HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

berry
Chapter #48

EPILOG

Atas semua yang telah terjadi, mengapa selalu tentang kamu yang menjadi pemenangnya? Mentari tersenyum getir, menatap seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dari hadapannya. Masih kamu ... yang menjadi pemenangnya!

Aku katakan: ini sangat menyakitkan! Jika Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama, tidak apa. Tapi, tolong tetap pertemukan kita. Karena dia begitu istimewa, walaupun hanya untuk saling mengenal.

Mentari mulai merasakan hatinya yang bergemuruh, saat laki-laki di hadapannya itu mulai melangkah mendekatinya. Senyuman indah yang terukir pada wajah laki-laki itu, menyakitkan.

"Kenapa kamu begitu bodoh, menunggu saya untuk datang?" ucap laki-laki itu, dengan suara yang sebenarnya Mentari rindukan. "Jangankan untuk melihat kamu di depan mata, mendengar namamu saja ... memilukan." Laki-laki itu tertunduk, tapi tidak tampak lesu. "Karena ... sungguh menyakitkan di saat mengingat bahwa aku seorang pecundang. Dan kamu, adalah korban. Sampai kamu ... sebodoh ini."

Mentari menitikan air matanya. "Kamu—"

"Jangan bodoh," sela Rean, laki-laki itu, dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Mentari menggertakan giginya dengan begitu kuat. Menahan gemuruh di dadanya, menahan sakit juga rindu yang dirasakannya. "Kamu tahu, kenapa aku bodoh!? Itu karena kamu!" Pada akhirnya, Mentari bisa mengeluarkan apa yang ingin diucapkannya, walaupun dengan napas yang terengah-engah. "Aku tahu apa yang terjadi! Aku tahu kamu—" Ucapannya terhenti hanya karena sebuah tangan kekar menarik tubuhnya, mendekapnya dengan begitu erat.

"Kenapa kamu harus mencintaiku?" Rean merasakan tubuhnya yang bergetar. Atau mungkin tubuh perempuan yang berada dalam pelukannya yang bergetar.

Suasana seketika terasa mati saat kedua insan itu saling terdiam. Pelukan erat yang pada akhirnya terlepas menjadi saksi bahwa ada luka yang belum terobati sepenuhnya.

Tuhan, jangan biarkan aku terus mencintainya. Mentari menatap lekat sepasang mata elang yang tampak teduh.

"Kamu takut untuk kembali jatuh cinta?" ucapan Rean mewakili isi hati Mentari.

Mentari melangkah mundur, seraya menyeka sisa air matanya. "Aku merasa, perasaan yang aku miliki jadi beban buat kamu."

Rean tersenyum sumir. "Mentari, mari saling merelakan."

Mentari diam terpaku. Ucapan yang Rean ucapkan mampu membuat jantungnya berdetak dengan begitu cepat. "Terus, kenapa kamu datang?" Mentari tersenyum getir.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, Rean berlutut di hadapan Mentari dengan begitu tiba-tiba. "Aku akan kembali nanti. Nanti, setelah kamu yakin bisa menerima bagaimana dengan keadaan tubuhku. Sembari menunggu kamu meyakinkan, aku akan berusaha untuk menjadi sehat selamanya. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa cinta yang aku miliki lebih besar dari rasa cinta yang kamu miliki."

Lihat selengkapnya