“Yan, maaf in Gue.” Wajah itu memelas, matanya menampakkan kesedihan yang tentu saja dibuat-buat. Sudah hampir 15 menit dia merengek dan selama itu pula tak ada jawaban dari si gadis yang kini sibuk dengan kalkulator kecilnya. Seakan sudah lelah ucapannya tak mendapat jawaban, dia memberanikan diri menggapai dagu gadis itu dan mengarahkan ke hadapannya untuk menatapnya.
Sekarang terlihat mata sekelam malam dan sedingin es itu menatapnya dengan enggan.
“Maaf, Oke.” si Gadis hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu tangannya mencoba melepaskan rengkuhan tangan partner kerjanya itu dari dagunya dan kembali fokus ke laporan-laporan kerja yang tak kunjung beres di hadapannya.
“Yan, maaf Gue janji enggak akan istirahat 2 jam lagi.” ucapnya memohon pengampunan dan memberikan janji yang pasti tak akan bisa dia tepati. Gadis di hadapannya kembali tak memberi respons, dia berdecap sebal.
“Kalo Lo enggak mau maaf in ya sudah, Gue pergi.” ucapnya lagi dan lagi seakan memberi ancaman akan kepergiannya. Ketika badannya akan berdiri setelah sekian lama bersila menemani gadis di hadapannya, tiba-tiba gadis itu menatapnya.
“Pindah Line, Gue sudah minta persetujuan bang Yudi tadi.” balas gadis itu dengan dingin dan matanya kembali melihat ke kertas-kertas laporan yang mulai berserakan di hadapannya. Laki-laki yang tadi berniat pergi kini duduk bersila lagi menghadap gadis itu, matanya membulat sempurna dengan bibir yang terbuka.
“Lo bercanda kan Lian?” tanyanya memastikan itu hanya sebuah lelucon sebelum dia mendapat pengampunan. Ya, dia masih berharap akan mendapat pengampuan setelah membuat kesalahan fatal bagi Line dan partner-partner kerjanya yang lain.
Lian, si gadis yang sibuk dengan kertas dan kalkulator kecil di hadapannya itu hanya menaik turunkan bahunya, acuh dan tak peduli.
“Yan, Gue enggak mau pergi!"
“Lo enggak akan pergi, cuman pindah Line saja."
“Itu sama saja, itu artinya Gue harus jauh dari Lo.”
“Kita tetap satu produksi Ul.”
“Gue enggak bisa partner sama yang lain.”