"Pak Kepala, bisa Anda jelaskan ada apa sebenarnya antara korban dan kelas Superior?"
Hasan, kepala SMAN Citaprasada memalingkan wajah dari flash kamera yang berdatangan. Kepalanya seakan ingin meledak dibombardir begitu banyak pertanyaan. Tubuh renta lagi kecil itu menyibak kerumunan wartawan dan mikrofon.
"Pak, kasus sebesar ini baru pertama kali terjadi di SMAN Citaprasada. Bagaimana tanggapan Anda?" Salah seorang wartawan maju menerobos, menyodorkan mikrofon hingga menabrak hidung Pak Hasan.
Pria itu mendelik, membenarkan kacamata. Orang-orang yang mengawalnya berebut menghalangi Pak Hasan dari wartawan tersebut. "Yang jelas, saya kecewa."
Jawaban singkat Pak Hasan membuat kerumunan menggila. Wartawan meneriakkan pertanyaan mereka, bahu saling mendorong. Keributan membumbung, sumpah serapah tertumpah, dan bunyi jepret kamera semakin menjadi.
Pak Hasan memegangi dada yang tiba-tiba terasa sesak. Tangannya yang penuh keriput menarik bahu salah satu orang berjas hitam yang berdiri di hadapannya. "Bubarkan segera. Saya ingin istirahat."
Para wartawan tak terima ketika mereka diusir pergi. Tangan mereka memberontak saat didorong. Beberapa jatuh terjerembab, kaki mereka diinjak. Benar-benar kekacauan yang tak terbendung.
"Pak, apa yang akan sekolah lakukan kepada Superior? Apa mereka akan dihukum atau bagaimana? Kami perlu kejelasan, Pak!"
Teriakan serupa menyusul, tapi seolah ditulikan oleh sang kepala sekolah tersebut. Kakinya gemetar kala mengambil langkah maju, meninggalkan kerumunan. Rahang mengeras dan mata menyalang tajam. Di bawah helaan napas, ia mengutuk pelan kedua belas siswa yang disebut Superior tadi.
👣
Dua hari berlalu setelah kematian Pak Dewa. Namun, Panca masih tak bisa melupakan pemandangan yang ia lihat. Dengan tangan gemetar menutup telinga dan kepala tertunduk, ia berusaha mengusir bayang-bayang itu. Permukaan coklat meja bagai layar yang memutar kembali adegan.
Kelas Superior terpukul atas berita yang datang. Pembelajaran dihentikan. Pemandangan dari jendela kelas dihiasi para orang berseragam polisi lalu-lalang.
Barisan belakang terlarut dalam mimpi, kecuali Kinan yang menulis lirik untuk lagu barunya. Barisan tengah diisi oleh mereka yang berinisiatif membaca buku, seperti Abel yang mengerjakan soal kimia tanpa diperintah. Sedangkan barisan depan duduk tegak menatap pintu.
"Ohayou~ Selamat pagi, para siswa terbaik!"
Mereka yang di barisan depan tersentak. Detektif yang sama dengan kemarin memasuki ruangan dengan langkah lebar. Ia tersenyum hingga gigi-giginya tampak. Jas dan celananya yang bermotif mozaik beraneka warna begitu kontras dengan jas biru dongker milik Superior.
"Baiklah, kalian tahu hari ini adalah hari apa?" Detektif tersebut bertanya dengan nada tinggi dan melengking di ujung, ia meletakkan telapak tangan di samping telinga. Namun tak ada satu pun yang menjawab. "HEI!"
"Hari Senin," jawab Zaid, si ketua OSIS yang duduk paling depan.
Si detektif bertepuk tangan. "Ya, betul! Tapi masih kurang tepat! Ayo~ Adakah yang bisa menebak dengan tepat?"
Zaid melonggarkan dasi, tak tertarik. Yang lain juga tak berniat terjun ke pertanyaan konyol itu. Dari kemarin, kursi mereka bagaikan duri yang terus menusuk. Lelucon dan basa-basi bagai angin yang masuk telinga kanan, lalu keluar telinga kiri.
"Hari ini adalah ... hari pertama rapat bagi Superior! Kita akan bahas bukti yang ditemukan!"
Kepala sontak terdongak dan punggung menegak. Mata mereka membulat berseri, tapi ada juga yang getir. Pemandangan itu memoles seringaian detektif dengan tag nama "Gunawan" tersebut.
"Pertama, saya mau tanya. Siapa di sini yang bernama Safira Benazir?"
👣
"Tidak bisa seperti ini, Pak Kepala! Harga diri Genta, kami, Anda, dan sekolah ini terancam! Kita harus mendukung detektif menyelidiki kasus dengan sebenar-benarnya!" tegas seorang wanita yang lehernya dipenuhi kalung emas.
"Hei, kamu. Dasar wanita kaya!" Seorang pria bertubuh kekar angkat bicara. "Kau pikir anakmu pasti tidak bersalah? Seenaknya saja bicara."
Kedua alis wanita itu terangkat tinggi. Dahinya mengernyit tak suka. Ditatapnya pria yang hanya mengenakan kaus oblong tadi.
"Anak kami, Genta, adalah anak baik-baik. Dia tidak mungkin melakukannya!" sanggah si wanita, tersenyum sinis. "Mungkin anak Anda yang melakukannya, ayahnya saja kasar begini."
Pak Kepala memijat pelipis kanan beliau sebelum memukul meja sebanyak tiga kali. "Cukup! Cukup! Saya mengumpulkan Anda semua di sini bukan untuk berdebat. Ibu Genta dan Ayah Vela, silakan tenang dulu."
