memang ditakdirkan untuk bertemu dengannya, bukan untuk bersamanya.

Setelah Rean siuman waktu itu, Rean memutuskan untuk memastikan keadaan Mentari di London. Dia memaksakan diri pergi ke London hanya untuk memastikan kekasihnya baik-baik saja. Namun, hal itu terjadi sebaliknya. Mentari yang ceria itu telah padam, saat Rean melihatnya di luar sekolah. Rean lupa bagaimana gadis itu tersenyum. Mentari hangat itu menutup diri. Mentari yang kuat itu seringkali menghabiskan waktu sendirian di sebuah taman. Mentari yang disiplin itu mengacuhkan pola makannya, mengacuhkan lingkungan sekitarnya. Alih-alih menjalani hidup baru, Mentari hidup dengan masa lalu.

Saat itu Rean ingin menghampiri Mentari dan berkata: "Jangan bodoh, Mentari! Kapan hidup kamu akan membaik jika masih mengaitkan masa lalu! Jika penyebab kamu adalah aku, maka kamu adalah definisi orang bodoh yang menghancurkan hidup kamu sendiri demi orang lain!" Sebelum Rean akan berkata demikian, seorang laki-laki menghampiri Mentari. Laki-laki itu tampak berusaha untuk bisa lebih dekat dengan Mentari.

Mentari saat itu berusaha untuk menutup diri. Namun, laki-laki itu tampak pantang menyerah. Maka di sana Rean berpikir: Mentari akan segera menemukan rumah barunya. Rean memiliki insting kuat mempercayai laki-laki itu.

Setelah satu tahun berlalu, Rean memutuskan untuk kembali memastikan keadaan Mentari. Selama berjam-jam Rean berdiri di depan megahnya gedung Imperial College, pada akhirnya Rean merasakan lega setelah melihat Mentari keluar dari sana. Rean mengetahui keberadaan Mentari dari tante Marisa. Bisa dikatakan: Mentari adalah satu-satunya orang yang dibohongi atas kematiannya.

Rean merasa hampa melihat Mentari yang tampak murung. Namun, kehampaan itu hilang saat seorang laki-laki secara tiba-tiba merangkul pundak Mentari. Laki-laki yang sempat Rean lihat satu tahun lalu di taman bersama Mentari. Laki-laki itu, Davide. Rean baik-baik saja, asalkan Mentari baik-baik saja. Namun, saat mereka tampak begitu akrab, Mentari merasa dibakar api cemburu.

Terjadi saling bertatapan antara Rean dan Mentari, tersekat jalan raya yang membentang. Rean melihat mata Mentari yang tampak murung. Rean tidak tahu apa yang Mentari katakan dalam hatinya. Rean hanya bisa menebak, bahwa Mentari mengingatnya. Rean yang tidak ingin merusak suasana Mentari memilih untuk pergi.

Rean masih merindukan Mentari. Dia rela menunggu Mentari berjam-jam di luar Science Museum. Bahkan Rean rela kedinginan menyusuri South Kensington, menemani Mentari berjalan-jalan. Saat berada di Kensington Gardens, Rean merasa begitu hancur saat melihat Mentari menumbangkan kakinya begitu saja, menangis tersedu di balik kedua tangannya, menatap langit malam dengan penuh harapan. Saat itu Rean ingin memeluknya hanya untuk berkata 'semua akan baik-baik saja'. Namun, Rean mengurungkan niatnya.

Pada suatu momen, Mentari tanpa sengaja melihatnya. Mentari terdiam begitu lama. Sampai pada akhirnya gadis itu mengucapkan sesuatu, yang tidak dapat Rean dengar. Namun, Rean mendengar dengan jelas saat Mentari berkata: "Kenapa lo selalu ada!? Gimana caranya gue lupain lo!?"

Rean merasa begitu bersalah. Dia dibingungkan dua pilihan: Berkata sejujurnya kepada Mentari, atau bahkan membiarkan Mentari menganggapnya sebagai fatamorgana.

"Andai gue tahu lo orang brengsek, gue gak akan sesakit ini! Gue gak akan pernah rindu segila ini! Tapi kenapa lo baik!?"

Rean hampir tidak dapat menahan diri untuk tetap bertahan. Dia ingin berlari memeluk Mentari, menenangkan Mentari. Terlebih Rean menemukan keputusasaan dalam tatapan gadis itu.

