Hipokrit: 12 Cara Berdalih

Athaya Laily Syafitri
Chapter #3

primum two

"Heh, cepetan hapus video Safira. Bahaya!"

Kantin seketika ramai. Para siswa Reguler yang mengenakan jas hitam bergumul. Jari mereka menari cepat di atas layar ponsel. Jejak demi jejak video Safira yang tersebar luas segera mereka hapus.

"Nggak disangka Safira meninggal. Bunuh diri lagi katanya."

Halaman pencarian di Instagram kini dipenuhi berita kematian Safira. Belum lagi tagar terkait dirinya juga trending di Twitter. Orang-orang memposting foto terbaik gadis itu dan mengungkapkan rasa berkabung mereka.

"Dia pasti depresi, sih. Lihat aja reaksi dia yang viral kemarin. Mentalnya udah terganggu duluan."

Bunyi sendok bersentuhan dengan piring mengiringi perbincangan mengenai Safira yang semakin lancar. "Anak-anak sekolah kita banyak yang hujat dia, bahkan dari yang kutahu ada juga ngirim pesan teror."

"Keterlaluan nggak, sih? Mereka sudah bikin Safira menderita sebelum mati."

👣

"Safira memang ada bilang mau bunuh diri ke saya."

Pengakuan dari Ibu Safira membuat si detektif wanita tergugu. Namanya Kasih, bertanggung jawab atas kematian Safira. Gadis malang tersebut ditemukan dalam keadaan tulang hidung dan pipi patah, wajahnya berlumuran darah, seluruh tulang tangan dan kakinya mengalami dislokasi.

Dengan ditemukannya mayat dalam posisi tengkurap, polisi yakin Safira memang menjatuhkan dirinya sendiri. Namun, Kasih tetap terkejut mendapati fakta kalau Safira memang punya niat mengakhiri hidup.

"Dia ditetapkan sebagai tersangka paling kuat atas kematian gurunya. Anak-anak sekolahnya kemudian membuat videonya tersebar luas di media sosial. Mereka tidak tahu kalau Safira menderita BPD¹," jelas sang ibunda. Pandangan kosong beliau terarah pada kantong mayat Safira yang sekarang dimasukkan ke dalam ambulans yang dikawal polisi.

Kasih menghela napas dalam. Bibirnya yang tersenyum tipis bergetar. Wanita itu mengusap bahu ibu Safira seraya berkata, "Kita doakan yang terbaik untuk Safira, Bu."

"Akhir-akhir ini dia terlalu fokus ke ponsel." Ibu Safira masih melanjutkan perkataan beliau. "Agaknya selain video itu, ada hal lain yang mengganggunya."

Sebuah ponsel dikeluarkan Ibu Safira. Kasih menerima benda yang disodorkan kepadanya itu. Kemudian bertemu pandang dengan sang ibu yang mulai menitikkan air mata.

"Tolong cari keadilan untuk anak saya. Supaya dia tenang di sana."

👣

Luna hanya berdiri membisu di seberang Ibu Safira yang terus terisak. Ia memandang nisan temannya dengan pandangan yang tak sedikit pun mengabur. Dua tangannya yang sebelumnya tersilang di depan badan mulai mencari eksistensi Dheya di sampingnya.

Dheya menurunkan kacamata hitamnya. Ia mengangkat kedua alis seolah bertanya "ada apa?" yang kemudian dijawab Luna dengan gelengan.

Pemakaman Safira hanya dihadiri sedikit orang. Para siswa Superior, beberapa guru, dan ibunya yang sudah belasan tahun menjadi orang tua tunggal. Wartawan-wartawan yang menunggu di depan gerbang area makam sebaiknya tak perlu dihitung.

Di saat kedua "sahabat" dari Safira hanya bisa berdiri kaku, ada seseorang yang melangkah mendekati sang ibunda. Dia adalah Danial. Pemuda jangkung dan kurus itu berjongkok di dekat nisan Safira. Tangannya bergerak mengelus papan kayu itu pelan sambil tersenyum pahit.

"Safira anak yang baik, ya, Tante." Danial meletakkan tangan di bahu Ibu Safira yang bergetar.

Ibu Safira menatap wajah Danial sebelum kembali terisak. "Iya, Nak. Sayang dia pergi secepat ini."

Danial menghela napas dalam. Paru-parunya seakan dililit kawat tajam. Membayangkan tidak ada Safira di hari-harinya yang akan datang membuat mata Danial berkaca-kaca.

Bukan hanya Danial yang menahan tangis, di sisi sebelah sana juga ada Genta. Kedua pemuda itu berusaha tegar bahkan di saat foto Safira disingkirkan dari dinding belakang ruang kelas mereka.

👣

"Saya turut berduka atas kematian teman sekelas kalian. Walaupun saya sudah menduga kalau dia bakalan bunuh diri."

Begitu ucapan Gunawan, keesokkan harinya setelah pemakaman Safira. Dahi para siswa mengerut tidak suka. Atmosfer berduka masih terasa, setelah dalam kurun waktu satu setengah minggu mereka kehilangan dua orang sekaligus.

"Sopankah begitu?" celetuk gadis dengan rambut model wolfcut dan duduk paling belakang. Namanya Kinan. "Anda bersikap seakan kematian Safira tidak ada artinya dan tidak menyedihkan. Dia bunuh diri bukan karena lemah, tapi karena orang-orang menekannya tanpa tahu kebenaran."

"Wah, Kinan! Impresif sekali. Kamu berteman dekat dengan Safira?" Gunawan bertepu tangan disertai senyuman khasnya yang membuat Kinan naik pitam.

Lihat selengkapnya