Bayang-bayang Gunung Vamana masih pekat di benak Akasa. Tiga bulan yang telah berlalu semenjak kepulangan mereka, terasa seperti sekejap mata. Baik Akasa, Raffy, Ezra, Chafik, Lalita, Gita, dan Dafina, kini kembali melanjutkan rutinitas masing-masing, mengejar passion yang mereka miliki.
Ikatan pertemanan yang menjelma menjadi persaudaraan erat di antara mereka, sebuah jalinan tak terpisahkan yang bahkan mampu merentang melewati batas antara dua dunia, membuat agenda rutin di akhir bulan menjadi sebuah keharusan, entah itu sekadar berkuliner atau berwisata ke tempat tertentu.
Tak lupa, sesekali mereka juga menyempatkan diri mengunjungi Pak Wandra di Desa Rohan, sekaligus berziarah ke makam Pak Kumar. Di sana, pasak bambu kecil dengan bendera merah putih, sebagai simbol penghormatan dan kenangan, berkibar sederhana di sisi nisan sahabat mereka.
Perjalanan penuh bahaya yang mereka lalui bersama dua penjaga hutan itu, kini telah benar-benar usai. Kendati demikian, kenangan pahit masih membekas di hati sebagian orang, terutama Pak Wandra yang kehilangan sahabatnya, dan Akasa yang harus merelakan kehidupan keduanya, namun mereka tetap berusaha untuk terus melangkah maju.
Berbeda dengan Pak Wandra yang masih memiliki keluarga, Akasa harus menghadapi kenyataan seorang diri. Walaupun Raffy dan teman-temannya selalu hadir, memberikan tawa dan dukungan, namun di balik kehangatan itu, kekosongan tetap menganga di hatinya, terutama ketika malam merayap. Membawa serta kesunyian yang membungkusnya seperti selimut dingin, mengingatkannya pada kehampaan yang setia di sisinya.