Gemuruh sorak-sorai penonton masih membahana di koloseum, merayakan kemenangan Raja yang epik. Namun, perhatian mereka dengan cepat beralih saat nama petarung selanjutnya diumumkan.
"Akhirnya...." Ratu Zafia menghela napas lega.
"Hmm, aku penasaran, apa yang akan dilakukan kera itu setelah ini. Terutama, usai melihat pertandingan berat sebelah Balin tadi," gumam Ratu Lusila sambil tersenyum tipis, sementara sorot matanya memancarkan antusiasme yang tinggi.
"Ya. Dia terlihat cukup tertantang. Matanya tak pernah luput dari sosok Balin. Sepertinya, dia sudah menemukan lawan setaranya," angguk Ratu Zafia pelan, sambil tersenyum dan melirik ke area tunggu petarung.
"Ya, mari kita nikmati saja pertunjukannya," balas Ratu Lusila sambil kembali menatap arena pertarungan.
"Baiklah, kalau begitu...." Ucap Ratu Zafia terputus, lalu mulai bangkit untuk menyampaikan sesuatu.
"Untuk duel selanjutnya, petarung nomor 615, Wayan, dan petarung nomor 481, Ulin, silakan memasuki arena!" suara Ratu Zafia menggelegar.
Wayan, Sang Raja Kera Putih, melangkah ke tengah arena dengan ketenangan yang nyaris angkuh, rambut putihnya berkibar. Di tangannya, tongkat hitam sederhana itu seolah memancarkan aura kekuatan tersembunyi. Matanya menyorot arena, dan seringai tipis tersungging di bibirnya, seolah termotivasi untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cepat, tidak ingin kalah dari Balin.
Di sisi lain, Ulin melangkah dengan gerakan tenang dan luwes, seperti ular yang merayap. Matanya dingin dan penuh perhitungan, memancarkan aura licik. Ia siap dengan jarum-jarum beracunnya.
"Baiklah, masing-masing petarung, bersiap di posisi!" perintah Ratu Zafia.
"MULAI!" Suara Ratu Zafia menggelegar, mengawali pertarungan kecerdikan.
Tanpa basa-basi, Ulin langsung melancarkan serangan cepat. Dengan gerakan nyaris tak terlihat, ia melemparkan serentetan jarum kecil ke arah Wayan.
Namun, Wayan tidak gentar. Seketika, tubuhnya membelah menjadi empat ilusi identik. Tiga bayangan Wayan melesat maju, seolah menyerang Ulin secara langsung, sementara satu bayangan Wayan lainnya justru duduk santai di posisi paling belakang arena, seolah menyaksikan pertunjukan.