Duel Kedua Ronde Ketiga Semi Final: Balin vs Hansa
Ketegangan di Koloseum kembali memuncak. Setelah duel kehormatan yang menguras emosi dan sebelum duel penentuan antara Wayan dan Kokila, kini giliran pertarungan yang sangat dinantikan ... bentrokan kekuatan brutal melawan keanggunan mematikan.
Balin, Sang Raja Tak Bermahkota, melangkah ke arena dengan aura tenang namun menakutkan yang menjadi ciri khasnya. Dua kemenangannya yang cepat dan telak telah menjadikannya finalis pertama.
Di sisi lain, Hansa, Sang Penari Pedang, melangkah dengan anggun namun tatapan tajam. Kekalahan tipisnya dari Wayan telah memberinya satu kekalahan, sehingga ini adalah duel hidup atau mati baginya. Ia tahu kekuatan Balin jauh melampaui lawan mana pun yang pernah ia hadapi. Keanggunan saja tidak cukup. Ia harus menggunakan setiap trik dan sihir yang dimilikinya.
"Kedua petarung, silakan memasuki arena!" suara Ratu Zafia mengumumkan dengan lantang, sorot matanya tajam menatap kedua petarung yang kini berdiri di posisi mereka masing-masing.
Balin menatap Hansa, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang jarang terlihat.
"Kau tampak kacau, Nona Hansa. Lebih baik menyerah sekarang. Kau butuh istirahat," ujarnya, nada suaranya tenang namun ada kekhawatiran yang tulus.
Hansa mendengus pelan. Sorot matanya tajam, penuh percaya diri, dengan sedikit ... kekesalan.
"Urus saja masalahmu sendiri. Aku yang paling tahu soal tubuhku," balasnya ketus, tak suka dikasihani.
"Baiklah, maaf. Aku hanya memberikan saran," ujar Balin santai. Ia mengangkat bahu sedikit, tidak tersinggung.
"Bersiap ...." Ratu Zafia menarik napas, siap memberi aba-aba.
"Aku tidak akan terkecoh oleh keramahanmu!" Hansa berseru, matanya menyipit, mencurigai niat Balin.
Balin hanya diam, mengangkat alisnya sedikit, kedua tangannya tetap di belakang punggung, seolah tidak peduli dengan tuduhan Hansa.
"MULAI!" Ratu Zafia akhirnya berteriak, mengawali pertarungan.
Pertarungan pun dimulai. Hansa melancarkan serangan-serangan sengit, rapiernya menari di udara, menciptakan kilatan cahaya yang mematikan.
Namun Balin hanya menghindar dengan gerakan minimal, bahkan kedua tangannya masih di belakang punggungnya. Tampak jelas Balin sangat menahan diri, hingga membuat Hansa merasa direndahkan. Wajahnya memerah karena emosi.
"Apa kau meremehkanku?!" teriak Hansa, suaranya dipenuhi amarah.
Balin hanya diam, tak merespons. Hansa kembali menyerang, kali ini dengan kecepatan yang berlipat ganda, gerakan pedangnya nyaris tak terlihat. Namun sayangnya, serangan itu masih tidak mampu mengenai Balin.
Hansa pun mulai frustrasi, tidak hanya karena serangannya selalu mampu dihindari, melainkan ada banyak kesempatan Balin untuk menyerang balik, namun ia tidak melakukannya.
Bahkan jika ada celah kecil, Balin hanya menggunakan bahunya untuk sekadar mendorong tubuh Hansa menjauh, seperti mengusir lalat, tanpa sedikit pun menunjukkan niat untuk menyakiti.
Ini bukan hanya pertarungan fisik, melainkan pertarungan mental, menguras kesabaran Hansa.
"Mau sampai kapan kau menahan diri?! Mana pukulanmu yang gila itu?!" tanya Hansa dengan nada tinggi, frustrasinya memuncak. Kekalahannya yang menyakitkan dari Wayan, tampaknya cukup membuatnya sensitif.
"Bukannya aku tidak mau, tapi tidak bisa," jawab Balin pelan, matanya menatap Hansa dengan tenang.
"Bohong! Kau punya banyak kesempatan untuk melakukannya!" Hansa menudingnya.
"Tidak. Maksudku ... aku merasa akan kehilangan sesuatu jika aku melakukannya," Balin menjelaskan, tatapannya sedikit menerawang.