Duel Penutup Ronde Kedua Semi Final: Hansa vs Wayan
Suasana di Koloseum mencapai puncaknya. Energi yang bergelora dari kemenangan Kokila masih terasa, namun kini semua mata tertuju pada dua petarung yang melangkah anggun dan lincah ke tengah arena.
Di satu sisi, Hansa, dengan pedang rapiernya yang berkilauan, memancarkan aura ketenangan yang berbahaya. Di sisi lain, Wayan, dengan tongkat legendarisnya yang kini terasa lebih hidup, menampilkan seringai percaya diri yang menular.
Hansa menatap Wayan dengan mata yang tajam, namun tenang. Ia telah melihat kecepatan dan kekuatan Wayan saat mengalahkan Tanvir, dan juga kelincahannya di duel pertamanya.
"Kera ini ... meresahkan!" pikirnya. Ini akan menjadi tarian yang sangat cepat. Ia harus memastikan setiap gerakannya presisi, dengan setiap tebasannya berarti.
Wayan membalas tatapan Hansa dengan sorot mata geli. Hansa adalah penari pedang, sebuah lawan yang anggun namun mematikan. Ia tahu Hansa memiliki sihir yang dapat mengeluarkan pedang dari rasi bintang, sebuah kemampuan yang bisa sangat merepotkan jika ia tidak cepat bergerak.
"Hmm ... sepertinya ini akan menarik!" gumam Wayan, tongkatnya sedikit berputar di tangannya, siap untuk menari di medan laga.
Ratu Urvilla, dengan keanggunan yang selalu melekat padanya, mengangkat tangannya. Suaranya yang jernih dan berwibawa mengalun di udara, menambah suasana khidmat dan antisipasi.
"Wahai hadirin sekalian! Sak-" sambut Ratu Urvilla, namun tiba-tiba ada yang memotong kalimatnya.
"Saksikanlah duel penutup Ronde Kedua Semi Final! Pertarungan yang akan mempertemukan dua pemenang dari babak sebelumnya!" sela Ratu Zafia, matanya menyiratkan antisipasi.
Kubah air kedap suara yang sebelumnya mengurung Ratu Zafia di area penguasa, pecah berkeping-keping, airnya berhamburan ke segala arah. Ratu Urvilla menatap tak percaya, bagaimana bisa Ratu Zafia keluar dari sana dengan mudah. Namun, Ratu Zafia tak peduli. Matanya berbinar, fokus pada Hansa di arena, senyum lebar terukir di wajahnya.
Ratu Urvilla terpana dalam kebingungan, namun ia tak melanjutkan. Matanya lalu melirik ke arah Ratu Lusila yang kini sudah duduk santai sambil tersenyum memakan buah ceri. Kemudian, fokus pun kembali ke Ratu Zafia.
"Di sisi kanan ... Hansa, Sang Penari Pedang Anggun dari Lembah Bina!" ucapnya semringah, menyambut petarung favoritnya.
"Melawan ... Wayan, Sang Raja Kera Putih dari antah berantah di timur!" lanjutnya sekenanya.
"A-antah berantah? Tuan Ratu ...." Batin Wayan terkejut, merasa sedikit tidak nyaman dengan sambutan Sang Ratu Ardana.
"Apakah kalian sudah siap?" tanya Ratu Zafia, lalu dijawab kedua petarung dengan anggukan pelan.
"Dengan ini, pertarungan ... DIMULAI!" serunya, tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Begitu aba-aba terakhir bergaung, arena sontak berubah menjadi panggung bagi dua gaya bertarung yang kontras. Wayan langsung bergerak, melesat ke segala arah dengan kecepatan luar biasa, nyaris seperti bayangan yang kabur. Ia tidak menyerang, melainkan mengitari Hansa, mencoba menemukan celah, mengamati postur dan reaksi lawannya. Tongkatnya berputar di tangannya, siap setiap saat untuk menyerang.
Hansa berdiri anggun di tengah arena, pedang rapiernya terangkat dalam posisi bertahan yang sempurna. Matanya mengikuti setiap gerakan kilat Wayan, tubuhnya berputar ringan, seolah tak perlu usaha. Ia membiarkan Wayan mengujinya, menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan balasan. Keanggunannya adalah tameng, gerakannya adalah ancaman.
Wayan memutuskan untuk melancarkan serangan pertama. Dengan lompatan akrobatik, ia menerjang ke depan, mengayunkan tongkatnya secara vertikal ke arah kepala Hansa dengan kecepatan yang mengerikan.
"Whizz!" suara desingan tongkat membelah udara.
Hansa merespons dengan keanggunan mematikan. Ia tidak menghindar jauh, melainkan hanya menggeser tubuhnya satu langkah kecil ke samping, membuat ayunan tongkat Wayan hanya mengenai udara kosong di samping kepalanya. Bersamaan dengan itu, rapiernya menusuk cepat, mengarah ke sisi tubuh Wayan yang terbuka.