Ibu Genta mendecih. Ia duduk hingga kursinya tampak oleng, kedua mata masih mengawasi Ayah Vela. Kedua tangan yang dihiasi perhiasan emas terlipat angkuh di atas paha.
Para orang tua siswa dikumpulkan bukan tanpa alasan. Berita pembunuhan wali kelas Superior telah menjadi topik hangat di seluruh Indonesia. Berbagai fakta, rumor, dan opini bercampur aduk menjadi satu. Hal tersebut tentu sedikit banyak membahayakan citra sekolah, para siswa Superior sebagai calon tersangka pembunuhan, dan tentunya keluarga siswa.
"Kita harus secepatnya mencari jalan keluar. Jangan ditunda lagi," ujar seorang wanita berpakaian blazer putih yang menyala dalam kegelapan ruangan—ibu dari Luna. "Bisnis dan program donasi anak saya akan terganggu. Begitu pun dengan karier anak-anak lain, seperti Dheya, Safira, dan Genta. Mereka adalah figur publik."
Pak Kepala menopang dagu. "Saya paham kekhawatiran Anda sekalian. Kasus ini memang perlu diusut lebih dalam dan diselesaikan secepatnya. Namun, kalau benar pembunuhnya adalah salah satu atau dua dari anak-anak Anda, bagaimana?"
Helaan napas dalam serentak terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Para orang tua menelan ludah pahit. Otot-otot wajah mereka tegang atas kebenaran yang mungkin akan menyudutkan.
"Pak Kepala." Salah seorang ayah dari kumpulan itu mengangkat tangan.
"Ya, Pak Bupati?"
Pria yang dipanggil Pak Bupati dengan setelan jas hitam dan sepatu berkilauan itu berdeham, menatap satu per satu wajah tertekuk yang ada di ruangan. "Biarkan kasus ini diusut sebagai formalitas semata. Saya akan bayar berapa pun agar Zaid tidak terseret dalam dugaan tersangka."
Tawaran itu menerbitkan seringai di bibir Pak Kepala. Jari-jarinya saling mengetuk untuk menyembunyikan hal itu. Para orang tua lain yang alisnya menukik, memijit kening, dan mata menyolong tajam tak ia hiraukan.
"Ide bagus, Pak."
👣
Safira Benazir. Penyanyi muda yang semakin terkenal setelah menjadi "wajah" pop-tradisional kini harus menegak ludah susah payah. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Cahaya menyilaukan dari proyektor LCD seakan berusaha menariknya masuk.
Seluruh pasang mata di dalam kelas strata tertinggi SMAN Citaprasada itu seolah menganggapnya tikus got yang tersesat. Sebuah rekaman CCTV yang diputar tepat di hadapan mereka dalam sekejap membalikkan kehidupan Safira. Beberapa detik bagai mimpi yang ternyata memojokkannya.
"Selain rekaman CCTV ini, pihak penyelidik juga menemukan jejak sidik jari Safira Benazir pada pegangan tangga menuju Ruang Prestasi."
Tatapan itu semakin menjadi. Teman-temannya bungkam, seakan kata-kata makian memenuhi mulut mereka. Terlalu penuh, terlalu banyak hingga bingung mau mengucapkan yang mana lebih dulu.
"Ti ... dak," gumam Safira lirih. Pandangannya kabur karena air mata. "Saya tidak membunuh Pak Dewa. Tidak akan."
Tetes demi tetes air mata Safira tak mencairkan atmosfer dingin sedikit pun yang ada di antara mereka. Kedua tangannya meremas rok hingga kusut. Rekaman CCTV terus terputar dalam pengulangan tanpa henti, menemani bunyi detik jam yang terdengar jelas.
"Lo pikir pake air mata bikin kita semua percaya? Di rekaman itu, jelas-jelas lo, Safira! Mau menghindar kek gimana?" Riki, pemuda ahli robotik yang duduk di belakangnya menyahut kasar.
Abel yang duduk satu baris dengannya menjentikkan jari. "Kecuali kau punya bukti kuat, baru kami bisa percaya. Lagi pula, kalau mengingat masalahmu dengan Pak Dewa, bukan nggak mungkin kalau kamu pembunuhnya."
Safira terenyak atas delikan mata menyerupai pisau yang baru diasah milik Abel . Ia menundukkan kepala, dengan kain jilbab ia menutupi matanya yang basah. Di tengah tangis heningnya yang belum berhenti, Safira mencari mata Luna—orang yang berada di sisinya selama ini. Namun, gadis itu juga memalingkan wajah.
"Untuk sementara, Safira Benazir adalah tersangka dengan bukti paling kuat." Gunawan mengumumkan hal itu dengan kekehan yang hampir tak terdengar.
👣
Jika ia disapa, Safira akan melontarkan senyum tipis yang membuat para lelaki terpesona diiringi dengan "halo" atau "hai" pelan. Ketika ia berada di kelas dan kantin, Safira kebanyakan menghabiskan waktunya mengamati orang lain. Bibir kecil ranum miliknya jarang membuka pembicaraan atau bercanda.
Akan tetapi, di balik dirinya yang tampak tenang itu, Safira sering merasa kosong dan hampa. Di tengah kantin yang hiruk-pikuk, ia merengut dalam kesendirian meski duduk satu meja dengan Luna dan Dheya. Juga ketika di kelas, semua orang seakan mempunyai kelompok mereka masing-masing.
"Safira? Saf, yuk ke kantin!"