Le Roi menyemburkan wangi cedar, harum wafel yang berdesis di atas pemanggang, aroma berupa-rupa jenis kopi, serta riuh pengunjung yang sejak awal petang terus berdatangan. Panggung kecil di sudut ruang utama menampilakn Hiraya yang sedang menyajikan ‘White Christmas’ dengan sebuah piano.
Lagu itu selalu membawa kenangan Hiraya pada sepenggal waktu di masa kecilnya. Pada sebuah malam natal ketika ia masih menyimpan secuil iman terhadap Sinterklas. Samar diingatnya, Hiraya dan ketiga kakaknya duduk bersila di depan ibu mereka di sofa dengan karpet bermotif biji pinus. Sementara mereka mendengarkan cerita dari radio tentang malam ketika Yesus Kristus dilahirkan.
Keesokan harinya, di dalam kaos kaki yang digantung ibunya di dinding dekat tangga ruang duduk, Hiraya menemukan banyak hadiah mainan dan kotak cokelat Turkey Delight yang selalu diidamkannya. Ibunya berkata dengan nada berkelakar bahwa semua itu dari Sinterklas yang datang sembunyi-sembunyi saat mereka sedang tidur. Hiraya sebenarnya tahu semua hadiah itu dari orang tuanya. Namun ia tak pernah memerotes sebab ia senang dengan hadiah-hadiah.
Betapa segalanya terasa begitu jauh sekarang. Batin Hiraya.
Sang ibu sendiri sebenarnya hanya menganggap natal sebagai tradisi turun-temurun keluarga yang tak ada kaitannya dengan iman. Sudah lama sekali ia meninggalkan imannya. Tapi ia senang melestarikan tradisi itu sebab tak ingin kehilangan keceriaan kanak-kanak.
Setelah ketukan terakhir, Hiraya mengangkat tangan dari tuts dan beranjak dari panggung. Ia lalu pergi ke belakang bar saji, kembali kepada pekerjaan utamanya sebagai peracik kopi. Salah satu menu utama malam itu sangat istimewa. Hiraya mendapatkan resepnya dari seorang pelanggan Asia Tenggara yang berkunjung beberapa hari lalu. Jenis kopi robusta yang digongseng selama seminggu, lalu digiling, digongseng lagi, digiling lagi, kemudian ditambahkan racikan kapulaga, cengkeh, kayu manis, sejumput ketumbar dan secuil garam. Kopi beraroma istimewa itu memikat Adrian dan berencana memasukkannya kedalam daftar menu.
Seperti momen natal sebelum-belumnya, malam itu Le Roi ramai pengunjung. Belum ada satu jam sejak Hiraya clock in, ia sudah membuat setidaknya sepuluh cangkir. Kesibukan itu terus berlanjut bahkan hingga jam makan malam.
Beberapa kaki dari tempatnya membuat kopi, Hiraya melihat pelanggan itu. Seorang lelaki Arab dengan bangun wajah kokoh dan terkesan angker, namun ekspresinya selalu tampak sendu. Hiraya segera menghampirinya.
“Hai,Yassin.” Sapanya riang. “Kapan datang? Aku tidak melihatmu tadi.”
“Ya, baru sekitar lima menit.”
“Hmmm, mau pesan?”
Iya, aku ingin kamu. Is that possible? Kata-kata itu sudah sampai di tenggorokan tetapi tertahan di lidah, seolah digantungi pemberat. “Aku pesan seperti biasa.” Jawab lelaki itu dalam Bahasa Inggris dengan aksen Arab yang tidak bisa disembunyikan. Seperti biasa yang ia maksud adalah kopi arabica macchiato didampingi wafle pistacio.
“Okay, tunggu sebentar ya?” Hiraya beranjak ke belakang bar saji untuk membuatkan pesanan Yassin.
Lelaki itu menunggu dalam keremangan kafe. Kesabarannya bagai seorang pemburu. Ketenangan seorang lelaki yang mampu mengendalikan pikiran dan perasaan. Yassin berasal dari Irak dengan ketampanan wajah dan kulit terang warisan nenek moyang. Rambut hitamnya bergulung-gulung dengan garis wajah tegas dan mata setajam elang. Ia berperawakan tegap setinggi seratus delapan puluh senti. Matanya memandang hampa pada meja vinil tempat ia meletakkan kedua tangan.
Beberapa saat kemudian Hiraya kembali dengan sebuah nampan. Dengan gesit ia meletakkan pesanan lelaki itu di atas meja, lalu berkata, “Bon apetit!”
Tapi Yassin tak langsung menyahut pesanannya. Ia mendongak, menatap Hiraya dan berkata, “Bisakah kamu duduk sebentar?”
Hiraya terdiam sejenak. Ragu. Ia sebenarnya benar-benar sangat sibuk saat ini. Tapi perlahan-lahan ia menarik kursi lain yang ada hadapan Yassin lalu duduk. Hiraya meletakkan nampan di atas meja dan menghela napas.
Mereka saling berhadapan satu sama lain dalam diam selama beberapa menit. Masing-masing mencoba mencaritahu apa yang dipikirkan orang yang ada di hadapan mereka.
Yassin kemudian menyeruput kopinya dengan tenang, seiring ekor mata lelaki itu memerhatikan Hiraya yang meletakkan siku di atas meja.
“Permainan pianomu bagus.” Kata Yassin kemudian.
“Thanks. Temanku yang mengajari.” Hiraya memberitahunya. Ia ingat beberapa hari lalu ketika Lucien mengajarinya lagu itu. Ia sebenarnya tidak suka memainkan White Christmas. Terlalu banyak kenangan yang tumpah ruah setiap kali lagu itu mengalun. Tapi Adrian pantang menyerah. Tanpa henti ia membujuk barista kesayangannya itu untuk memainkan White Christmas khusus di malam natal.
“Satu lagu saja dan kamu boleh kembali ke belakang bar, ya?” itu negosiasi kesekian sejak sepekan terakhir.
“Kenapa bukan Lucien saja sih?” Hiraya memerotes.
“Dia itu suka merusak mood kalau kusuruh dia memainkan lagu rohani.”
“Nah, apalagi aku. Trust me boss, I’m the worse.”
“Nah, kamu yang terbaik, Ann. Nanti kusuruh Lucien mengajarimu. Pokoknya, akan kuberi bonus lebih besar dari Lucien, okay.” Adrian mengerling.
Mata Hiraya membulat ketika mendengar Adrian menyebut-nyebut soal bonus besar. “Bos serius?”