Gemuruh sorak-sorai penonton masih membahana di koloseum, bahkan setelah duel spektakuler antara Wayan dan Ulin. Sekarang, saatnya untuk pertarungan terakhir di ronde pertama, sebuah bentrokan yang menjanjikan lebih banyak keajaiban dan kengerian.
"Baiklah! Akhirnya, kita sampai di penghujung pertandingan ronde pertama pada babak utama!" suara Ratu Zafia menggelegar, penuh semangat.
"Mari sama-sama kita saksikan, duel penutup yang akan dibawakan oleh dua petarung tingkat tinggi yang telah membuktikan kelayakan diri mereka, dan kini... kita akan melihat, siapa yang lebih baik!" lanjut Ratu Zafia dengan nada misterius.
"Untuk duel terakhir di ronde ini, petarung nomor 237, Kokila, dan petarung nomor 601, Walan, silakan menuju ke arena!" seru Ratu Zafia yang langsung mengalihkan fokus ke tengah arena.
Kokila melangkah tenang ke tengah arena, mengenakan pakaian serba hitam, rambut sebahu, dan mata merah pekatnya memancarkan aura misterius dan dingin. Ia tampak seperti pembawa pesan kematian yang tenang.
Di sisi lain, Walan memasuki arena dengan gerakan anggun namun mematikan, membawa dua pedang ganda di tangannya. Ia berdiri dengan kuda-kuda kokoh, siap menghadapi segala ancaman.
"Baiklah, masing-masing petarung, bersiap di posisi!" perintah Ratu Zafia sambil memanjangkan tangannya ke depan.
"MULAI!" suara Ratu Zafia menggelegar, mengawali duel pamungkas ronde ini dengan tangannya yang diayunkan tegak ke atas.
Begitu aba-aba resmi dikumandangkan, Kokila tidak menunggu. Dengan lincah, ia melompat mundur, dan dalam sekejap, tubuhnya buyar menjadi segerombolan burung gagak hitam pekat. Ribuan gagak itu langsung menyerbu Walan dengan kecepatan menakutkan. Mereka tidak menyerang membabi buta, melainkan bermain dengan ilusi, muncul dan menghilang secara sporadis, mencoba membingungkan Walan.
Walan merespons dengan tenang. Pedang gandanya terangkat, dan dengan kecepatan serta presisi legendaris, ia menangkis dan membelah setiap gagak yang mendekat. Setiap kali pedangnya bersentuhan, gagak-gagak itu buyar menjadi asap hitam, namun ilusi visual yang terus-menerus menguji ketajaman indranya.
"Kau cepat, pendekar pedang," suara dingin Kokila, entah dari mana asalnya, menggema di seluruh arena.
"Tapi...." ucap Kokila sambil mundur satu langkah, lalu melayang di udara. Puluhan, hingga ratusan gagak, dengan cepat keluar dari punggungnya. Masing-masing menyebar dengan jarak tertentu dan mengunci pandangannya ke arah Walan.
"Bagaimana kau akan menangkis yang satu ini?" tanya Kokila sambil tersenyum tipis, sementara tangan kirinya yang berbalutlan energi gelap yang bergerak seperti asap, diangkat ke atas, menyebabkan burung-burung gagak itu seperti kaku di tempatnya dengan sayap terlipat.
Sedetik kemudian, Kokila pun mengayunkan tangannya ke arah Walan, diikuti oleh gagak-gagak yang telah diperkuat sihir kegelapan itu, melesat maju dengan kecepatan tinggi, bagaikan hujan pisau yang berakselerasi secepat peluru.
Serangan itu, menghujam Walan dari segala arah, menciptakan badai bulu dan paruh yang mematikan, hingga membuat arena dipenuhi oleh gagak-gagak hitam dengan paruh yang menancap kuat di lantainya. Membuktikan betapa fatalnya jika satu saja serangan itu mengenai seseorang.
Walan terpaksa bergerak lebih gesit, mengayunkan kedua pedangnya dalam tarian mematikan, menciptakan pusaran baja yang menangkis serangan tak berkesudahan itu. Ia berhasil membelah puluhan, bahkan ratusan gagak, namun jumlah mereka tak berkurang, malah kian menekan.