[14:15] Arena Koloseum
Koloseum, yang beberapa saat lalu bergemuruh oleh pertarungan epik dan pengumuman mengejutkan, kini dipenuhi oleh bisik-bisik antusiasme.
Hasil pertandingan final antara Balin dan Wayan menjadi topik paling panas di setiap sudut arena. Sebuah kemenangan tak terduga yang akan dikenang sepanjang sejarah turnamen.
Di tengah puing-puing arena yang hancur, para petugas dengan sigap mulai membersihkan dan mempersiapkan panggung penobatan di area yang masih utuh. Ketegangan fisik memang usai, namun emosi keheranan dan kekaguman masih membekas di wajah setiap penonton dan petarung.
Tak lama kemudian, Ratu Zafia kembali melangkah ke mimbar khusus, kali ini didampingi oleh Ratu Urvilla dan Ratu Lusila. Ketiganya memancarkan aura kebangsawanan yang tak tergoyahkan. Di tangan Ratu Zafia, sebuah mahkota emas murni—dengan bentuk dan ukuran seperti anyaman padi—berkilauan.
"Para hadirin sekalian!" suara Ratu Zafia menggelegar, kembali menenangkan kerumunan yang tak sabar. "Telah kita saksikan bersama pertarungan final yang menunjukkan batas kekuatan dan dedikasi penuh yang akan diceritakan turun-temurun!"
Ia menghela napas, pandangannya beralih ke Wayan, yang kini berdiri di tengah panggung yang sudah disiapkan, tongkatnya tersandar di sampingnya, meski beberapa bagian tubuhnya masih menunjukkan sisa-sisa pertarungan sengit. Balin berdiri tak jauh darinya, dengan ekspresi tenang namun sorot mata yang dalam, menerima kekalahan sesuai aturan.
"Maka dengan ini, atas nama Penguasa Kerajaan Ardana, akan kunobatkan Wayan, Sang Raja Kera Putih ... sebagai Juara Turnamen Petarung Terbaik Benua Arsyanendra ke-182!" Ratu Zafia melanjutkan, suaranya penuh kemegahan.
Gemuruh sorak-sorai pun pecah! Kali ini murni sorakan kemenangan dan pengakuan. Wayan melangkah maju, senyum sumringah terpancar di wajahnya.
Ratu Zafia kemudian menyerahkan mahkota emas bermotif seperti anyaman padi yang indah. Cahaya yang memantul, membuat permukaannya berkilau, lalu disambut teriakan histeris dari para pendukungnya.
Wayan menunduk hormat kepada ketiga Ratu, lalu menoleh ke arah Balin, yang membalasnya dengan anggukan kecil. Ada rasa hormat yang mendalam di antara keduanya, melebihi sekadar hasil pertandingan.
[14:15] Halaman Istana Kerajaan
Malam harinya, seluruh Istana Ardana diselimuti cahaya dan kemeriahan. Pesta perayaan penutupan turnamen berlangsung megah, jauh melampaui ekspektasi. Halaman istana disulap menjadi area pesta terbuka dengan meja-meja penuh hidangan lezat, musik mengalun indah, dan tawa riang memenuhi udara. Para petarung, Ratu, bangsawan, dan bahkan beberapa perwakilan rakyat turut serta dalam perayaan ini.
Di aula istana utama kerajaan, kemewahan terasa lebih pekat. Sebuah karpet merah mewah menjulur anggun dari pintu aula, membimbing langkah-langkah para tamu hingga ke kursi singgasana Sang Ratu yang bertahta megah. Di sinilah upacara pengangkatan ksatria dilakukan.
Ratu Zafia berdiri di podium yang lebih tinggi. Dengan suara lantang dan penuh wibawa, ia memulai upacara pengangkatan ksatria sebagai bentuk penghargaan atas keberanian dan keterampilan para petarung.
"Para petarung terbaik, mendekatlah!" seru Ratu Zafia, mengundang mereka yang telah menunjukkan kegigihan luar biasa.
Sang Juara melangkah maju. Ratu Zafia tersenyum, lalu dengan pedang kebangsawanan menyentuh bahu Wayan.
"Wayan, Sang Raja Kera Putih, atas keberanian dan ketekunanmu, aku mengangkatmu sebagai Panglima Perang Kerajaan Ardana!" ucapnya bangga.