Akasa dan Sang Putri, duduk berseberangan di dalam kereta kencana. Namun meski begitu, tak ada percakapan apapun di antara mereka. Akasa yang bingung, merasa canggung untuk berbicara, sedangkan Sang Putri yang sedang duduk dengan posisi tangan dan kaki menyilang sambil menutup mata, enggan untuk berbicara.
Padahal, jarak kaki mereka bahkan tak lebih dari 1 meter. Namun, keduanya memilih untuk tetap diam. Sampai pada akhirnya, Sang Putri pun mulai melebarkan tangannya, kemudian membentuk suatu susunan seperti orang yang sedang bertapa.
“Sampun celak (sudah dekat).” Kata Sang Putri dengan posisi kedua tangan masih bertapa dan matanya yang tertutup. Mendengar hal ini, tentu saja membuat Akasa heran. Karena sepanjang ia memandang keluar jendela, tak ada apapun selain tanah berumput yang luas sejauh mata memandang.
Cahaya bulan purnama yang bersinar terang di tengah langit berbintang yang cerah, juga turut membantu mempertajam penglihatannya. Dan memang, tak ada apapun di sana. Tidak pula tanda-tanda dari peradaban atau bahkan pepohonan tertentu.
Tak lama kemudian, mulai nampaklah sebuah kabut putih tebal yang membentang sejauh mata memandang, dari ujung timur hingga ke ujung barat. Menjulang tinggi hingga ke langit. Menyisakan pemandangan yang seperti tembok putih besar, di penghujung jalan di antara luasnya padang rumput sabana.
Tak lama setelahnya, Sang Putri lalu mulai melebarkan tangan kanannya yang tegak lurus ke arah samping, seolah sedang menyingkap sesuatu. Sementara tangan kirinya masih dalam posisi bertapa.
Sedetik kemudian, terdengar suara seperti gemuruh ombak yang diikuti oleh kemunculan sebuah garis lurus yang muncul di penghujung jalan. Garis itu perlahan mulai membelah kabut putih yang tinggi tersebut dari bawah ke atas. Bahkan saking tingginya, seolah langit sedang terbelah dengan bagian dalamnya yang bersinar agak terang. Mengubah sedikit sudut malam yang sunyi dan gelap, menjadi seterang suasana pagi di pegunungan.
Sangat tidak masuk akal memang. Namun, itulah kenyataan yang sedang dilihat oleh Akasa. Tak ada satu pun yang bisa masuk di logika. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk menerimanya secara gamblang, seolah itu adalah hal yang lumrah.
Saat ini, sebuah garis yang membelah dinding kabut yang tebal, perlahan terbuka semakin lebar. Menciptakan sebuah celah yang cukup besar sampai seukuran jalan, hingga bisa dilalui oleh kereta kencana Sang Putri. Mereka pun masuk melewati celah tersebut dengan lancar.
Barulah setelah itu, celah tersebut mulai mengeluarkan suara gemuruh dan kembali tertutup. Kini, mereka kembali melewati area hutan yang berkabut, namun dengan suasananya yang berbeda, yakni seperti momen antara waktu subuh hingga sebelum terbitnya matahari.
Padahal, beberapa saat yang lalu, sebelum melewati celah di dinding kabut tersebut, suasananya masihlah gelap gulita. Untungnya, keanehan demi keanehan tersebut tak membuat nyali Akasa menjadi ciut. Justru ia malah merasa takjub dibuatnya, hingga tanpa sadar, mulai melupakan sosok penting yang saat ini sedang duduk di hadapannya.
“Lare bisu (anak bisu)!” panggil Sang Putri kepada Akasa, yang sepanjang perjalanan tak sekalipun mengucapkan sepatah kata atau pembicaraan apapun. Lalu, mendapati sindiran terhadap dirinya, Akasa pun menanggapinya dengan cukup santai.
“Kulo boten bisu (saya tidak bisu).” Balas Akasa singkat.
“Sinten asmamu (siapa namamu)?” tanya Sang Putri sambil sedikit mendongakkan kepalanya ke atas, seolah ingin menunjukkan sikap khas kebangsawanan yang penuh martabat.