HIRAYA

Murasaki Okada
Chapter #4

An Evening in Isfahan

Noya melingkari sebuah tanggal di kalender. Lalu jarinya bergerak perlahan menyusuri deretan tanggal setelahnya. Sambil mengetuk-ngetukkan jari tangan yang satunya di atas meja, gadis itu mendesahkan gelisah. Lama ia merenung. Lama sekali. Hingga kemudian ia mengalihkan pandangan ke tumpukan kardus di sebelah meja kerja. Matanya tertumpu pada barang yang baru saja selesai dikemas. Dua hari lagi kardus-kardus itu akan diangkut dan dibawa ke tempat jasa pengiriman barang untuk diposkan ke alamat kantornya di Kanada. Noya akan segera kembali dalam empat hari. Pekerjaannya di Isfahan baru saja selesai.

Gadis dengan kecantikan aristrokrat timur tengah  itu merosot di kursi, tapi tak lama ia lalu berdiri. Mengambil tas, kunci mobil dan ponsel, ia bergegas meninggalkan ruangan itu.

Bermobil selama dua puluh menit ke arah Zayandeh Rud, Noya berencana menikmati Zarrin ShamshiriNan e Berenji (kue beras), dan Naan Nokhodchi (kue kering kapulaga buncis). Namun hasratnya mendadak lenyap sebab ia tak berhasil mendapatkan tempat parkir. Entah ada perayaan apa, Zayandeh saat itu dipenuhi pengunjung. Padahal sudah jauh-jauh ke sini. Gadis itu bergumam kecewa. Akhirnya ia putuskan untuk pulang ke flat sewaannya.

Malam sudah sempurna ketika Noya turun dari mobil. Cahaya tipis bulan memberikan cukup sinar untuk mencegah kesuraman yang hinggap di antara taburan bintang-bintang di langit. Trotoar jalan tidak rata, melengkung bagai ular naga mengarah ke atas sepanjang gang aspal yang sempit.

Sekitar separuh jalan di sebelah kanan, gadis itu tiba di sebuah bangunan sederhana berlantai tiga. Seperti kebanyakan tempat tinggal kelas menengah di kawasan Bozorgmehr, bangunan tersebut memiliki pagar setinggi kepala yang mengelilingi kedua gerbang dan jalan setapak menuju beranda depan yang ditumbuhi semak dan bunga-bunga.

Ia melepaskan pengait dan membuka pagar baja. Suara decit engselnya menggema di sepanjang gang sunyi. Beranda depannya gelap. Rupanya landlord tua itu tidak menyalakan lampu.

Dengan langkah lesu ia memasuki halaman. Saat melewati beranda, Noya menyempatkan diri menyapa peoni di dalam pot dengan sentuhan lembut pada kelopak merah jambu yang tampak mekar sempurna. Seulas senyum terbit, tanpa diniatkan sebelumnya. Benaknya bertanya-tanya, apakah senyuman itu mampu membuat seseorang jatuh cinta padanya? Ia lantas menggeleng tidak habis pikir. Betapa aneh pikiran seseorang saat sedang sendirian.

Meletakkan tas dan kunci mobil di atas meja begitu tiba, Noya lalu mengempaskan diri ke sofa. Ia memejamkan mata dan mencoba beristirahat. Tidak ada lagi sisa pekerjaan yang harus dipikirkan selama beberapa waktu. Untuk sesaat, benak Noya bungkam. Nyaris tak ada apa pun yang melintas. Namun ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling yang sepi, ia tiba-tiba merasa sunyi. Ia mendesahkan getir dan dengan cepat napasnya menguap di udara.

Telinganya lalu menangkap suara ping beruntun dari Facebook Messenger. Pesan masuk. Noya mengabaikannya. Apapun yang datang dari aplikasi yang satu itu, adalah urusan pekerjaan. Dia benar-benar tidak ingin diganggu sekarang. Noya memantapkan posisinya di sandaran sofa. Satu tangan diletakkan di atas dahi. Gadis itu memejamkan mata.

                                                           *****

Noya terbangun dalam keadaan bersimbah keringat, merasakan kulit kepalanya seperti terbakar. Ia pusing dan agak bingung. Selama beberapa saat gadis itu menenangkan diri. Diraihnya ponsel yang tergeletak di sebelah sajadah. Noya lalu memeriksa penanda waktu. Hampir tengah malam. Sekitar empat jam setelah ia menunaikan salat Isya. Dirinya pasti jatuh tertidur di tengah-tengah zikir tadi.

Ia mengibas-ngibaskan kepala agar pandangannya menjadi jernih, kemudian menanggalkan kerudung yang rupanya masih melekat. Noya mendorong dirinya untuk bangkit dan beranjak ke kamar mandi untuk mengulang wudunya. Setelah itu menunaikan witir sebagai penutup sebelum ia benar-benar beranjak untuk tidur.

Sebuah nada pengingat terdengar dari ponsel beberapa detik sebelum Noya duduk tasyahud akhir. Untuk sesaat konsentrasinya berpencar. Distraksi itu tidak disangka-sangka datangnya. Ia mencoba mendapatkan kembali kekhusyuan salatnya dengan melambatkan bacaan. Setelah akhirnya Noya mengucapkan salam, ia terdiam sebentar lalu memulai sayyidul istigfar dan mengulang-ulangnya selama beberapa saat. Barulah kemudian Noya menjangkau ponsel dan menengok layarnya.

Perayaan Hanukkah. Demikian kalender di ponsel itu mengingatkan. Gadis itu menarik napas berat seolah baru saja keluar dari ruang sempit. Mengherankan mengapa ia masih mengaktifkan pengingat itu, padahal merayakannya pun tidak. Tidak lagi sejak kakak sulungnya Yzak tewas dalam sebuah peristiwa penembakan di West Bank dua belas tahun silam. Tidak sejak ayahnya bersumpah meninggalkan seluruh akar tradisi Yahudi mereka. Bahkan sama sekali tidak sejak mereka sekeluarga pindah ke Kanada dan memulai kehidupan baru mereka di sana. Lalu mengapa ia masih membiarkan dirinya diingatkan?

Dengan cepat Noya menekan pilihan dismiss, meletakkan ponselnya di nakas lalu menanggalkan kerudung dan beranjak ke pembaringan.

Lihat selengkapnya