"Kembalikan gue sebelum jatuh cinta sama lo!" Mentari tampak frustasi. Gadis itu mengacak rambut panjangnya yang tergerai. Dia menangis, bahkan kakinya tak lagi kuat untuk menopang. Dia terduduk pasrah di atas hamparan rerumputan.

Lagi-lagi, Davide datang menghampiri Mentari, membuat Rean memutuskan untuk tidak menemui gadis itu. Rasa sakit dan rasa lega bercampur aduk memenuhi perasaan Rean. Davide tampak begitu perhatian. Rean percaya, suatu saat nanti Mentari akan terbuka untuk Davide.

Rean memutuskan untuk pergi. Dia yakin Mentari akan baik-baik saja. Namun, sebuah rosalia dalam saku celana Davide membuat Rean tertegun. Keyakinan yang Rean percayakan kepada Davide seketika goyah. Bagaimanapun, mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Hal itu membuat Rean memutuskan untuk mengikuti kemana mereka akan pergi.

Di halaman rumah yang Mentari tempati, Rean merasa khawatir melihat gadis itu mengabaikan kesehatannya. Gadis itu duduk di sebuah kursi dengan pakaian tipis di tengah dinginnya malam. Gadis itu tampak memaksakan diri untuk bertahan di sana, mengabaikan tubuhnya yang merasa kedinginan. Pendirian Rean yang akan terus membohongi Mentari perlahan mulai roboh. Dia tidak punya tenaga untuk terus berbohong kepada Mentari, untuk terus membohongi perasaannya sendiri.

Bagaimanapun, aku tetap berharap kita akan bersama. Rean melawan keraguannya untuk menghampiri Mentari. Bagaimanapun perlakuan Mentari kepadanya, Rean tidak masalah. Mentari berhak membencinya, berhak marah kepadanya.

Pada akhirnya Rean menyelimuti lengan Mentari dengan sebuah mantal hangat. Tenggorokannya yang tercekat berkata "Maaf" dengan begitu enteng.

"Lo ngapain di sini?" Mentari tampak begitu terkejut melihatnya. "Lo ngapain di sini?!"

Rean kehabisan tenaga untuk berkata. Mungkin dia memang laki-laki lemah yang hanya bisa menitikkan air matanya, alih-alih menjelaskan semuanya.

"Kenapa lo gak jawab pertanyaan gue!?" Mentari menarik baju Rean dengan tangannya yang bergetar hebat. "Kenapa lo di sini, Brengsek!"

"Mentari ... maaf ...." Rean merasa kesulitan untuk menghentikan air matanya. Rasa bersalahnya membuat perasaannya begitu hancur. Dia hanya bisa menatap lekat mata Mentari dengan penuh penyesalan.

"Apa lo tahu gimana hidup gue selama ini?! Lo jahat! Gue benci sama lo!" Mentari memukul-mukul dada bidangnya. Rean memilih untuk membiarkan Mentari melampiaskan emosi. Rean tahu bagaimana perasaan Mentari saat ini, benci karena dibohongi.

"Lo siapa!? Siapa!?"

"Bangunkan gue kalo seandainya ini mimpi!!!"

Mungkin kenyataan ini sebuah mimpi buruk bagi Mentari. Mentari bukan hanya merasa marah, kecewa, tapi Mentari merasa dikhianati. Mungkin Mentari berpikir bahwa perasaannya tidak berarti apa-apa untuk keegoisannya.

"Aku minta maaf." Kerongkongan Rean masih terasa tercekat.

"Pergi!" Mentari merasa begitu frustasi. Ia mengacak rambutnya, mengepalkan kedua tangannya. "Gue bilang pergi! Pergi!!!"

Rean mengangguk dengan penuh penyesalan. Saat ini dia hanya mengalah, bukan menyerah. Rean mengalah untuk membiarkan Mentari membencinya. Rean memberikan waktu untuk Mentari menenangkan diri. Rean memilih pergi hanya untuk sementara. Setelah ini, dia akan kembali memperjuangkan Mentari. Walau pada akhirnya Mentari tetap membencinya dan memilih pergi, Rean tidak akan merasa keberatan.



°•°•°•°•°•°•°


Sepoi-sepoi angin menubruk wajah Mentari yang lebab. Mentari yang merasa kedinginan mengepalkan tangannya pada mantal hangat yang tersampir di bahunya. Hari ini Mentari benar-benar kehabisan tenaga. Tenaganya terkuras untuk merindukan sosok laki-laki itu, juga untuk membenci laki-laki itu. Bahkan untuk melangkah memasuki rumah, Mentari tertatih-tatih. Terlebih Mentari kesulitan untuk menghentikan air matanya yang terus menetes.

