Begitu Ratu Zafia memberikan aba-aba, arena koloseum yang menampung ratusan petarung, dalam sekejap berubah menjadi mimbar adu kekuatan. Tanah pun bergemuruh, debu mulai mengepul tebal, dan kilatan senjata beradu menerangi udara. Strategi tim yang sebelumnya berlaku di perburuan, kini telah lenyap, digantikan oleh naluri bertahan hidup murni.
Para petarung itu beradu dalam formasi kecil, ada yang mencoba bertahan, ada yang menyerbu tanpa ampun. Ilmu sihir berdesing di udara, meledak dalam bola-bola energi. Pedang beradu dengan tameng, tombak menusuk ke arah yang mematikan, dan tinju menghantam dengan kekuatan yang memekakkan telinga.
Setiap detik, satu atau dua petarung tumbang, terkapar tak berdaya atau dipaksa menyerah oleh lawan yang lebih kuat. Dari atas, Balin dan rombongannya bergerak dengan cerdas, memanfaatkan kekacauan untuk keuntungan mereka.
Mereka tidak menyerang secara membabi buta, melainkan memilih target yang strategis, mengincar lawan yang terluka pasca perburuan kemarin, atau bersatu menjatuhkan lawan yang dianggap ancaman, atau juga menyingkirkan mereka yang sekadar mengamuk di sekitar.
Balin sendiri terlihat bergerak seperti bayangan, melesatkan pukulan dahsyat yang mampu menerbangkan lawan dengan satu kali ayunan, persis seperti rumor yang beredar tentang dirinya.
"Orang itu ... kontrol kekuatannya luar biasa! Sangat jelas dia berusaha menahan diri," puji Ratu Lusila sambil menatap fokus ke arah Balin.
"Ya, pukulannya memang terlihat berbahaya," angguk Ratu Zafia setuju.
Ratu Lusila pun menoleh, Ratu wajahnya sedikit heran, lalu mulai berkomentar, "Zafia, sepertinya kau memang tidak mengerti," ucapnya penuh misteri.
"Apa maksudmu?" tanya Ratu Zafia heran.
"Balin, orang itu ... pukulannya bahkan tidak menyentuh tubuh lawannya," jawab Ratu Lusila sambil menunjuk ke arah Balin, dengan tangan yang masih memegang segelas teh melati.
"Apa?" respons Ratu Zafia terkejut.