HINGGA KAU DATANG

Shalikhatin Pawestri
Chapter #4

CERITA #1. . . . . . .Makan Yuk. . . .

Sudah sepuluh menit lamanya, Eci terus berusaha membujuk Rania. Wajahnya memelas sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rania dengan manja. Hari itu, tiba-tiba saja ia muncul di kontrakan Rania, mengajaknya menghadiri pernikahan sepupu.

Rania berusaha menolak sekuat tenaga, Eci bukan tidak tahu sahabatnya itu anti datang ke acara semacam itu. Tapi, Eci tak punya pilihan lain—pacarnya mendadak tidak bisa menemani karena urusan pekerjaan.

“Ayolah bestie ku yang baik hati dan tidak sombong, sekali aja yaa, pleaseee.” Rengek Eci.

Rania memadang wajah memelas Eci. Dia benar-benar enggan, tapi….wajah Eci itu terlalu sulit ditolak. Eci juga jarang minta tolong padanya, Rania menghela napas beratnya—menyerah lalu bangkit dari tempatnya menuju kamar mandi.

Raut wajah Eci seketika berubah cerah karena berhasil membujuk Rania. “Mandinya gak usah lama-lama, gak usah luluran.” Seru Eci.

“Bawel.” Jawab Rania singkat.

Setelah mandi kilat dan berdandan cepat apa adanya tentu dengan bantuan Eci untuk membantu menata rambutnya agar lebih terlihat pantas dilihat dikondangan. Rania dan Eci langsung meluncur ke tempat acara pernikahan sepupu Eci. Eci diminta orang tuanya datang untuk menggantikan mereka yang tidak bisa datang karena ada di luar kota. Begitu sampai di tempat parkir suasana pernikahan dari keluarga mewah sangat mencolok.

Rania merasa salah tempat.

Ia hanya bisa mengikuti Eci dibelakang, sesekali terhenti harus menyapa beberapa saudara atau beberapa sesepuh di sana. Beberapa kali, Eci juga mengenalkan Rania karena ada juga yang bertanya Eci datang dengan siapa. Langkah Eci yang hendak naik panggung menuju pelaminan untuk mengucapkan selamat terhenti saat ia berpapasan dengan seseorang.

“Loh, kok lo bisa ada di sini?” tanya Eci.

Rania terkejut melihatnya, Dikta. Keterkejutan juga terlihat jelas di wajah Dikta melihat Eci dan Rania.

“Gue temen SMA mempelai cowok, lo?” jawab Dikta.

“Gue sepupunya mempelai cewek,”

“Oh gitu, Rania?”

“Gue yang ajak dia, soalnya Lian gak bisa nganterin. Lo sendirian?” kata Eci.

“Ya gitu deh, pacar gue udah hilang juga,” jawab Dikta disusul ketawa garing dari keduanya.

“Ci, aku ambil minum ya.” Pamit Rania, mencari alasan menjauh.

Ia tak menyangka akan bertemu Dikta di sana, setelah kerja sama antara dua perusahaan itu Rania baru sadar jika Eci satu kantor dengan Dikta dan Dikta adalah atasan Eci saat di kantor. Sementara Eci dan Dikta bersama naik ke panggung pelaminan untuk mengucapkan selamat atas pernikahan kedua mempelai.

Rania menyendiri diarena stand minuman, ia hanya melempar pandangan ke semua penjuru. Keramaian dan kemewahan acara pernikahan itu sedikit banyak telah seperti menyedot energinya meski ia tidak berinteraksi dengan siapa pun karena dia tak mengenal siapa pun di tempat ini. Sudah bisa dibayangkan hiruk pikuk acara perkawinan dimana-mana akan sama, orang-orang sibuk mengomentari dekorasi, make up, menu makanan, tamu-tamu undangan hingga ada yang bergosip membicarakan entah siapa yang sepertinya tidak ada di sini dan yang tidak ketinggalan adalah ajang pamer kostum dan juga pencapaian masing-masing itu bagi yang jarang bertemu lalu tiba-tiba ketemu diacara ini.

Rania benar-benar terasing dan merasa tidak nyaman, ada yang menusuk-nusuk jiwanya seolah-olah ingin menyedotnya ke dimensi lain jika Rania tidak menguatkan batinnya bisa saja ia benar-benar tersedot.

“Rania?” Sebuah suara mendatanginya, wanita paruh baya dengan dandanan kostum warna hijau sage, make up tebal, perhiasan dan tas mewah.

“Kamu Rania, kan?” tanyanya lagi.

Rania menatapinya, ia merasa tidak mengenal wanita ini.

“Saya tante Rini, temennya Ibu kamu.” ujarnya mengenalkan diri.

Rania masih merasa tidak mengenal wanita ini. Sepanjang ingatannya, ia tak pernah bertemu ataupun dikenalkan oleh ibunya perihal ‘tante Rini’, Rania masih sibuk dengan ingatannya untuk mengingat-ingat si Tante Rini dan juga mencerna situasi tak duga bertemu orang yang merasa kenal dengannya.

Lihat selengkapnya