Akasa dibawa oleh para prajurit ke sebuah tempat di tengah antah berantah. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan, dekat dengan area hutan, namun memiliki tanah berumput yang lapang. Tepat di tengah-tengahnya, terdapat bangunan yang arsitekturnya bernuansa Hindu kuno, lengkap dengan pagar pembatas yang semuanya terbuat dari susunan batu berwarna keabu-abuan agak gelap.
Mengikuti irama langkah para prajurit yang berjalan setapak demi setapak, Akasa akhirnya memasuki area bernuansa Hindu tersebut, tepatnya di bagian halaman. Ketika melihat ke sekeliling, terdapat lebih banyak prajurit yang berbaris dengan rapi. Sementara dari kejauhan, terdapat siluet seseorang yang duduk dengan sorot mata hijau yang seolah bersinar, sedang menatap tajam ke arahnya dari balik kegelapan. Akasa pun menatap balik ke arah tersebut, masih dengan ekspresi wajah yang penuh keheranan.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan langkah para prajurit mulai berhenti, sebelum akhirnya mulai menundukkan kepalanya masing-masing dan mundur beberapa langkah ke belakang. Alhasil, menyisakan Akasa yang kini berdiri sendirian di hadapan puluhan prajurit yang masih berbaris dengan rapi.
Ketika diperhatikan lebih lanjut, tak ada satu pun dari mereka yang membuat ekspresi selain raut wajah yang datar. Namun, belum puas ia melihat ke sekeliling, tiba-tiba ada suara yang datang dari arah sebuah panggung dengan tinggi sekitar 5 kaki, seketika memecah keheningan pada situasi kala itu. Panggung itu berada tepat di depan sebuah bangunan yang mirip seperti rumah antik.
"Majeng mriki (maju kemari)!" demikian kata yang keluar dari suara yang terdengar lembut namun tegas, seperti seseorang yang bermartabat. Ketika Akasa mencoba menoleh ke arah datangnya suara tersebut, tampaklah siluet wanita yang sedang duduk di sebuah kursi kayu yang berbentuk seperti singgasana. Lalu, tatkala cahaya obor malam yang ada pada kedua sisinya, menyala makin terang, sosoknya yang sedari tadi tampak misterius pun perlahan mulai tersingkap.
Ia adalah sosok wanita yang cantik jelita, berpakaian kebaya hijau dengan aksen keemasan, serta bawahannya yang bermotif batik dan berwarna agak gelap. Rambutnya hitam panjang hingga sepinggang, ditambah sanggul di belakang dengan 7 tusuk konde yang memiliki bentuk seperti bulu merak dan dihiasi dengan 1 permata kecil pada tiap-tiap tusuknya.
Ya, itu adalah sosok yang sama dengan yang Akasa temui di Danau Taman Hidup, hanya saja kali ini dengan visual yang lebih jelas. Ia duduk di kursi singgasana, ditemani oleh dua sosok wanita dengan rambut bersanggul yang cantik, sedang berdiri tepat di sisi kanan dan kirinya. Tampaknya, mereka adalah apa yang orang Jawa sebut sebagai “dayang” atau pembantu.
Paras para dayang itu sebenarnya bisa dibilang cantik. Jika di perkotaan, maka mereka bisa dibilang good looking. Namun, kecantikan dari wanita misterius yang duduk di singgasana itu berada di level yang berbeda, sehingga secara alami membuat kecantikan yang lain tampak memudar. Kemudian, ketika Akasa sedang fokus mengamati keadaan tersebut, tiba-tiba wanita cantik itu mengeluarkan suara yang cukup menggelegar, hampir seperti orang yang menahan amarah.
“MAJENG MRIKI!!” perintah sosok wanita cantik itu kembali bergema, kali ini dengan aura intimidasi yang sangat kuat. Bahkan saking kuatnya, seolah tanah bergetar menyambut suaranya.
Sontak, Akasa pun terkejut. Hanya dalam sekejap, suasana di tempat tersebut berubah menjadi berat. Namun anehnya, ia tidak gentar. Bahkan keteguhan dalam hatinya makin menguat. Kini ia yakin, bahwa yang sedang ia hadapi saat ini, bukanlah sesuatu yang berasal dari dunianya, melainkan entitas dari alam yang berbeda.
Akasa mulai mempersiapkan diri untuk segala resiko, bahkan jika itu berarti kematian. Namun, tatkala ia sedang menata keteguhan hatinya, tiba-tiba ada suara teriakan yang terdengar dari arah belakangnya.
“A-ampun! Ampuunn!!!” teriak seorang pria yang terdengar ketakutan, sedang digiring ramai-ramai lalu dipaksa duduk berlutut bersama dengan 2 orang lain yang ada di sebelahnya. Masing-masing dari mereka tangannya diikat, mukanya tampak memar, dan jalannya agak sempoyongan. Sepertinya, intimidasi barusan, ditujukan untuk mereka bertiga.
“Si pala batu? Sama kerikilnya juga?” batin Akasa yang keheranan melihat 3 sosok yang ia kenal. Si “kepala batu” merujuk pada Enzi karena sifatnya yang keras kepala, sementara “kerikil” disini merujuk pada sosok Danindra dan Noviyanto yang selalu setia mengikuti Enzi.
“Danar! Buntala!” panggil sosok wanita cantik itu ke arah kerumunan prajurit yang ada di hadapannya. Kemudian, 2 orang lelaki berbadan tegap datang dan menghadap. Namun ada yang berbeda, tampaknya mereka bukan para prajurit biasa.