HIRAYA

Murasaki Okada
Chapter #6

Sebuah Firasat

Samra meninggalkan apartemen lebih pagi menuju kantornya di Garnet St, wilayah Regina. Sekitar tujuh tahun lalu ia membeli sebuah rumah bergaya ranch di area pemukiman yang agak jauh dari jalan raya dan menjadikannya sebuah kantor. Umumnya orang-orang akan membeli atau menyewa gedung di daerah strategis di tengah kota, Samra justru memilih  sebuah rumah model lama di wilayah suburban.

Kantor Samra memiliki tiga ruangan, ditambah dapur dan kamar mandi. Ruangan paling depan difungsikan sebagai ruang rapat dan tempat menerima para tamu yang datang. Ruangan berukuran sedang ia jadikan tempat beristirahat, jika sewaktu-waktu ia bekerja lembur dan tidak pulang ke rumah. Sedangkan ruang kerjanya adalah ruangan paling luas dengan jendela besar menghadap taman belakang yang rimbun. Begitu membuka pintu, ia bisa langsung melangkahkan kaki menuju hutan dengan pohon elm yang rindang dan semak-semak.

Saat tiba di kantor pagi itu, Sinan langsung menuju ruang kerja, lalu duduk di sofa yang menghadap tepat ke jendela lebar.

Ia punya kebiasaan sebelum terjun dalam tulisan: menghabiskan waktu selama yang diperlukan untuk duduk sembari menyusun plot dalam kepala. Kemudian pergi ke dapur dan membuat kopi. Setelah itu duduk di depan meja kerja yang tak pernah rapih, memindahkan setiap detil plot yang telah disusunnya.

Saban hari dengan posisi membungkuk dalam keheningan, menyelam dalam dunianya. Sebuah perjalanan asing tanpa peta. Samra bukan sepenuhnya seorang plotter, terkadang ia bisa menjadi pantser dengan menyusun cerita tanpa menyiapkan apapun. Pada saat seperti itu, Samra takkan tahu ke mana arah tulisan itu akan membawanya. Ia hanya melakukan improvisasi di sepanjang jalan cerita yang membentang di depan.

Sepanjang hari itu Samra terbenam dalam semesta ceritanya. Bekerja serupa dengan cara lebah mengumpulkan madu tetes demi tetes, tanpa terganggu oleh bunyi apa pun selain irama tuts papan ketik yang harmonis. Ia sedang memindahkan segala hal dalam kepalanya ke laptop  ketika sebuah pikiran meledak di dalam otaknya, menjebol tanggul ketenangan yang ia bangun. Ingatan tentang lelaki kulit putih di acara penganugrahan malam itu menyelinap dan dengan cepat mengacaukan konsentrasinya.

Samra menghirup napas dalam-dalam, memaksa pikirannya kembali pada tulisannya. Tapi usaha itu sia-sia, bayangan lelaki itu semakin menyeruak ke permukaan. Kemarahan dan kebencian tumpah-ruah pada setiap kata yang ia semburkan. Gelombang perasaan murung perlahan terbentuk.

                                                           *****

Tiga puluh menit kemudian, Samra masih menatap kursor yang terhenti di akhir baris, berkedip-kedip secara teratur. Saat hendak menghapus beberapa kalimat di baris terakhir, Samra terkejut menemukan kalau tidak ada yang bisa dihapus. Hasil dari tiga puluh menit bekerja hanyalah sebaris kalimat yang sama sekali tidak kaitannya dengan keseluruhan paragraf sebelumnya. Rasa pusing menyerang disertai sakit tenggorokan. Samra hampir pasti bahwa dirinya mengalami gejala flu, tapi ia ingin membuat beberapa kemajuan pada ceritanya. Samra mengepalkan tangan dan merenggangkan jemarinya di atas papan ketik, tapi tidak menyentuh tombol sama sekali.

Tidak ada waktu bagi Samra untuk mengembangkan apa yang telah diketiknya sebab sejenak kemudian ponselnya berbunyi. Suara nyaring dan gema yang mengganggu memecahkan keheningan yang terbangun sepanjang hari itu dan membuat Samra terlonjak. Ia mengeluh mengapa dirinya bisa lupa menonaktifkan suara notifikasi. Samra membiarkan panggilan itu selama beberapa saat sebelum menjawabnya.

“Hei, Loker.”

“Kamu di kantor?”

Yeah, why?” begitu mendengar suara Loker, sakit kepalanya makin parah, begitu juga dengan sakit tenggorokan dan gejala-gejala flu lainnya.

Just checking on you. How’s everything?”

“Payah. Aku belum menyelesaikan apapun hari ini.” Samra mengeluh seperti seorang anak perempuan pada ayahnya.

“Ada apa? Is everything alright?”

“Kurasa aku kena flu.”

“Oh, that’s not good. Kamu sudah minum obat?”

“Belum.”

“Kalau begitu tinggalkan saja dulu pekerjaanmu dan istirahatlah.”

Samra hanya menggumamkan “hmmm” untuk merespon ucapan Loker.

“Aku akan mengecekmu lagi nanti. Atau perlukah aku ke kantormu dan menjemputmu? Kudengar akan ada badai malam ini.”

“Lebih baik aku tinggal saja.”

Lihat selengkapnya