Musim gugur telah tiba. Tertanda, daun-daun kuning mulai berguguran. Angin dan hawa dingin mulai datang sehingga selurung orang mengenakan pakaian yang tebal. Bulan sabit sudah berada di ufuk barat, berganti semburat cahaya keemasan di sebelah Timur, pertanda hari baru telah dimulai. Halimun pun belum sepenuhnya menghilang. Epidermis dedaunan masih terselimuti embun pagi. Suara sapu ranting menyerakkan daun-daun memecah kesunyian pagi di hari ke-7 bulan ke-8 tahun ke-3 pemerintahan Kaisar K’ang-hsi Ti (康熙帝).
Di sebelah Barat dari Provinsi San-tung (山東), sekitar 10 li ke arah Selatan dari ibukota Ce-lam (濟南) dan di sebelah Timur dari Sungai Hwang-ho (黃河), terdapat sebuah gunung yang disucikan bernama Gunung Tai-san (泰山). Puncak tertingginya bernama Giok-hong-ting (玉皇頂) berarti Puncak Kaisar Giok setinggi kurang lebih 3 li 19 bu 2 chi 10 cun.
Hutan yang tersebar di sekeliling badan Gunung Tai-san masih sangat terjaga. Tercatat ada 989 spesies tumbuhan biji, 433 spesies tumbuhan berkambium, 556 spesies tumbuhan perdu, dan 462 spesies tumbuhan obat. Gunng Tai-san nampak gagah bersabukkan awan, berhias daun konifera dan semak alpine yang tumbuh rimbun memberikan asupan oksigen untuk makhluk hidup di sekitarnya. Hewan-hewan buas seperti harimau, rusa, kijang, kera, monyet, babi hutan, aneka jenis unggas, reptilia, insekta, primata maupun mamalia lainnya berjalan sesuai rantai makanan sebagaimana mestinya. Para penebang kayu, pemburu atau tabib sering naik turun gunung mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk kebutuhan hidup atau melayani pesanan dari luar kota Tai’an (泰安).
Gunung Tai-san ini sudah dikenal sejak Dinasti Xia. Para kaisar sering melakukan pengorbanan untuk memberi penghormatan kepada Surga (di puncak gunung), kepada Bumi (di kaki gunung), dan lokasi-lokasi lainnya. Kaisar Ch’in-shih Huang (秦始皇), kaisar pertama China menghelat sebuah perayaan di puncak gunung untuk menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar. Gunung Tai-san termasuk dalam lima gunung suci di daratan Cina. Banyak sekali peninggalan budaya yang tertinggal di gunung tersebut karena memang sejak dahulu kala para sastrawan sering naik ke gunung ini untuk mendapatkan inspirasi, membuat puisi, menulis esai atau membuat lukisan.
Penduduk daratan besar percaya bahwa di Gunung Tai-san banyak sekali dewa-dewa yang menolong para manusia, antara lain :
1) Tong-ye Tay-tee / Dewa Agung Gunung Tai (東嶽大帝). Menurut mitologi, ia adalah keturunan dari Pan-ko Tay-tee (盤古大帝). Menurut teologi lain, ia adalah salah satu dari Lima Manifestasi Dewa Tertinggi (五方上帝) di sebelah Timur.
2) Tai-san Nio-nio / Permaisuri Agung Gunung Tai (泰山娘娘). Dipercaya, ia adalah permaisuri Dewa Agung Gunung Tai. Ia digambarkan memegang sebuah tablet dengan biduk sebagai simbol kekuasaannya.
3) Gan-kong Nai-nai / Nenek Bermata Terang (眼光奶奶). Ia dihormati sebagai dewi penglihatan dan bertugas membantu sang permaisuri agung.
4) Song-cu Nio-nio / Permaisuri Songzi (送子娘娘), dipandang sebagai dewi kesuburan, juga bertugas membantu Permaisuri Agung Gunung Tai.
5) Sia-kam-tang / tablet batu pelindung dari hawa jahat (石敢当).
Penghormatan kepada para dewa-dewa di Gunung Tai-san ini ada di sebuah kuil benama Tai-bio (岱廟) di kaki Gunung Tai seluas 96.000 m2. Situs ini berisi sejumlah prasasti yang terpelihara sangat baik. Di puncak gunung terdapat sebuah kuil yang didedikasikan khusus kepada Tai-san Nio-nio bernama Phek-he-su/Kuil Fajar Biru (碧霞祠). Total, ada 22 kuil, 97 reruntuhan, 819 loh batu dan 1.018 prasasti batu, termasuk di dalamnya ada Giok-hong-bio/Kuil Kaisar Pualam (玉皇廟), Jing-tee-kiong/Istana Dewa Biru (青帝宫), Kong-cu-bio/Kuil Konfucius (孔子廟), Tau-bo-kiong/Istana Dewi Doumu (鬥母宮) dan Poo-chiao-sie/Biara Puzhao (普照寺).
