Historia - The Lost Continent

Hazsef
Chapter #6

Benua Yang Hilang

Usai melakukan pembicaraan intens di ruang koleksi budaya di Museum Kota Bain, Pak Alan pun kemudian mengajak Akasa beserta Pak Tikta untuk menyantap hidangan lezat yang telah ia siapkan sebelumnya. Kemudian setelah semuanya usai, Akasa pun diantar kembali ke rumahnya, bukan oleh Pak Tikta yang tampak masih menyimpan banyak pertanyaan di benaknya, melainkan oleh sopir pribadi dari Pak Alan.

Mereka menatap sosok Akasa yang sedang berjalan menuju mobil dari kejauhan, terlihat dari jendela kaca besar dari ruang kerja Pak Alan. Tampak jelas ada banyak hal yang perlu mereka cerna, hingga memerlukan waktu tambahan untuk mendiskusikan sesuatu yang lebih pribadi dan rahasia.

"Pak Alan," ucap Pak Tikta memulai percakapan dengan nada rendah, masih terpengaruh oleh cerita Akasa. Sementara Pak Alan, berdiri mematung sambil menatap kosong ke arah luar jendela.

"Ya, Pak Tikta. Mau berapa kali pun saya memikirkannya, saya masih tidak percaya dengan cerita yang baru saja kita dengar." Balas Pak Alan menghela napas pelan sambil mengusap dagunya.

"Kita semua telah sepakat, berpikir bahwa 5 tonjolan simetris yang ada di kepala patung itu … adalah intepretasi dari sebuah mahkota. Dan itu hanya ada 5. Tapi anak itu … bagaimana mungkin dia bisa mengetahui kalau itu adalah 7 tusuk konde? Terlebih lagi, berbentuk mata bulu merak yang khas?" tanya Pak Tikta dengan nada takjub bercampur keheranan.

"Itu benar! Semua yang dia sampaikan dari awal sampai akhir, begitu runtut dan terperinci. Sampai-sampai saya lupa kalau dia hanyalah seorang pemuda biasa yang bahkan belum lulus kuliah," timpal Pak Alan, matanya menerawang seolah mencoba mengingat setiap kata yang diucapkan Akasa.

"Ya, terlebih dari caranya menyampaikan informasi, dengan intonasi dan keyakinan yang kuat, rasanya seperti …." Duga Pak Tikta, merasa ada kejanggalan yang sulit dijelaskan secara logika, lalu berhenti di tengah kalimat.

"Seperti sedang mendengar cerita langsung dari seseorang yang hidup pada zaman itu," sambung Pak Alan melengkapi.

"Ya, Bapak benar! Itu tidak terkesan seperti cerita yang dibuat-buat untuk menarik perhatian, maupun kisah turun-temurun yang dibagikan dari generasi ke generasi dengan tambahan imajinasi, melainkan …." Ucap Pak Tikta menggantungkan kalimatnya, mencari kata yang tepat.

"Seperti datang dari pengalaman nyata," sambung Pak Alan dengan keyakinan penuh.

Pak Tikta mengangguk setuju, lalu lanjut berkata, "Pak Alan, mungkin ini terdengar sangat aneh dan sulit dipercaya, tapi …."

"Tapi apa, Pak?" tanya Pak Alan seraya agak mencondongkan tubuhnya ke depan karena penasaran.

Pak Tikta menarik napas dalam-dalam, kemudian lanjut bercerita, "ada suatu masa ketika saya sedang melakukan penelitian di sekitar area bibir pantai yang berbatasan dengan hutan pedalaman di Kalimantan. Saya tiba-tiba tersesat setelah kabut tebal menyelimuti seisi hutan seperti tirai kelabu yang misterius. Saat saya hampir putus asa untuk mencari jalan pulang, di tengah keputusasaan yang mencengkeram, secara tak terduga, tiba-tiba saya melihat sebuah peradaban baru yang sangat maju, tersembunyi di jantung hutan belantara."

Mata Pak Alan membulat tak percaya, lalu berkomentar, "peradaban maju? Di pedalaman hutan belantara?"

"Ya. Peradaban itu memiliki gerbang megah yang terbuat dari emas dan perak berkilauan yang bermandikan cahaya matahari. Memiliki jembatan penghubung besar dan lebar yang permukaannya mampu memantulkan birunya warna langit yang sedikit berkilauan, laksana riak air yang tenang. Barisan pohon-pohon berbatang hitam legam berjajar rapi. Daun-daun lebarnya yang berwarna kuning keemasan, tumbuh rimbun dengan tiga cabang simetris, mempercantik pemandangan." Ujar Pak Tikta menceritakan pengalamannya dengan tatapan menerawang.

"Ketika datang angin sepoi-sepoi yang sesekali berhembus dari arah laut, beberapa daun keemasan tersebut berguguran dengan indahnya, menari-nari di udara sebelum menyentuh tanah. Menciptakan suasana damai yang cukup sendu, sekaligus romantis. Sebuah kontradiksi yang aneh namun memikat," imbuhnya.

"Lalu, saat melihat lebih jauh melampaui gerbang itu, terlihat ada banyak gedung menjulang tinggi seperti pencakar langit, yang tampak samar dari balik tembok pertahanan," kata Pak Tikta sambil menarik napas dalam-dalam, seperti sedang mencoba mengingat-ingat pengalaman yang luar biasa itu.

"Sekilas, saya juga melihat banyak benda aneh yang melayang-layang anggun di atasnya, bergerak tanpa suara, mirip seperti pesawat terbang modern. Hanya saja, bentuknya cukup unik, tidak memiliki sayap utama di samping yang lazim, maupun sayap ekor yang berfungsi sebagai penstabil. Hampir terkesan seperti piringan lonjong berwarna hitam legam yang bergerak dengan misterius." Lanjut Pak Tikta bercerita dengan suara pelan namun penuh keheranan.

"Piringan hitam? Apa Bapak sempat mencoba untuk melihatnya lebih dekat?" tanya Pak Alan makin penasaran.

Pak Tikta pun tersenyum tipis, lalu berkata, "oh, jelas! Itu sudah menjadi naluri alami dari seorang arkeolog, terpanggil oleh hal-hal yang belum terpecahkan. Atau begitulah pikir saya saat itu, sebelum semuanya menjadi lebih aneh." Ujarnya sambil berhenti sejenak dan menatap kosong cangkir kopi yang ia bawa di tangan kanannya.

"Apa mungkin … Bapak tidak jadi mendekat ke sana?" tebak Pak Alan menerka-nerka.

"Bukannya tidak jadi, tapi saya tidak bisa," jawab Pak Tikta dengan nada misterius.

"Hah? Maksudnya?" Pak Alan mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pak Tikta.

"Usai melihat peradaban yang tidak biasa itu, meskipun sebenarnya masih diliputi kebingungan dan sedikit ketakutan akan hal yang tidak diketahui, tapi rasa penasaran seorang peneliti dalam diri saya jauh lebih besar. Lalu ketika saya mencoba untuk berjalan mendekat ke arah gerbang, tiba-tiba ada suara berat yang memanggil saya dari belakang," cerita Pak Tikta, namun suaranya sedikit bergetar mengingat kejadian itu.

Lihat selengkapnya