Akasa kini dibawa para prajurit ke sebuah tempat yang antah berantah, dikelilingi pepohonan dekat area hutan, namun memiliki tanah berumput yang lapang.
Tepat di tengah area itu, berdiri sebuah bangunan bernuansa Hindu kuno, lengkap dengan pagar bebatuan dari andesit berwarna abu-abu gelap.
Keterkejutan membungkam Akasa. Dalam sekejap, ia yang tadinya duduk santai di tepian danau berkabut, kini dikelilingi oleh sosok-sosok bersenjata yang terlihat tanpa emosi.
Rasa dingin perlahan menjalar ke punggungnya, bukan semata oleh kabut malam, namun juga ketidakpastian yang membelenggu. Ia khawatir karena telah meninggalkan teman-temannya tanpa pamit.
Tak ada yang bisa ia lakukan. Akasa hanya bisa pasrah, mengikuti irama langkah para prajurit yang menggema seperti genderang nasib. Mereka berjalan setapak demi setapak, memasuki halaman luas dari area bernuansa Hindu tersebut.
Udara di sekitarnya lembab dan berbau tanah basah, seolah menyimpan sisa-sisa dupa yang telah lama padam.
Di sekeliling, ada lebih banyak prajurit yang berbaris rapi. Tapi suasana hening. Hanya langkah kakinya dan para prajurit pengantarnya yang terdengar.
Pandangan Akasa menyapu sekitar tempat itu. Dari jauh, ia melihat cahaya hijau berpendar tipis dari kegelapan. Akasa penasaran. Pikirannya dipenuhi segudang tanda tanya.
Tak lama, iring-iringan langkah para prajurit itu berhenti. Mereka mulai menunduk dan mundur beberapa langkah, menyisakan Akasa seorang diri di tengah barisan para prajurit yang tak menunjukkan ekspresi apa pun selain raut wajah datar.
Akasa bingung, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Namun sebelum pikirannya sempat bekerja, suara berat memecah kesunyian dari arah panggung setinggi lima kaki. Panggung itu berada tepat di depan sebuah bangunan yang mirip rumah antik.
“Majeng mriki!”
(“Maju kemari!”)
Titah itu terdengar lembut namun tegas, memunculkan kesan bermartabat. Suasana mendadak senyap, bahkan derap prajurit pun berhenti.
Mata Akasa menyipit. Tak lama berselang, sepasang sorot mata hijau yang berkilauan, menembus dari balik kegelapan panggung. Ada sesuatu yang aneh dalam kilauannya, bukan pantulan cahaya obor, melainkan seperti bara api yang menyimpan kekuatan tersembunyi.
Sedetik kemudian, siluet seorang wanita di singgasana kayu jati berlapis resin mulai tampak. Saat cahaya obor malam di kedua sisinya menyala makin terang, sosok misterius itu perlahan mulai tersingkap.
Seorang wanita cantik jelita—berkebaya hijau keemasan dengan sewek batik coklat bermotif gelap—akhirnya menampakkan diri. Rambut hitamnya disanggul, memanjang hingga pinggang. Tujuh tusuk konde menyerupai bulu merak menancap kuat, masing-masing dihiasi satu permata hijau kecil yang berpendar lembut.
Meski terasa asing, namun Akasa mengenalinya. Itu adalah sosok yang sama dengan yang ia temui di Danau Taman Hidup, hanya saja kali ini dengan visual yang lebih jelas.
Wanita itu duduk di kursi singgasana, ditemani dua sosok wanita bersanggul di sisi kanan dan kirinya. Tampaknya, merekalah yang biasa orang Jawa sebut sebagai “dayang” atau pembantu.
Paras dayang-dayang itu sebenarnya cukup menawan. Namun, kecantikan wanita misterius yang duduk di singgasana itu ... berada di level berbeda, hingga secara alami membuat daya tarik yang lain tampak memudar.
Tak lama, wanita cantik itu kembali bersuara, tapi kali ini nadanya menggelegar, seperti menahan amarah. Fokus Akasa pun pecah.
“MAJU KENE!!”
(“MAJU KEMARI!!”)
Perintah itu kembali bergema, aura intimidasi terpancar kuat. Tanah seolah bergetar. Bahkan ekspresi para prajurit yang sedari tadi datar, seketika kini saling menunduk gelisah.
Akasa pun terkejut, matanya melebar, dadanya terasa sesak. Hanya dalam sekejap, suasana di tempat itu berubah menjadi berat. Namun anehnya, ia tak gentar. Bahkan keteguhan hatinya kian menguat.
Kini ia yakin, bahwa apa yang sedang dihadapinya ... bukanlah sesuatu dari dunianya, melainkan entitas dari alam lain. Akasa bersiap untuk segala resiko, bahkan jika itu berarti kematian. Namun, tiba-tiba suara teriakan lain terdengar dari belakang.
“A-ampun! Ampuunn!!!” teriak seorang pria yang ketakutan, sedang digiring ramai-ramai lalu dipaksa berlutut bersama dua orang lain di sampingnya. Tangan mereka diikat, wajahnya tampak memar, dan jalannya agak sempoyongan. Sepertinya, intimidasi barusan, ditujukan untuk mereka bertiga.
“Si pala batu? Sama kerikilnya juga?” batin Akasa, alisnya bertaut heran melihat tiga sosok yang ia kenal. “Kepala batu” merujuk pada Enzi yang keras kepala, sementara “kerikil” mengacu pada Danindra dan Noviyanto, dua pengikut setianya. Pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi, semakin kuat membelit kepalanya.
“Danar! Buntala!” panggil sosok wanita cantik itu ke arah kerumunan prajurit yang ada di hadapannya. Kemudian, dua sosok lelaki tegap datang menghadap. Namun ada yang berbeda, tampaknya mereka bukan para prajurit biasa.
Pakaian mereka terlihat lebih tertutup dibanding prajurit lain yang hanya mengenakan sarung bermotif batik parang hingga bawah lutut. Sedangkan atasnya mengenakan baju biru tua tanpa lengan dan kancing. Ikat kepala dan lengannya dihiasi semacam aksesori emas.
“Kami rawuh, Kanjeng Putri!”