Setelah mendengar pengakuan Akasa, Vernon pun terkejut. Namun saat ia masih mencerna informasi yang baru saja diterimanya, tiba-tiba ada yang mengusik perhatiannya. Sesuatu seperti kalung yang tampak berkilauan, sedikit mengintip dari lingkar leher Akasa.
Lalu, ketika Vernon mulai menyingkap lebih jelas, benda macam apa yang tersembunyi di sana, seketika alisnya terangkat, napasnya pun sedikit tertahan. Bagaimana perasaan familier yang seperti nostalgia, kini mendadak muncul.
Kalung itu terbuat dari perak, berbentuk seperti daun alocasia dan memiliki motif menonjol seperti bulan sabit, dengan satu permata biru yang indah di bagian tengahnya, hanya saja ada retakan besar di sana, hingga seolah membuat keindahannya sedikit memudar.
“Apa kalung ini ... juga kau dapatkan darinya?” tanya Vernon dengan tatapan serius.
“Ya, memangnya ... siapa lagi?” jawab Akasa retoris, lalu sedikit tersentak.
“Tunggu! Kau tahu tentang kalung ini, Paman?” imbuhnya heran sekaligus penasaran.
“Bagaimana bisa aku tidak tahu? Akulah yang membuatnya, sebagai hadiah saat ia diangkat menjadi ratu,” jawab Vernon retoris, tangannya melebar, dihentakkan kecil di dadanya, berusaha menegaskan bahwa itu adalah hasil jerih payahnya.
“Benarkah? Wah, keren!” puji Akasa dengan tulus.
“Ya ampun, lucu sekali! Apa ini yang namanya takdir? Tapi, bukankah gadis itu baru menikah 10 tahun lalu? Kenapa dia punya anak yang umurnya jauh di atas itu? Apa jangan-jangan … kau ini anak haram atau semacamnya?” tebak Vernon menerka-nerka dengan deduksi yang cenderung negatif.
“Hah? Siapa yang anak haram? Tentu saja tidak! Ya … secara teknis Ibu Ratu memang bukan ibu kandungku, tapi disaat yang sama, beliau juga ibu kandungku. Ah, gimana jelasinnya, ya?” Gumam Akasa yang juga tampak bingung sendiri menjelaskan situasinya.
“Oi, pangeran sialan! Kau ini lagi ngelantur apa? Apa kau orang gila atau semacamnya?” tanya Vernon dengan nada mengejek.
“Siapa yang orang gila?! Dasar perjaka tu-” Akasa bermaksud memaki, namun tidak jadi dilakukannya, karena tiba-tiba Vernon memancarkan aura intimidasi kuat, persis seperti yang pernah dirasakannya dari Putri Dewi sewaktu dirinya berada di Kerajaan Ardana.
“Ah! M-maksudku perjaka tulen! Tidak ada maksud! Sungguh!” ralat Akasa panik, berusaha menenangkan amarah Vernon.
“Yah ... sesama perjaka tidak seharusnya saling menghina. Yang lebih penting lagi, kenapa kau bisa kemari? Apa ibumu tidak memberitahumu kalau main sembarangan bisa dimakan kadal terbang?” kata Vernon memaklumi, lalu kembali bertanya.
“Sejujurnya, saya juga tidak tahu! Saya ingat sedang terlelap di suatu tempat, namun ketika membuka mata, tiba-tiba saya sudah berada di sini.” Jawab Akasa sekenanya.
“Hmm, jika kuingat-ingat … memang ada fluktuasi aliran sihir aneh yang terdistorsi di sekitarmu, tepat sebelum aku menemukanmu.” Gumam Vernon sambil menyipitkan mata dan memegang dagunya.
“Aliran sihir aneh?” tanya Akasa keheranan.
“Apa ini salah satu jenis sihir ruang dan waktu? Apa ini yang disebut teleportasi? Hmm, menarik! Jika aku bisa menemukan konsep di baliknya, mungkin aku bisa keluar dari tempat sialan ini dan kembali dalam sekejap mata saat dibutuhkan,” gumam Vernon yang hanyut dalam pikirannya sendiri.
“Umm … Paman Vernon?” panggil Akasa yang coba membuyarkan lamunan Vernon.
“Ssstt ... diamlah, pangeran sialan! Aku sedang memikirkan sesuatu yang menarik sekarang.” Tegas Vernon tanpa bergeming dari keadaannya semula.
“Apa Paman Vernon ... mengenal siapa Ratu Zafia? Apa Paman tahu di mana beliau?” tanya Akasa polos.
“Hah? Bagaimana aku tidak tahu? Dia itu salah satu muridku,” tanya balik Vernon merasa kaget, usai mengetahui fakta bahwa Akasa ternyata mengenal sosok Sang Ratu Ardana.
“Apa? Jadi Paman ini guru Ibu Ratu? Ah, tapi tunggu dulu! Perasaan dulu Ibu Ratu bilang kalau gurunya bernama Eyang Oza.” Gumam Akasa coba mengingat-ingat.
“Oza? Ah, ya! Dia adalah salah satu tetua di sini. Dia adalah orang tua yang cerewet. Tak segan-segan memukulmu dengan tongkat rotan bahkan untuk kesalahan yang kecil,” ucap Vernon dengan nada kesal.
“Hmm? Kenapa kesannya berbeda sekali dengan sosok Eyang Oza yang diceritakan oleh Ibu Ratu? Dan kenapa rasanya ada kedengkian kecil dari cerita Paman Vernon?” tanya Akasa menatap curiga.
“Kedengkian kecil? Ini namanya dendam! Orang tua itu tak pernah rela membiarkanku bersenang-senang. Selalu memaksaku berlatih dan berlatih, hingga membuatku tidak punya waktu sedikitpun untuk mencari wanita. Bahkan meskipun dengan semua pencapaian dan penghargaan itu, apa gunanya jika pada akhirnya kau tetap kesepian. Ah, sialan!” keluh Vernon dengan penuh penyesalan.
“Eh? Perlakuan ini … apa jangan-jangan Eyang Oza itu ….” tebak Akasa coba menerawang.