Ia bermimpi tentang debu dan padang pasir. Tersesat dalam gelap sementara badai pasir di hadapannya menggulung-gulung perlahan dalam diam. Tiap butirannya menjadi teka-teki yang tak bisa diretas sebelum akhirnya sirna. Hiraya terbangun, merasakan butiran-butiran itu menghilang bersama hentakan tiba-tiba. Entah kenapa pikirannya gelisah, penuh dengan hal-hal asing. Ketakutan, kerinduan, dan kesedihan yang diperas secara bersamaan. Tubuhnya gigil, seolah mengindap penyakit akut selama bertahun-tahun.
Edmonton awal Januari. Tiga jam sebelum matahari terbit dengan keheningan yang masih menyebar. Angin musim dingin perlahan menyapu mimpinya. Kabut tipis bergerak ke darat, melewati barisan gedung kawasan Edinboro Road.
Ketika kesunyian benar-benar sampai pada titik tak tertanggungkan, gadis itu mulai menangis. Tangisan yang muncul dari lubuk tak terduga. Hingga matahari perlahan terbit di horizon, sisa-sisa mimpi ganjil itu pun mengendap dalam senyap.
Butuh setidaknya satu jam bagi Hiraya untuk menenangkan diri sebelum akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Ditambah satu jam lagi untuk bersiap-siap sebelum meninggalkan flat.
Kesuraman tampak di wajahnya. Kemurungan yang berakar dalam, menyelubungi wajah khas Filipinanya. Dia berjalan seorang diri, jemari-jemari gadis itu memainkan tali ransel yang tersampir di bahu, mata memandang ke tanah dengan pikiran terombang-ambing.
Rambut hitamnya disisir ke belakang menjadi satu ekor kuda. Ujung rambut sampai ke bagian bawah punggung, nyaris menyetuh bokong, tampak seperti lelehan titanium. Ia mengenakan celana danim biru tua dan sebuah baju berbahan katun berwarna hijau. Tubuh ceking dengan lingkaran bawah mata yang tampak mulai memagari.
Jalan yang Hiraya lewati sangat ramai. Pandangan gadis itu menyergap barisan manusia yang menyemut di jalan. Orang-orang tampak begitu bernafsu menaklukkan waktu. Masing-masing bersicepat dalam perjalan menuju entah ke mana. Tenggelam dalam drama hidup masing-masing, ia merasa sendirian di dunianya. Hiraya tahu ia tak pernah menjadi bagian dari putaran waktu mereka. Ia sendirian dan merasa waktu berjalan sangat aneh. Baginya, waktu adalah absurditas yang nyaris kekal. Kadang ia merasa waktu bergulir sangat cepat. Baru beberapa menit memejamkan mata, tahu-tahu pagi sudah menyapa. Terlebih ketika ia tersiksa dalam pasungan bisikan-bisikan ganjil yang semakin lama semakin sering terdengar. Dalam momen magis itu, kesadarannya atas waktu seolah lenyap.
*****
Seseorang meluncurkan nampan warna kelabu kedalam pandangan Hiraya, sementara gadis itu menatap hampa ke atas piring berisi spageti. Tangan coklat, kuku pendek dan bersih, beberapa bulu hitam liar ruas jari.
“Here you are.” Sapa Nishi. Gadis Bangladesh yang selama ini menjadi temannya. “How do you doing, Raya?”
Ia sebenarnya tidak suka dipanggil dengan cara seperti itu. Orang seharusnya tidak memenggal nama agar makna di dalam nama itu tidak tereduksi. Tapi Nishi sepertinya tidak memerhatikan ketidaksukaan Hiraya.
Sekilas keduanya tampak dekat, layaknya sahabat, namun yang sebenarnya Nishilah yang terus menempeli Hiraya. Ketertarikan aneh yang dirasakan Nishi setiap kali memandang sosok Hiraya membuatnya tidak bisa tenang jika sehari saja tak menjumpainya. Hiraya menangkap kesan itu, tapi tak menanggapi lebih. Pun tak pernah menepis setiap kehadiran gadis Bengali itu. Mungkin sebenarnya dia pun butuh teman untuk mengalihkan pikirannya dari suara-suara dalam kepalanya.
“Sort of good.” Hiraya menyendok makanan ke mulut dan mengunyahnya tanpa semangat.
“Sort of?” Nishi bertanya dengan heran.
“Ya.”
“What’s wrong?” gadis yang mengenakan kemeja kotak-kotak merah itu penuh selidik.