[8:00] Kerajaan Ardana - Hari Pertama
Seleksi tahap pertama akhirnya dimulai. Para petarung yang mengikuti kompetisi tersebut, masing-masing diberikan kain ikat yang tertera nomor urut peserta. Ada yang memakainya di lengan, ada yang di leher, atau di pergelangan tangan, di kepala, dan bahkan ada pula yang menyematkannya di sabuk, menunjukkan gaya pribadi mereka.
Tepat di hadapan mereka, beberapa orang yang tergabung dalam tim pencatat, dengan sigap mendata setiap petarung yang masuk ke barisan. Mereka kemudian mengarahkan para peserta untuk menuju ke area luar koloseum yang lebih luas.
Area ini merupakan lapangan luas dengan lantai andesit yang padat, dikelilingi oleh barikade pilar batu tinggi yang kokoh dan diawasi ketat oleh puluhan ksatria Ardana bersenjata lengkap. Pemindahan lokasi ini tentunya bukan tanpa alasan. Selain faktor jumlah peserta yang membludak, yakni mencapai lebih dari seribu petarung, juga untuk alasan keamanan.
Dikhawatirkan jika nanti ada peserta yang melancarkan serangan pada batu khusus yang disiapkan panitia dengan kekuatan dahsyat, maka pecahan batu itu tidak akan sampai mengenai tribun penonton.
Karena area tes ini berada di luar pandangan langsung penonton di koloseum, Ratu Zafia kemudian meminta bantuan Penguasa Kerajaan Oshin yang berasal dari laut utara, yakni Ratu Urvilla, untuk mengatasi kendala tersebut.
"Ratu Urvilla, bersediakah engkau ...?" pinta Ratu Zafia seraya menoleh lembut ke arah Ratu Urvilla, senyum tipis terukir di bibirnya.
Tak lama berselang, Ratu Urvilla yang berwibawa pun berdiri, jubah birunya berkilauan di bawah sinar matahari. "Tentu, Ratu Ardana! Suatu kehormatan," ujarnya sopan, suaranya tenang dan jelas.
"Apakah batu-batu yang kupesan sudah engkau persiapkan?" imbuhnya bertanya sambil melirik ke arah Ratu Zafia, mencoba memastikan sesuatu.
"Tenang saja! Sudah tersebar di seluruh pilar-pilar pembatas arena dengan tribun penonton," balas Ratu Zafia sambil menyapu pandangannya ke arah arena pertarungan yang luas, mengisyaratkan lokasi instalasi batu-batu tersebut.
"Baiklah, kalau begitu, serahkan sisanya padaku!" angguk Ratu Urvilla kecil, ekspresinya berubah penuh percaya diri, seraya berjalan menuju pinggir arena, tempat ia bisa melihat dengan jelas pilar-pilar yang disebutkan Ratu Zafia.
Tak disangka, ternyata itu adalah batu permata khusus yang mampu menyerap energi alam dan menyimpan kekuatan sihir. Batu permata indah yang juga menjadi simbol kebanggaan kerajaan itu, yakni Batu Ardana, atau berarti "Batu Cahaya".
Ratu Urvilla pun tersenyum tipis, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, telapak tangannya menghadap ke arah arena yang luas, sedangkan matanya menatap tajam, seolah mengendalikan sesuatu yang tak terlihat.
Sedetik kemudian, tiba-tiba air yang mengelilingi arena pertarungan, yang biasanya berfungsi sebagai parit alami, bergerak naik ke atas dengan gemuruh pelan. Berkumpul dan membentuk bulir air raksasa yang mengapung di tengah-tengah arena koloseum. Bentuknya sempurna, berkilauan diterpa sinar matahari, menjadi fokus perhatian seluruh penonton.
Para penonton pun bersorak ramai, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka bertepuk tangan riuh, sebagian menunjuk-nunjuk ke arah bulir air raksasa itu. Dan ya, beberapa detik setelahnya, sebuah proyeksi besar yang bisa dilihat dari segala arah, muncul dari dalam bulir air raksasa itu.
Gambar yang terpantul sangat jernih dan detail, memperlihatkan suasana di tempat lain, yakni lapangan di luar koloseum, yang ramai dipadati para petarung yang akan berlaga di kompetisi pertarungan kali ini. Kini, tidak ada satu pun momen yang akan terlewat.
"Baiklah, tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai saja kompetisi pertarungan tingkat benua yang ke-182 kali ini, dengan adu kekuatan untuk menghancurkan Batu Osmanit yang telah kami siapkan di tempat lain!" seru Ratu Zafia, suaranya menggelegar penuh semangat. Kata-katanya meresmikan dimulainya acara pada hari itu, yang kemudian disambut oleh para penonton dengan penuh antusias dan sorakan yang memekakkan telinga.
Satu per satu, nomor peserta dipanggil. Di layar proyeksi raksasa, para peserta mulai mencoba menunjukkan kekuatannya untuk menghancurkan Batu Osmanit itu. Ada yang melesatkan tinju sekuat tenaga, ada yang memusatkan energi magis, ada pula yang mengayunkan senjata mereka.
Namun, tampaknya batu itu lebih kuat dari yang mereka duga. Terlihat dari banyaknya para petarung yang hanya bisa membuat retakan kecil, atau bahkan tidak bergeming sama sekali, meskipun mereka sudah mengerahkan segenap kemampuannya.