Jika seandainya langit malam memaksakan diri untuk bertemu sang surya, maka sang surya memilih untuk padam. Tidak akan ada lagi siang, tidak akan ada lagi cahaya. Sang surya bukan memutuskan untuk bertemu malam, melainkan memutuskan untuk menghilang. Mentari merasa rasa cinta yang dimilikinya menjadi sebuah beban untuk laki-laki itu. Mentari merasa tidak apa jika seandainya laki-laki itu bersama orang yang membuatnya tidak merasa terbebani. Mentari tak apa, asalkan laki-laki itu baik-baik saja.

Butuh waktu yang lama untuk Mentari memulai hidup baru. Mentari selama ini hanya dipenuhi rasa penyesalan, bukan kekecewaan. Namun, kebenaran yang baru saja Mentari temui, membuat Mentari benar-benar merasa kecewa. Rean dengan sekejam itu mementingkan kepura-puraannya, mengabaikannya yang dipenuhi rasa penyesalan. Mungkin, Mentari tidak akan membuka hati untuk laki-laki itu.

Rasa hampa yang Mentari rasakan sepanjang hari ini bertambah drastis saat melihat suasana rumah. Rumah sunyi yang tampak tidak berpenghuni. Mentari sempat menaruh harapan pada kehidupan barunya. Namun, harapan itu bukan sebuah takdir yang sudah ditetapkan. Mentari yang menahan emosi mulai melampiaskannya. Dia menangis dengan suaranya yang terdengar purau. Dia tidak menahan suara tangisnya seperti biasa. Mentari tidak peduli jika seandainya ada yang melihatnya tumbang. Hari ini Mentari mutuskan untuk memperlihatkan sisi lemahnya. Walaupun hanya sekedar menangis, tapi Mentari merasa lebih baik.

"Happy birthday to you ... happy birthday to you ... happy birthday ... happy birthday ... happy birthday ... to you .... " Marisa dengan kedua matanya yang berkaca-kaca menyanyikan lagu 'Happy Birthday' untuk putri semata wayangnya yang selama ini diacuhkannya. Kedua tangannya direpotkan kue ulangtahun berbentuk bundar dengan dekorasi laut biru perpaduan putih.

"Mama .... " Mentari terperangah. Dia menyeka sisa air matanya.

"Putri Mama selemah ini, tapi Mama gak pernah menyisihkan waktu untuk mendengarkan." Marisa mulai menitikkan air matanya. "Hari ini hari ulangtahun putri Mama yang ke sembilan belas tahun. Mama gak akan ingat hari kelahiran putri Mama, jika seandainya teman-teman kamu tidak datang."

Raya, Elza, juga Vina datang bersamaan di belakang Mama. Hal itu membuat Mentari kembali menitikkan air matanya.

"Happy birthday Mentari sayang!" ucap mereka serempak.

"Mama .... " Ucapan Mentari menggantung. Dia merasa kesulitan berkata, karena tenggorokannya terasa begitu tercekat.

Marisa menyimpan kue ulangtahun putrinya di atas meja. Dia menghampiri putrinya, lantas memeluknya erat. "Maafin Mama sayang! Walaupun kamu sudah besar, kamu tetap butuh Mama untuk bertahan!" Marisa meraung memeluk putrinya.

"Mentari putus asa, Mam. Mentari kehilangan rumah." Mentari terisak-isak.

Di momen menyedihkan itu, ketiga temannya ikut berpelukan. Mereka berpelukan dengan begitu erat, seperti mengatakan mereka tidak sanggup untuk terpisahkan.




°•°•°•°•°•°•°


Langit London malam ini terasa begitu memilukan. Hari ini banyak begitu kejutan yang membuat Mentari merasa seperti mimpi. Ada rasa rindu yang diperjuangkan terasa sia-sia. Ada harapan yang berakhir kekecewaan. Dan ada kecewa yang dibayar sebuah kejutan.

Sepoi-sepoi angin menubruk wajah Mentari. Di balkon rumahnya Mentari memutuskan untuk menghabiskan waktu sendirian. Dunia memang memiliki kejutan yang mengejutkan. Atas semua kejutan ini, Mentari akan membalasnya dengan tertawa sengak.

"Mentari, kapan akan pulang?"

Lihat selengkapnya