Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #7

Tawanan

Akasa kini dibawa para prajurit ke sebuah tempat antah berantah yang dikelilingi pepohonan dekat area hutan. Tanah berumputnya cukup lapang, tapi tak satu pun ruang terasa memberi jalan untuk lari.

Tempat itu terasa sakral dan kuno, namun terawat bersih. Bukan jenis tempat yang ditinggalkan, melainkan dijaga. Bangunan di tengah area itu—bernuansa Hindu, berpagar andesit abu-abu gelap—terasa seperti pusat pengawasan, bukan perlindungan.

Keterkejutan membungkam Akasa. Ia yang tadinya duduk di tepian danau berkabut, kini digiring seorang diri ke tempat asing yang dikelilingi barisan prajurit bersenjata.

Tak ada teriakan. Tak ada perlawanan. Hanya derap kaki yang teratur. Rasa dingin perlahan menjalar dari tengkuk hingga punggungnya. Bukan semata oleh kabut malam, melainkan ketidakpastian yang membelenggu. Ia khawatir karena telah meninggalkan teman-temannya tanpa pamit.

Tak ada yang bisa dilakukan Akasa selain pasrah mengikuti irama langkah para prajurit yang menggema seperti genderang nasib. Mereka berjalan setapak demi setapak, memasuki halaman luas dari area bernuansa Hindu tersebut.

Udara di sekitarnya lembab dan berbau tanah basah, seolah menyimpan sisa-sisa dupa yang telah lama padam. Ada lebih banyak prajurit yang berbaris rapi di sekeliling. Namun suasana hening, hanya langkah kakinya dan para prajurit pengantarnya yang terdengar.

Saat suara itu berhenti, Akasa justru makin berdebar, seolah alarm tanda bahaya terus menggema dan menekan dadanya.

Ketika pandangannya mulai menyapu sekitar tempat itu, sepasang cahaya hijau berpendar tipis dari kegelapan yang jauh. Akasa penasaran. Pikirannya dipenuhi segudang tanda tanya.

Tak lama, iring-iringan langkah para prajurit itu berhenti. Mereka mulai menunduk dan mundur beberapa langkah, menyisakan Akasa seorang diri di tengah barisan para prajurit yang tak menunjukkan ekspresi apa pun selain raut wajah datar.

Akasa bingung, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Namun sebelum pikirannya sempat bekerja, suara anggun dari arah panggung setinggi lima kaki, memecah kesunyian. Panggung itu berada tepat di depan sebuah bangunan yang mirip rumah antik.

“Majeng mriki!”

(“Maju kemari!”) 

Titah itu terdengar lembut namun tegas, memunculkan kesan bermartabat. Suasana mendadak senyap, bahkan derap prajurit pun berhenti.

Mata Akasa menyipit, berusaha menerawang arah sumber suara itu. Ia memahami maksud kalimat itu, namun kebingungan membuat tubuhnya kaku.

Tak lama berselang, sepasang sorot mata hijau yang berkilauan, menembus dari balik kegelapan panggung. Ada sesuatu yang aneh dalam kilauannya, bukan pantulan cahaya obor, melainkan seperti bara api yang menyimpan kekuatan tersembunyi.

Sedetik kemudian, siluet seorang wanita di singgasana kayu jati berlapis resin mulai tampak. Saat cahaya obor malam di kedua sisinya menyala makin terang, sosok misterius itu perlahan mulai tersingkap.

Seorang wanita cantik jelita—berkebaya hijau keemasan dengan sewek batik coklat bermotif gelap—akhirnya menampakkan diri. Rambut hitamnya disanggul, memanjang hingga pinggang. Tujuh tusuk konde menyerupai bulu merak menancap kuat, masing-masing dihiasi satu permata hijau kecil yang berpendar lembut.

Meski terasa asing, namun Akasa mengenalinya. Itu adalah sosok yang sama dengan yang ia temui di Danau Taman Hidup, hanya saja kali ini dengan visual yang lebih jelas.

Wanita itu duduk di kursi singgasana, ditemani dua sosok wanita bersanggul di sisi kanan dan kirinya. Tampaknya, merekalah yang biasa orang Jawa sebut sebagai “dayang” atau pembantu.

Paras dayang-dayang itu sebenarnya cukup menawan. Namun, kecantikan wanita misterius yang duduk di singgasana itu ... berada di level berbeda, hingga secara alami membuat daya tarik yang lain tampak memudar.

Angin dingin sempat menyapu halaman itu, membawa bau tanah basah yang makin pekat sebelum berakhir sunyi. Tak lama, suara lantang wanita cantik itu—seperti menahan amarah—seketika memecah fokus Akasa.

“MAJU KENE!!”

(“MAJU KEMARI!!”) 

Seiring suara itu menggema, api obor di sekeliling halaman bergetar liar. Beberapa prajurit refleks menunduk, genggaman mereka pada senjata mengeras. Tak satu pun berani mengangkat wajah.

Mata Akasa melebar, dadanya terasa sesak. Hanya dalam sekejap, suasana di tempat itu berubah menjadi berat. Namun anehnya, ia tak gentar. Bahkan keteguhan hatinya kian menguat.

Kini ia yakin, bahwa apa yang sedang dihadapinya ... bukanlah sesuatu dari dunianya, melainkan entitas dari alam lain. Akasa bersiap untuk segala resiko, bahkan jika itu berarti kematian. Namun, tiba-tiba suara teriakan lain terdengar dari belakang.

“A-ampun! Ampuunn!!!”

Seorang pria berteriak ketakutan. Ia digiring ramai-ramai, sebelum dipaksa berlutut bersama dua orang lain di sampingnya. Tangan mereka diikat, wajahnya tampak memar, dan jalannya agak sempoyongan. Sepertinya intimidasi barusan, ditujukan untuk mereka bertiga.

“Si pala batu? Sama kerikilnya juga?”

Akasa membatin, alisnya bertaut heran melihat tiga sosok yang ia kenal. “Kepala batu” merujuk pada Enzi yang keras kepala, sementara “kerikil” mengacu pada Danindra dan Noviyanto, dua pengikut setianya. Pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi, semakin kuat membelit kepalanya.

“Danar! Buntala!”

Sosok wanita cantik itu memanggil ke arah kerumunan prajurit yang ada di hadapannya. Kemudian, dua sosok lelaki tegap datang menghadap. Namun ada yang berbeda, tampaknya mereka bukan para prajurit biasa.

Pakaian mereka terlihat lebih tertutup dibanding prajurit lain yang hanya mengenakan sarung bermotif batik parang hingga bawah lutut. Sedangkan atasnya mengenakan baju biru tua tanpa lengan dan kancing. Ikat kepala dan lengannya dihiasi semacam aksesori emas.

“Kami rawuh, Kanjeng Putri!”

(“Kami datang, Tuan Putri!”) jawab keduanya kompak.

“Sebat hajatmu!”

(“Sebut kepentinganmu!”)

Sang Putri mempersilakan, dagunya sedikit diangkat. Salah seorang yang membawa busur panah, lalu maju satu langkah menghadap Sang Putri.

Lihat selengkapnya