Penduduk sekitar tak ada yang berani merusak ekosistem di Gunung Tai. Selain karena mereka menghormati bahwa keseimbangan alam inilah yang membuat mereka hidup, tapi juga penghormatan mereka kepada para dewa yang telah melindungi dan menjaga mereka. Setiap 1 pohon yang ditebang, akan diganti dengan 10 pohon baru. Kehidupan berjalan dengan aman, tenteram karta tata raharja.
Sekitar 10 bu dari puncak gunung, di tebing curam sebelah Timur, terdapat sebuah pondok sederhana yang terbuat dari bambu, kayu pohon pinus dengan atap daun ijuk dan kelapa. Gerbang dan pagar sederhana dari tumpukan kayu dan batu, memberikan kesan gagah nan sederhana. Itulah pondok tempat tinggal sekeluarga pertapa yang dikenal oleh penduduk sebagai Oey Tay Su-hu / Guru Besar Bermarga Oey (黃大師傅). Ia memiliki seorang istri dari marga Sie bernama Teratai Pualam (Sie Giok Lian - 薛玉連), dan berputera laki-laki hanya satu bernama Naga Emas (Oey Kim-liong - 黃金龍). Suhu Oey ini adalah seorang tabib sekaligus pendekar yang sudah terkenal seantero San-tung. Berbagai ramuan obat tradisional yang ia buat selalu manjur. Setiap pagi, mereka bertiga masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan dan tumbuhan obat. Terkadang mereka juga turun ke Kota Tai’an untuk mencari bahan-bahan yang tidak bisa ditemukan di hutan.
Keluarga pertapa Oey ini juga sebagai seorang tetua agama di desa. Setiap ada sembahyang di kuil-kuil, selalu Pertapa Oey yang memimpin.Suaranya selembut sutera, dan nyanyiannya merdu. Apapun yang diucapkan oleh Pertapa Oey selalu ditaati oleh penduduk, dan alhasil membawa pengaruh baik untuk desa itu. Keluarga Pertapa Oey ini adalah keluarga vegetarian. Selama hidup mereka tak pernah membunuh hewan, bahkan menurut rumor yang beredar saking welas asihnya, seekor harimau ganas pun tunduk dan menjadi pengawal mereka saat naik ke puncak gunung.
"Prokk ... prok ... prok ....”, suara derap kaki kuda berbunyi kencang di dekat rumah sang pertapa. Pertapa Oey terheran-heran karena tempat ia tinggal merupakan tebing yang sangat curam, bahkan orang pun sulit berjalan karena terjal, apalagi penunggang kuda. Jikalau bukan seorang tentara yang terlatih atau pendekar hebat, pasti tak akan bisa naik ke Gunung Tai-san mengendarai kuda.
Debu tampak mengepul dari arah utara. Ternyata benar, ada seorang tentara yang mengarah ke Gunung Tai-san. Dia adalah Komandan Thio Peng 張平, seorang putra daerah asli Kota Tai’an, anak pertama dari saudagar Thio Hwie 張惠. Ia bertugas sebagai komandan pasukan kerajaan di daerah Hok-kian 福建. Oleh karena kebaikan hati Kaisar K’ang-hsi Ti, para tentara kerajaan yang merantau boleh kembali ke daerah asalnya untuk berkumpul dengan keluarga dalam Festival Tiongciu.
Komandan Thio Peng menunggangi kuda berwarna putih. Sebuah tas kulit melintang di badannya, pakaiannya berwarna merah hijau bersulam burung bangau dan kelelawar. Pedang mestika dengan kayu pohon cemara bersalut kulit harimau loreng ada dalam gendongan. Usianya sekitar 30 tahun, sudah menikah memiliki seorang putri bernama Thio Hwa 張花. Istrinya sebetulnya masih terhitung sepupunya sendiri, namun terlahir dari anak pertama kakak tertua neneknya. Jadi sudah berbeda marga dan terhitung keluarga luar. Thio Peng memiliki wibawa, berwajah tampan, bertubuh kurus namun tampak berisi dan tegap. Mendengar titah kaisar yang memperbolehkan pulang kampung, ia tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk pulang dan merayakan Tiongciu yang akan datang sekitar 8 hari lagi. Perjalanan dari Hok-kian ke San-tung membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 3 hari apabila ditempuh dengan menggunakan kuda berkecepatan normal. Namun tidak bagi Thio Peng. Ia terus menjepit perut kudanya, sehingga kuda putihnya itu melaju bak anak panah yang lepas dari gendewa. Perjalanan sudah ditempuhnya selama 1 hari 1 malam, ia telah sampai di Gunung Tai-san. Hanya butuh kurang dari 1 li lagi untuk mencapai Kota Tai’an, tempat tinggal aslinya.
