Seleksi tahap ketiga akhirnya telah usai. Dari ratusan yang berlaga, hanya sekitar 100 nama petarung terbaik yang lolos ke babak berikutnya. Asa mereka untuk melaju ke babak berikutnya kini semakin nyata.
Seluruh penduduk Kerajaan Ardana, dari rakyat biasa hingga para penguasa yang duduk di kursi kehormatan, menantikan babak penentuan ini dengan napas tertahan. Suara bisikan dan gumaman antusias mengisi udara koloseum, bercampur dengan ketegangan yang terasa mencekam.
Di mimbar utama, Ratu Zafia kembali berdiri, sorot matanya menyapu seluruh arena. Suaranya yang lantang dan jernih mengumumkan aturan main babak penentuan.
"Sama seperti sebelumnya, bagi 100 petarung yang tersisa, kalian akan saling beradu kekuatan dan keberuntungan dalam sistem pertarungan eliminasi!" serunya, membuat sebagian petarung menegakkan badan.
"Aturannya sederhana, sekitar setengah dari kalian, atau 50 orang yang berhasil bertahan di arena pertarungan, akan mendapatkan kualifikasi untuk melaju ke pertarungan duel antar individu di babak utama!" imbuhnya penuh semangat, hingga menyebabkan ketegangan di arena semakin meningkat.
"Entah itu karena keluar arena, tak sadarkan diri, atau bahkan menyerah, maka akan terhitung sebagai kekalahan, yang berarti ...." Beliau memberi jeda sejenak, membiarkan aturan itu meresap.
"Kalian akan didiskualifikasi!" sambungnya dengan tegas.
"Sebagai tambahan, siapa pun yang paling banyak menumbangkan petarung lain pada babak penyisihan ini, akan mengamankan tiket langsung menuju ke babak utama tanpa perlu mengikuti eliminasi ini!" Pengumuman ini memicu gelombang bisikan dan tatapan penuh perhitungan di antara para petarung. Sebuah strategi baru kini terlintas di benak banyak orang.
"Sampai di sini, ada pertanyaan?" tanya Ratu Zafia memastikan, kali ini pandangannya mengamati reaksi para peserta.
Dari tengah kerumunan, Wayan tiba-tiba mengajukan diri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Hamba, Tuan Ratu!"
"Hoo ...? Sungguh tidak terduga. Apa yang ingin kau tanyakan, wahai petarung?" Ratu Zafia bertanya, nada suaranya sedikit terkejut, namun tertarik. Semua orang tahu, Wayan adalah petarung tangguh yang tidak biasa.
"Begini, Tuan Ratu ...." Jawab Wayan mulai mengumpulkan keberanian, seraya mendongakkan kepalanya ke arah Ratu Zafia yang berdiri di atas mimbar khusus. Sementara itu, bisikan kecil mulai terdengar dari salah satu barisan para petarung.
"Balin, temanku ... setelah dilihat lebih dekat, tidakkah menurutmu wajahnya seperti kera?" bisik Iko sambil melirik ke arah Wayan.