[07:50 WIB] Kereta Api
Mendapati dirinya berhasil naik di detik-detik terakhir, Akasa pun merasa lega. Namun, ia masih gelisah. Teman-temannya belum terlihat.
Tak lama, ia pun teringat pesan Gita sewaktu tadi menelepon. Ketika dicek, ternyata itu adalah nomor tempat duduk yang telah mereka pesan jauh-jauh hari sebelumnya.
“Eks 4 : 13B … 11, 12 … nah, yang ini bukan?” gumam Akasa. Ia berjalan sambil mencocokkan nomor tempat duduknya.
“Bener kok ... tapi kok sepi ya? Yang lain pada ke mana?” Akasa heran, karena tak satu pun teman-temannya ada di sana.
Akasa menoleh ke sekitar, namun tak kunjung menemukan siapa pun kecuali seorang pria paruh baya yang duduk tenang di barisan kursi belakang.
Perawakannya seperti pria berumur 50 tahunan dengan kulit kecokelatan yang agak keriput. Kumis dan jenggotnya putih, pendek namun agak lebat. Rambutnya yang penuh uban tertutup blangkon. Ia mengenakan setelan surjan khas Jawa dan memegang tongkat kayu.
Tanpa menaruh curiga, Akasa pun menghampiri pria itu guna mencari informasi keberadaan teman-temannya. Siapa tahu, ia bisa dapat petunjuk.
“Umm … Pak, permisi! Tadi lihat anak-anak seumuran saya masuk gerbong sini ndak?” tanya Akasa ramah. Namun, pria itu hanya diam. Ia hanya menatap datar sambil menggeleng pelan.
Akasa heran. Ia mulai menatap lawan bicaranya lebih jeli. Seketika, Akasa menyadari ada satu hal menarik. Kedua mata pria itu ternyata berbeda warna. Sebelah kanannya hitam normal, sedangkan kornea di sisi kirinya putih kebiruan seperti orang katarak.
“Oh, ya udah. Makasih, Pak!” angguk Akasa pelan, lalu berbalik pergi dan berniat menghubungi Raffy.
“Wah, kayaknya beda gerbong nih! Coba telpon dulu ah!” batinnya sembari membuka ponsel untuk melakukan panggilan. Namun saat dicek, ternyata ponselnya mati total.
“Lah? Kok mati? Perasaan tadi masih setengah deh!” gumam Akasa bingung, namun ia memilih mengabaikannya.