“Ah, kudaku kau sudah bekerja keras. Baiklah aku tuntun saja sambil berjalan.”, Thio Peng turun dari punggung kudanya dan berjalan menyusur lembah.
Dilihatnya dari arah utara, ada sebuah pondok sederhana. Ia berkeyakinan ada yang tinggal di pondok itu. Niat hati, ingin beristirahat sembari mencari makanan dan rumput segar secukupnya untuk mengisi perut keduanya yan telah berkelana selama 1 hari 1 malam dari Hok-kian ke San-tung. Pertapa Oey yang agaknya sudah tahu bahwa derap kaki kuda tadi semakin mendekat ke pondoknya.
“Permisi! Apakah ada orang di pondok ini?”, tanya Thio Peng memastikan yang langsung disambut hangat oleh empunya rumah.
“Oh silakan tuan komandan, silakan mampir dan beristirahat. Istriku, anakku, kita kedatangan tamu seorang prajurit kerajaan. Siapkan minuman dan makanan untuknya!”, teriak Pertapa Oey sembari menata sebuah bale-bale di halaman rumahnya.
Thio Peng kemudian mengikat kudanya di sebelah barat rumah dan memberinya seikat besar rumput segar yang telah ia potong selama perjalanan menuju pondok Pertapa Oey. Sebelum duduk, ia mengibaskan pakaiannya dari debu yang menempel, dan membasuh muka, tangan serta kakinya menggunakan air sumur. Rasa segar dan bersih terasa langsung.
“Mohon maaf sebelumnya tuan komandan. Anda dari mana dan akan kemana? Dengan keahlianmu itu bisa melewati tebing curam rumahku ini! Kau benar-benar li-hai, komandan!”, puji Suhu Oey.
“Tuan Pertapa, ini adalah berkat kemampuan kudaku yang sudah sangat terlatih melalui medan yang terjal sekalipun. Aku sangat terbantu dengan adanya kuda ini!”, jawab Thio Peng.
“Ah, kalau punya kuda bagus tapi pengendaranya tak li-hai, tetap saja terjatuh kan Komandan.”, desak Suhu Oey.
Thio Peng hanya tersenyum malu.
“Silakan Tuan Komandan, nikmati teh krisan dan man-tou sayur hangat ini untuk mengisi perutmu.”, tawar Sie Giok Lian membawa nampan berisi teko dan wadah dim-sam.
“Ibu Pertapa, sungguh baik sekali! Aromanya sangat nikmat, akan saya makan dan minum dengan nikmati hati.”, kata Thio Peng.
“Maaf, tuan komandan dari mana dan akan ke mana kah?”, tanya Giok Lian.
“Ibu Pertapa, aku ini seorang komandan pasukan kerajaan yang ditugaskan di daerah Hok-kian. Atas kebaikan hati Kaisar, para prajurit yang merantau boleh pulang kampung sejenak untuk merayakan Tiongciu di desa asalnya. Apabila sudah selesai, diharuskan kembali ke daerah tugas. Tentu aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk pulang ke Tai’an dan bertemu dengan ayah, istri dan anakku di sana.”, jawab Thio Peng sembari menikmati man-tou yang masih panas itu. Maklum, masuk musim gugur sudah mulai dingin maka menyantap makanan panas pun sudah tak terasa begitu panas, apalagi jika memakannya di udara terbuka.
“Oh, kamu dari Tian’an. Kota itu terletak di arah selatan sana. Sekitar setengah li dari sini. Kamu bisa menempuhnya menuruni lembah ini mengikuti jalur batu yang telah aku buat sebelumnya, tuan komandan pasti akan sampai di Tian’an dengan selamat.” Suhu Oey menunjuk ke arah tumpukan tangga batu yang telah dibuatnya. Tangga itu adalah satu-satunya akses untuk menuju pondok Suhu Oey.
“Terima kasih banyak Suhu untuk petunjuknya.”
Percakapan berlanjut hingga sore hari. Saatnya Thio Peng memohon diri untuk melanjutkan perjalanan ke kota Tian’an.
“Jangan terburu-buru, tuan komandan. Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya anda bermalam dulu di tempat kami, baru esok pagi saat matahari sudah terbit, Anda boleh melanjutkan perjalanan.”, pinta Suhu Oey.
Thio Peng menolaknya. “Ah jangan Suhu, saya takut merepotkan Suhu dan keluarga.”