Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #8

Duel

Begitu Sang Putri mengucap perintahnya, para prajurit segera bergerak membentuk barisan menyerupai huruf “U”, mengelilingi Akasa dan kawanan Enzi. Sementara bagian yang terbuka, akan menjadi ruang bagi Sang Putri untuk menonton pertunjukan.

Api obor mulai menari, seolah menjadi saksi dimulainya duel maut itu. Geng Enzi yang sedari tadi ketakutan, kini mulai memasang kuda-kuda dan bersiap bertarung.

Sementara Akasa hanya berdiri tegak di tempatnya, masih memandangi pedang pendek—seperti barang antik—pemberian Sang Putri tadi.

Lalu, saat bilah pedang ditarik dari sarungnya, kilauan besi indah berwarna abu-abu kebiruan mulai tampak. Begitu kontras dengan sarung dan gagang pedangnya yang berwarna merah tua dengan hiasan perak.

“Ini ... pedang yang indah,” batinnya, matanya berbinar—terpaku pada permata biru yang menyala di tengah pedang—dengan perasaan aneh.

Cahaya yang dingin nan memikat itu ... seolah menyimpan kekuatan kuno yang familier. Padahal, itu adalah kali pertamanya mengangkat pedang itu.

Kilauan besinya seakan memanggil, memancarkan solusi cepat dalam situasi yang mengancam. Namun bayangan wajah ibunya dan janjinya ... terlintas di benaknya.

Dengan helaan napas yang hampir tak terdengar, ia menyarungkan kembali pedang itu dan meletakkannya lembut di tanah, menyiratkan penolakan terhadap kekerasan dalam diam.

Akasa bahkan tak melirik ke arah Sang Putri maupun kelompok Enzi. Ia berdiri tegak dengan mata tertutup, lalu mundur perlahan.

Sontak, semua yang hadir pada malam itu dibuat heran. Bahkan, Sang Putri—yang sedari tadi tampak santai—terbelalak, kaget atas tindakan Akasa yang tak terduga.

Sementara yang bersangkutan—Akasa—hanya diam di tempat, bahkan tak menunjukkan tanda-tanda kesiapan apa pun untuk bertarung. Sangat kontras dengan Enzi yang justru terlihat bersemangat.

“Jangan dendam ya ... ini demi bertahan hidup!” gumamnya pelan, lalu berlari meraih pedang antik yang tergeletak itu sebelum menyerang Akasa. Nafsu membunuhnya begitu menggelora, tergambar jelas di wajah Enzi dan dua pengikutnya.

Tekad mereka untuk membunuh Akasa dengan dalih demi bertahan hidup sudah bulat. Namun saat sudah dekat—belum sempat ia menyentuh pedang itu—tiba-tiba ada bunyi seperti buah jatuh dari pohon.

“BRUK!”

Suara itu diikuti bunyi lain yang lebih pelan—seperti interval pantulan bola—sebelum akhirnya menggelinding tanpa suara. Semua orang pun terkejut.

Bagaimana tidak? Karena yang jatuh itu ... ternyata adalah kepala Enzi yang terpisah dari badannya. Darah mengucur deras dari leher. Matanya masih membulat sempurna, membeku dalam ekspresi terkejut sebelum tubuhnya tumbang.

Danindra dan Noviyanto tersentak mundur, teriakan tertahan di tenggorokan saat berusaha melarikan diri. Namun tak lama, Sang Putri mengangkat pergelangan tangan kirinya dan mengayunkannya ke sisi kanan.

Dua bilah pedang melesat cepat, menancap tepat menembus dada mereka, lalu mengakhiri kesombongan para preman kecil itu dalam sekejap. Suasana mendadak hening. Sang Putri melirik sinis ketiga mayat lelaki itu, hampir seperti jijik.

“Lemah!” ejeknya tampak enggan, namun tak memudarkan parasnya yang cantik. Setelahnya, perhatiannya pun mulai beralih ke Akasa.

Sang Putri kali ini menjulurkan tangan kanannya. Jari jemarinya yang lentik dengan kuku panjang berwarna merah darah, terbuka lebar dengan kaku, seolah sedang mencengkeram sesuatu.

Sedetik kemudian, suatu energi tak kasat mata seperti menjerat tubuh Akasa. Perlahan, ia makin sulit bernapas, seolah sedang diikat tali baja besar. Kakinya mulai terangkat—melayang hingga tak menapak tanah—lalu tubuhnya ditarik maju dengan cepat menuju Sang Putri di singgasana.

Lihat selengkapnya