[09:25] Museum Budaya, Kota Bain
Pekan pertama musim kemarau membawa serta para peneliti dan arkeolog terkemuka ke Museum Budaya Kota Bain, tempat pertemuan kecil mereka yang telah lama dinanti. Tepat di depan pintu masuk utama, senyum ramah Pak Alan, sosok pria berkacamata sekaligus pemilik museum yang terlihat karismatik, menyambut mereka. Jabat tangan hangat menjadi salam pembuka sebelum mereka larut dalam keheningan ruang pameran.
Kemudian, ketika sebagian besar dari para peneliti itu larut dalam daya tarik museum yang beragam, seorang pria bernama Tikta yang memiliki kumis tipis berbalut jas misterius dan bertopi bundar, tiba-tiba datang dari kejauhan dan menyapa Sang Pemilik Museum secara pribadi.
"Pak Alan!" sapa Pak Tikta.
"Ah, Pak Tikta! Selamat datang!" jawab Pak Alan semringah, setelan jas hijau mudanya yang diiringi kemeja putih dan dasi hitam tampak segar. Saat menyambut tamunya, tersingkap sepatu pantofel hitam mengkilap yang cukup kontras dengan kaos kaki putih bersih yang menyembul di atas pergelangan kakinya. Setelah berjabat tangan sejenak, percakapan pun kembali mengalir.
"Hmm, muka Bapak tetap ngeselin seperti biasa," ejek Pak Tikta dengan senyum tipis.
"Setidaknya lebih baik daripada wajah Bapak yang tampak kurang tidur. Coba lihat kantong matanya, sudah seperti panda saja!" balas Pak Alan santai.
"Ahaha, tidak masalah! Ini namanya tanda perjuangan," sahut Pak Tikta seraya tertawa bangga.
"Dan apa perjuangan itu sudah membuahkan hasil yang lain?" tanya Pak Alan dengan nada lembut namun sarat keingintahuan, seolah menantikan sesuatu.
"Sayangnya, belum. Tapi tidak masalah! Justru orang yang tidak pernah gagal, tidak akan pernah benar-benar meraih pencapaian," jawab Pak Tikta optimis.
"Untuk ukuran orang yang gagal, Bapak cukup percaya diri ya!" sindir Pak Alan sambil melangkah lebih jauh ke dalam museum.
"Gagal itu bukan saat seseorang terjatuh, tapi saat dia enggan untuk bangkit kembali," balas Pak Tikta bijak, mengikuti langkah sang pemilik museum.
"Haha, bagus, Pak! Setidaknya saya lega Bapak tidak patah semangat," ucap Pak Alan seraya menoleh ke arah Pak Tikta, senyum tulus terukir di wajahnya.
"Hmm ... kalau satu kegagalan saja bisa membuat saya menyerah, tentu saya tidak akan menjadi seorang peneliti, Pak! Optimisme itu modal utama. Kalau saya tidak percaya pada diri sendiri, lantas ... siapa lagi?" tanya Pak Tikta retoris sambil mengangkat kedua tangan dan bahunya.
"Tentu saya percaya! Sebagian besar informasi berharga di museum ini kan juga berasal dari hasil penelitian Bapak," jawab Pak Alan antusias, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling museum yang menyimpan artefak-artefak dari era Perang Dunia II.
"Yah ... itu hanya secuil pengetahuan kecil yang berhasil saya terjemahkan dari sisa peninggalan sejarah," respons Pak Tikta merendah.