Gemuruh arena Koloseum Kerajaan Ardana masih belum surut, semangat penonton tetap menyala setelah tiga duel pembuka yang mendebarkan. Sorotan kini beralih ke tengah panggung, tempat para petarung selanjutnya bersiap untuk mengukir cerita mereka. Tekad membara di setiap pasang mata, siap membuktikan siapa yang layak melaju.
[Duel ke-4] Catur vs Kibas
Petarung berikutnya melangkah maju. Di satu sisi, Catur, sang citah, memancarkan aura perhitungan dan kelincahan, matanya tajam mengamati setiap sudut arena. Di sisi lain, Kibas, sang kambing, berdiri kokoh, tanduknya yang besar menyiratkan kekuatan murni.
"Bersiap... MULAI!" Seruan Ratu Zafia memecah ketegangan.
Catur tidak langsung menyerang. Ia bergerak dalam pola zig-zag mematikan, mengubah arah secepat kilat, menjaga jarak, seolah menghitung setiap sentimeter arena. Gerakannya bukan sekadar kecepatan mentah; itu adalah kalkulasi, setiap langkah adalah jebakan.
Kibas, di sisi lain, merespons dengan derap kaki yang cepat. Tubuhnya melesat dalam akselerasi pendek, tanduknya menukik tajam, berusaha menangkap Catur dalam serangan langsung. Lantai arena yang keras bergesekan kuat setiap kali Kibas menghantam udara kosong, meninggalkan goresan tipis.
"Percuma saja, Kambing." Catur mengejek santai, suaranya melengking tipis di antara desisan angin yang ia ciptakan. Ia mengitari Kibas, bergerak bak matador yang menggoda banteng. Kibas meraung frustrasi.
"Berhenti berlari, pengecut! Hadapi aku seperti ksatria!" Ia menerjang dengan kekuatan penuh, menghantamkan tanduknya, menimbulkan retakan kecil di beberapa titik permukaan arena. Namun Catur selalu lolos dengan gerakan minimal, seolah bermain-main.
Kibas tak menyerah. Ia terus mencoba. Tanduknya menghantam, kakinya mencakar lantai keras, setiap serangannya diwarnai determinasi. Namun, setiap kali, Catur bagai bayangan, meloloskan diri hanya dengan sedikit sentakan pinggul atau putaran tubuh.
Menit demi menit berlalu, arena menjadi saksi tarian tanpa henti ini. Napas Kibas mulai memburu, semakin berat setiap kali ia mencoba melesat. Urat-urat di lehernya menonjol, dahi berkerut, menahan lelah yang menggerogoti tenaganya. Gerakannya melambat, menjadi sedikit tersentak-sentak seiring energi yang terkuras habis.
"Seorang ksatria juga tahu kapan harus memilih pertarungan yang cerdas," balas Catur, suaranya kini terdengar sedikit lebih serius, namun di matanya tersimpan kilatan perhitungan. Ia melanjutkan tariannya, memancing Kibas untuk terus menyerang. Napas Kibas kian terengah, gerakannya semakin berat.
Inilah saatnya. Catur menyeringai tipis, lalu mengambil ancang-ancang. Tubuhnya memanjang, berubah menjadi buram seiring ia melesat kencang melintasi arena. Setiap pijakan cepatnya mengangkat partikel-partikel halus dari permukaan arena yang telah memikul banyak jejak pertempuran kemarin. Ini bagaikan suara petir yang terdengar belakangan setelah visual kilatnya menyambar.
Catur melancarkan tendangan pertama dari belakang, mengirim Kibas terlempar. Namun sebelum Kibas sempat menyentuh lantai arena, Catur sudah berada di titik pendaratannya, melesatkan tendangan lagi dari arah yang berbeda.
Sekali, dua kali, dan begitu seterusnya. Kibas tampak seperti bola sepak yang memantul-mantul di sesi latihan passing, tak berdaya di udara. Pada detik terakhir, Catur melesat sekali lagi, tendangan terakhirnya mengirim Kibas meluncur keluar arena.