HIRAYA

Murasaki Okada
Chapter #2

Rinai-Rinai Kenangan

Mobil yang dikemudikan Samra melesat cepat membelah Spadina Avenue dalam perjalanan menuju gedung pertemuan di Toronto City Hall. Terikat pada sabuk pengaman, entah mengapa ia merasakan urat nadinya berdenyut aneh dan otot-otot perut gadis itu menegang begitu melihat CN Tower menjulang dari kejauhan di balik tirai hujan. Keberadaan menara setinggi 1.815,4 kaki itu telah menjadi penanda awal kedatangannya di Kanada enam belas tahun silam.

Sambil menyetir ia melebarkan pandangan melalui jendela mobil dan mengamati rinai-rinai halus yang mengalir menerpa kaca. Samra tiba-tiba memasuki sebuah momen saat gerakan wipers naik-turun itu mengingatkannya pada sebuah kenangan yang sudah ditekan jauh di lapisan terbawah alam sadarnya.

Ingatan yang datang di ujung wipers, dan benaknya memunculkan perlahan arus kenangan dalam rinai-rinai tak berkesudahan. Ia kini melihat dirinya yang masih remaja, pada sepotong waktu di sebuah hari berhujan. Samra menyelinap keluar rumah, berlari dari satu pancuran ke pancuran lain di rumah-rumah tetangga, sejenak berlepas dari aturan-aturan sang ayah. Sebuah dispensasi ilegal yang telah lama ia rencanakan. Meski pada akhirnya ia ketahuan dan kena hukum.

 “Mesti berapa kali Baba bilang, kamu jangan main-main hujan di luar.” Gelegar suara lelaki itu menembus kesadaran Samra. “Kamu itu anak gadis, tidak boleh main di luar. Kalau dilihat orang bisa jadi fitnah!”

Lagi-lagi narasi itu. Batin Samra menggeram, namun ia tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia sudah terbiasa menghadapi persidangan sang ayah yang penuh cercaan. Setelah semua itu, ia masuk ke kamar dan menelan semua kata-kata pahit ayahnya, tetapi menolak untuk menitikkan air mata.

Aku bisa merayakan kebebasanku kapanpun dan dengan cara apapun. Baba tak ada di sini untuk mencercaku. Samra tersenyum tipis, menyadari betapa getir itu masih menyisa setelah sekian lama.

Setelah memarkirkan mobil di basement, Samra segera beranjak menuju gedung utama. Dari balik pintu otomatis di pintu masuk utama seseorang menyambut Samra. Ia adalah lelaki pertengahan empat puluhan berwajah flamboyan dari penerbit yang selama ini menerbitkan karya-karya Samra.

Welcome, Sam.” Ujarnya dengan wajah secerah musim semi. Loker adalah editor yang selama ini menangani proses penyuntingan naskah Samra sebelum naik cetak. “Dan selamat untuk penganugrahan malam ini.”

Malam itu Samra akan menerima sebuah penghargaan kesusastraan setelah terbitnya sebuah novel berjudul Moment of Silent yang dinobatkan sebagai salah satu naskah dengan tema baru yang mencerahkan.

“Semuanya berkat dirimu, Loker.” Sahut gadis itu.

Naskah novel yang akan mendapatkan penghargaan itu adalah dedikasi yang besar dari Loker. Ia tidak hanya membantu mengumpulkan data-data untuk keperluan riset, Loker juga dengan teliti mengatur perjalanan serta destinasi selama enam bulan Samra berada di  Maroko. Tempat yang menjadi latar novel Samra.

“Aku melakukan sebaik yang kubisa, Sam. Penghargaan malam ini ditujukan untuk menobatkanmu sebagai salah satu penulis wanita yang mencerahkan. Sedikit lagi kamu akan menyamai level Camilla Gibb dan lainnya.”

“Mungkin aku butuh setidaknya satu dekade lagi sebelum disandingkan dengan mereka.”

Nah, I think you’re better than that.”

Ucapan loker membuat Sinan tersenyum. Lega mengetahui hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun dihargai dan diapresiasi.

“Kita sebaiknya ke lobi sekarang. Acara sudah hampir mulai. Para seniormu juga sudah datang.” Loker berujar seraya memberi isyarat pada Samra untuk melangkah lebih dulu.

Acara dimulai pukul dua puluh satu, tepat seperti yang tertera dalam kartu undangan. Tempat duduk bagi para nominator penghargaan serta para juri disediakan di garda paling depan. Sebuah mimbar tembus pandang dengan mikropon yang tinggi ditempatkan berhadapan dengan para undangan yang berjumlah sekitar dua ratus orang. Kata sambutan disampaikan oleh ketua penyelenggara kemudian disusul oleh sambutan dari Joceline McCharty, salah satu penulis wanita senior Kanada yang juga menjadi juri dalam penganugrahan tersebut.

