Restoran mewah dengan sajian western, Indian dan Asian cuisine itu masih cukup ramai. Ini adalah jam makan malam tak heran jika para pelayan terlihat lebih sibuk. Hampir semua meja terisi penuh ada yang datang berpasangan, bersama keluarga atau rombongan rekan kerja.
Para pelayan terus berkeliling tanpa henti dari meja satu ke meja lain lalu kembali ke counter pemesanan, mengantar, dan mencatat menu pesanan para customer. Di salah satu sudut restoran itu, pria berkaca mata berwajah tampan dan sedikit sendu, tampak menikmati lamb briyani menu yang dipesannya. Wanita di hadapannya sibuk dengan ponselnya bahkan mengabaikan chicken briyani yang dipilihnya sendiri hingga hampir dingin.
Andikta Wiratama—yang lebih sering dipanggil Dikta—hanya bisa diam menatap wanita di hadapannya yang terkesan seperti sedang mengabaikannya, namun itu bukan hal baru ada kalanya ia akan diabaikan seperti itu tetapi dia tahu jika sampai mengabaikannya seperti itu bearti sedang melakukan sesuatu yang penting.
Namun kali ini Dikta merasa sedikit kurang sabar, ada hal yang ingin dibicarakannya. “Chat-an sama siapa Nan?” tanya Dikta akhirnya, suaranya pelan seperti menahan sesuatu.
Nania Aurora—wanita itu—meletakkan ponselnya di meja dan kembali melanjutkan makan malamnya. “Itu…. sama om ku yang di Jerman.” jawab Nania santai.
Mereka kembali saling terdiam untuk beberapa saat, sekadar menikmati makan malam masing-masing. Tetapi Dikta seperti sedang menimbang-nimbang apa yang hendak diucapkan.
“Nan, nikah yuk,” ucap Dikta akhirnya.
Nania tersentak, ia menatap pria dihadapannya. “Gak bisa Ta,” jawab Nania cepat.
Kini giliran Dikta yang mengerutkan keningnya tak mengerti.