Di area tunggu para petarung, suasana tegang pasca-duel Hansa dan Arga masih terasa. Iko yang baru saja mengalami kekalahan, masih duduk bersandar lesu di samping Balin dan Maung, merenungi hasil pertarungannya.
Hansa, yang baru saja kembali dari kemenangannya yang gemilang, berjalan tidak jauh dari mereka, hendak kembali ke tempat duduknya dengan ekspresi dingin. Pada saat itulah, mulut Balin terasa gatal untuk menguatkan sesuatu.
"Jika kau ingin menghajar seseorang, maka hajar saja! Tapi jangan permainkan harga diri mereka, itu tidak baik," tegur Balin, suaranya tenang namun mengandung otoritas yang jelas, menunjuk ke arah Hansa.
Hansa menoleh, ekspresi sinis tipis terukir di wajahnya yang elok. "Aku tidak ingin mendengarnya darimu," bantahnya, lalu menambahkan, "Petarung gila." Ucapnya sinis, lalu lanjut berjalan ke tempat duduknya.
"Hah? Siapa yang kau sebut gila? Aku selalu menghormati lawan-lawanku!" ujar Balin tak terima, berusaha membela diri, namun ekspresinya sendiri terlihat agak lucu dalam usahanya menyangkal julukan itu. Di sampingnya, Iko dan Maung, hanya menatap kepala suku mereka dalam diam dengan ekspresi wajah datar, seolah sudah terlalu sering melihat tingkah Balin ini.
Tepat saat Balin masih sibuk membela diri, sebuah suara lantang dari pengeras suara memecah obrolan mereka. "Untuk duel selanjutnya, silakan petarung nomor 522, Balin, dan petarung nomor 618, Bajul, menuju arena!"
Seketika, mata Balin berbinar, lalu berkata, "akhirnya! Giliranku!"
"Petarung itu... terlihat menjanjikan! Kurasa dia akan jadi lawan yang menantang," ujarnya penuh antusias. Dengan seringai tipis yang kembali ke wajahnya, ia menepuk pundak Iko.
"Simak baik-baik! Inilah bagaimana kau menghormati lawan," ujarnya, lalu melangkah tenang menuju arena, meninggalkan Iko, Maung, dan Hansa. Hansa hanya memutar bola matanya sedikit, namun tetap memperhatikan langkah Balin.
[Duel ke-9] Balin vs Bajul
Antusiasme penonton kembali bergemuruh seiring nama Balin diumumkan. Pemimpin suku manusia harimau putih dari Desa Sima Suci itu melangkah ke arena dengan langkah tenang dan penuh keyakinan. Tubuhnya kekar dengan otot baja yang terlihat jelas di balik kulit legamnya, memancarkan aura kekuatan yang mengerikan.
Kemudian, Bajul memasuki arena. Petarung manusia berkulit buaya itu melangkah tegap, tubuhnya dipenuhi kulit keras menyerupai buaya, lengkap dengan ekornya yang menjulur panjang dan sesekali bergerak menggeliat. Ia mengenakan pakaian gladiator compang-camping dan membawa helberd unik, sebuah tombak panjang dengan tambahan kapak dan palu di ujung bilahnya. Matanya yang tajam menyorot Balin, ia menyeringai lebar, siap untuk sebuah benturan. Aura buasnya sangat meyakinkan, seolah ia akan menjadi lawan yang tangguh bagi Balin.
"Baiklah, masing-masing petarung, bersiap di posisi!" perintah Ratu Zafia dengan tegas.
"MULAI!" Suara Ratu Zafia menggelegar, mengawali benturan dua kekuatan besar.
Bajul tak membuang waktu. Dengan raungan buas yang menggelegar di seluruh koloseum, ia langsung menerjang maju. Helberdnya terangkat tinggi, mengayunkan kapak dan palu di ujungnya dengan kekuatan eksplosif, berniat menghancurkan Balin dalam satu hantaman. Serangan brutal yang penuh semangat.
Namun, Balin merespons dengan ketenangan sempurna. Ia tidak menangkis atau memblokir. Dengan gerakan minimal yang nyaris tak terlihat, tubuhnya sedikit bergeser ke samping, menghindari ayunan helberd Bajul yang seharusnya menghantamnya. Senjata berat itu hanya membelah udara, menghantam lantai arena di samping Balin, menyebabkan retakan dan kepulan debu.
Momen itu menciptakan celah terbuka lebar pada sisi kiri perut Bajul. Tanpa ancang-ancang atau persiapan berarti, Balin pun langsung melesatkan satu pukulan ke arah celah itu. Itu bukan pukulan yang bertenaga penuh, melainkan gerakan yang sederhana dan terfokus, sebuah esensi dari "tinju maut" Balin.
"DUUUUARRR!"