Sudah lebih dari sepuluh tahun Samra mengenal McCharty. Karir McCharty di dunia sastra telah berlangsung selama hampir tiga dekade. Dia merupakan senior sekaligus mentor Samra. Pada masa-masa awal karir Samra sebagai penulis, hubungannya dengan McCharty diselubungi suasana tidak nyaman. Dengan terus terang wanita paruh baya betubuh subur itu berkata pada Samra bahwa dia tidak menaruh minat dan cenderung memandang skeptis ide-ide yang digarap Samra dalam tulisannya.

“Aku tak bermaksud meremehkanmu, rokie,  tapi dengan kedangkalan cara berpikir seperti itu, karyamu takkan pernah diterima di sini.” Kalimat itu ia ucapkan dua belas tahun lalu. Samra baru saja direkrut oleh Farr sebagai penulis pemula di Orackle.

Ketika kemudian tulisan pertamanya yang berupa kumpulan cerita pendek diterbitkan oleh Orackle enam bulan kemudian, McCharty adalah orang pertama dari devisi fiksi yang memberikan ucapan selamat. Meski saat itu McCharty sama sekali tidak menyampirkan kata-kata pujian, Samra menganggap ucapan selamat itu adalah sebuah pertanda bahwa McCharty mulai memperhitungkan keberadaannya.

Tidak lama kemudian, wanita yang di mata Samra selalu mengingatkannya pada karakter Control dalam serial Person of Interest itu, dengan sukarela membimbingnya dalam mengembangkan teknik-teknik penulisan. Seiring waktu, Samra berhasil menelurkan tulisan yang kebanyakan berupa novel, tanpa sama sekali dibayang-bayangi gaya penulisan sang mentor.

Malam itu, McCharty mendedahkan kesan-kesannya mengenai karya-karya Samra melalui sudut pandangnya sebagai seorang sastrawan kawakan.

“Samra Zarinah Nazir, Joan of Arc-nya Orackle...” Begitu para senior di Orackle memanggil Samra.

“Ia bergabung dalam divisi fiksi di Orackle saat ia masih mahasiswi tingkat dua. Dia seorang imigran muslim yang idealis dan kolot pada awalnya. Dalam pandangan saya, situasi itu akan menjadi penghalang terbesar bagi karir menulisnya.”

McCharty dengan pembawaannya yang menyerupai seorang senator memulai pidato dengan rumusan kata-kata yang mampu menarik perhatian pendengar mengenai topik yang hendak ia bicarakan.

“Kesulitan terbesar yang dihadapi Samra ketika pertama kali bergabung adalah ia harus menjelaskan tentang eksistensi Tuhannya agar bisa dipahami dalam lingkungan masyarakat Kanada yang cenderung tak bertuhan, di mana Tuhan yang diyakininya merupakan figur kabur yang sulit diterima. Saat itu ia memilih jalur teologi Islam sebagai ciri khas karya-karyanya. Itu juga salah satu alasan yang menyebabkanku tidak menaruh minat pada tulisan Samra. Sejak awal ia sudah tersiksa dengan fakta bahwa tidak mudah membuat publik pembaca mengerti dengan gagasan yang ia tawarkan.”

McCharty menarik satu lagi kenangan saat pertama kali Samra bergabung di devisi fiksi Orackle hampir tiga belas tahun yang lalu, terbayang di benak gadis itu sebuah ruangan di lantai dua rumah Farr di Ontario. Ruangan yang selalu beraroma lemon. Naomi, penanggung jawab tempat itu tidak pernah absen menyemprotkan pengharum ruangan. Pada suatu malam menjelang paskah, lima orang penulis senior dari devisi fiksi, termasuk McCharty, mengupas novel kedua Samra habis-habisan.

“Aku tidak setuju dengan gagasan seperti ini, Samra.” Salah seorang penulis senior, Edward menatap Samra dengan air muka yang tidak mengenakkan. “Ini tidak fair. Ketika seorang sastrawan berbicara tentang religiusitas, kau seharusnya melepaskan diri dari pembakuan pendapat. Kecenderungan seperti itu hanya akan merintangi pencarian kebenaran.”

Samra tidak membantah ucapan Edward.

“Bukankah kitab sucimu mengecam perilaku semacam ini? Membakukan tradisi tertentu kemudian menjadikannya kewajiban. Berhentilah mengulang retorika usang kaum fundamentalis yang seharusnya diperbaiki. Publik pembaca sudah sangat muak dengan itu.”

Lihat selengkapnya