Pemandangan tak mengenakkan mata menyambut Kinan pagi itu. Sembari menata rambut yang masih berantakan, ia berjinjit mengintip apa yang dikerumuni para Reguler. Beberapa siswa sengaja menyenggol bahunya dan melempar tatapan tajam. Kinan membalas tak mau kalah.
Kinan mengucek mata, mendumel kesal. Namun, matanya segera membuka lebih lebar ketika mendapati wajah tersenyum Zaid terpampang jelas. Darahnya mendidih diikuti uap panas tak kasatmata keluar dari telinga Kinan.
Tangannya mendorong kasar bahu-bahu yang menghalangi jalan. Ditendangnya poster tinggi lagi besar itu hingga terjatuh. Kinan lantas mencabik tepat di wajah Zaid hingga menjadi gumpalan-gumpalan kecil, membuangnya ke sembarang arah.
"B*ngsat! Apa-apaan ini?!"
Siswa-siswa lain melangkah mundur sambil berdesas-desus. Mereka menonton Kinan yang belum puas menginjak poster dengan mulut ternganga. Beberapa murni ketakutan dan sebagian lainnya tertawa tak jelas.
Kerumunan tiba-tiba membuka jalan. Seorang gadis dengan rambut hitam lebat dan topi beret melenggang terburu di antara mereka. Kinan mendecih ketika Dheya sampai di hadapannya.
"Astaga!" pekik Dheya, kedua tangannya menangkup pipi. "Ini ... ini wajah Zaid, 'kan?"
Kinan memutar bola mata, jelas raut jijik pada wajahnya. Terlebih saat Dheya berlutut dalam gerak lambat. Bibirnya menggumamkan kata maaf seraya mengumpulkan sobekan poster dalam dekapan.
Namun, Kinan menendang pelan lengannya hingga kertas itu kembali berhamburan.
"Mau kamu apa, sih, Kinan? Kok tega sama orang yang kamu suka?" hardik Dheya mendorong bahu Kinan yang bergeming.
Dari ujung mata, Kinan mengerling tajam. "Tega? Aku cuma lakukan apa yang seharusnya. Siapa yang ikhlas kalo ada orang yang curang?"
Pertanyaan balik dari Kinan membuat dahi Dheya mengernyit. Ia bertukar pandang sengit dengan Kinan yang menjulurkan lidah kepadanya.
"Apaan, gaje!"
"Kau yang gaje!" Kinan mendorong dahi Dheya menggunakan telunjuknya. "Bodoh boleh, bucin jangan. Kalo kau bucin, kau jadi tambah bodoh."
Dheya cemberut. Bibirnya melengkung tajam ke bawah. Ditepisnya tangan Kinan kasar.
Kinan menyilangkan tangan. "Heh, kau lupa kalo kita semua ini tersangka pembunuhan? Dan ... orang yang kau suka itu majang poster! Besar banget! Bilang kalo dia tidak ada hubungannya sama ini! Bilang supaya orang tidak ganggu dia!"
Dheya sukses terdiam setelah perkataan Kinan itu keluar. Dari balik poni, ia mengumpat pelan. "KAU—"
"Nggak adil, 'kan? Aku juga mau terbebas dari kekacauan ini." Kinan mengangkat dagu tinggi, lalu menyejajarkan matanya dengan Dheya. "Tapi aku tidak ingin curang."
Gadis yang diintimidasi menutup telinga seraya menggeleng kuat. "Bisa diam? Kau itu nggak paham, nggak usah sok!"
"Terserah, deh! Kau juga nggak usah sok bela Zaid. Pacar bukan, keluarga juga kagak."
Dheya naik pitam. Ia merangsek maju. Rambut Kinan diraihnya dalam kepalan. Tatanan wolfcut si lawan segera berubah menyerupai sarang burung. Tak mau kalah, Kinan balik menjambak rambut gadis di hadapannya.
Orang-orang bersorak. Nama mereka bergantian dielukan. Keributan itu mengundang perhatian dari dua sohib Superior yang baru datang membawa robot.
Genta menyeringai. "Para bucin Zaid berantem lagi tuh, bro!"
"Ayo kita deketin, haha!" Riki tergelak seraya menggiring robot yang baru ia rakit beberapa hari lalu.
Robot Riki yang belum dibangun bagian luarnya menyelinap di antara kerumunan dengan leluasa. Kamera yang ada di kepala robot tersambung dengan ponsel Genta. Mereka tertawa menonton perkelahian dari jarak dekat lewat layar kaca tersebut.
Riki tak fokus mengendalikan robotnya. Dirinya lebih sibuk tertawa memerhatikan rambut berantakan Kinan. Begitupun dengan Genta. Mereka berdua langsung terkesiap, terdiam saat robot menabrak kaki Dheya. Tanpa sengaja, kamera mengarah ke dalam rok gadis itu.
"Dheya! Kau pake short pants abu-abu, ya?" Riki dengan suara nyaring dan mulut tak terkontrolnya.
Genta meringis mendapati wajah horor Dheya yang menoleh ke arah mereka. Bukan hanya si gadis, tapi seluruh pasang mata kini terarah pada dua orang yang sama. Genta menyengir, lekas memasukkan ponsel ke saku celana.
"Dasar mesum," gumam Kinan kesal, menendang robot hingga terpental. Diacungkannya jari tengah kepada tiga teman sekelasnya dan kerumunan.
Dheya sekadar menatap hampa punggung Kinan yang menjauh. Wajahnya kusut, melirik jijik pada robot yang sekarang susah payah ingin berdiri. Sambil menekan roknya agar tidak berkibar, Dheya berlari menuju tangga.
Genta tertegun. Wajah Dheya tampak sangat ketakutan.
👣
"Setelah kematian Safira, kasus ini jadi diangkat lagi," ujar seorang wanita yang dikenal sebagai Ibu Zaid seraya meletakkan secangkir teh di hadapan suaminya.
Ada suara TV yang memutar berita di tengah ruang tamu putih dan luas. Ayah Zaid sekaligus Bupati menyesap tehnya dalam hening. Dua alis tebalnya menekuk diikuti mata yang terfokus kepada judul dan reporter berita.
"Ini mengkhawatirkan, Yah. Saya takut Zaid ikut terseret dan jadi tidak fokus pada belajarnya."
Pak Bupati melirik sang istri yang memeluk nampan dengan wajah cemas. Setelah meletakkan cangkir tehnya, pria itu berdeham. "Tenang saja. Aku sudah menyebarkan selebaran agar tidak ada yang mengganggu Zaid. Detektif banci itu juga sudah kusogok."
Mata Ibu Zaid serta-merta bersinar. Tak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi pikirannya selain masa depan si putra semata wayang. Ia berulang kali menghela napas lega dan melempar senyuman terbaik kepada suaminya.
"Apapun akan kulakukan demi anak kita, Zaid."
👣