Akasa sedang menjumpai persimpangan takdirnya di gerbang masuk Kerajaan Ardana. Sementara itu, sebuah kekuatan jahat yang bersemayam di suatu sudut benua, sedang menajamkan taringnya dan mengintai dari balik bayang-bayang. Tepatnya di sebelah barat laut Kerajaan Ardana, yakni sebuah tempat gersang yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan tua yang sudah mati. Kebanyakan sudah hangus terbakar hingga menjadikannya berwarna hitam seperti arang.
Lebih jauh lagi, ada sungai-sungai yang berwarna merah menyala, mengeluarkan asap dan hawa panas yang mampu melelehkan segalanya. Ya, itu adalah aliran lava pijar dari sebuah gunung yang bernama “Gunung Prama”, atau yang konon disebut sebagai ‘gunung penghabisan’, karena selalu aktif memuntahkan apa pun yang ada di dalamnya, serta mengeluarkan asap abu hitam yang tebal hingga menjulang tinggi ke langit. Menutupi cahaya matahari dan menghiasi langit yang seperti malam, dengan kilatan cahaya petir merah yang senantiasa menyambar antara 5-10x pada tiap menitnya.
Namun, bukan hanya di situ letak bahayanya. Tepat di kaki Gunung Prama, terdapat sebuah istana yang pondasinya berasal dari pohon tua berumur ribuan tahun yang telah mati. Ranting-rantingnya telah mengering, semua batangnya telah berwarna kehitaman. Sementara di sekelilingnya, dipenuhi oleh akar mawar hitam yang berduri tajam, serta tebing-tebing yang curam dan bebatuan yang tajam.
Selain panas dan gersang, tanahnya juga mengeluarkan gas belerang bercampur bangkai-bangkai hewan dari rawa-rawa, sehingga mengeluarkan aroma yang sangat busuk dan bisa mengganggu pernapasan seseorang jika terhirup cukup banyak. Lalu, ada pula segala jenis makhluk menyeramkan yang berkeliaran. Kebanyakan berwujud setengah manusia dan setengah hewan, atau sebut saja “siluman”.
Orion, begitulah orang-orang menyebutnya. Atau dalam bahasa setempat, berarti "anak api". Tempat itu memiliki sistem kasta dan susunan yang mirip seperti kerajaan. Ya, di sanalah, seorang ratu yang konon memiliki kekuatan ilmu hitam yang tak tertandingi berada. Berkuasa selama berabad-abad lamanya dan berdiri di puncak dari segala yang bersemayam di tempat itu. Ratu tersebut memiliki banyak punggawa yang tersebar di seluruh benua. Masing-masing dari mereka, memiliki kesaktian yang tidak bisa dianggap remeh dan memiliki tugas tersendiri.
Salah satu di antara punggawa Sang Ratu Orion, memiliki kemampuan untuk berubah menjadi kelelawar dan bertugas untuk mengintai apa pun yang berada di wilayah kerajaan bagian timur hingga selatan. Pada waktu yang lalu, sosok ini juga menggunakan kesempatannya untuk mengintai ke dunia manusia, yakni ketika tabir dimensi sedang mengalami penyusutan. Konsep ini mirip seperti pasang surut air laut.
Ketika sedang pasang, maka mustahil untuk menyeberang karena ganasnya ombak yang datang menerjang. Namun ketika sedang surut, maka air laut akan mengalami penyusutan, sehingga kita bisa berjalan-jalan lumayan jauh dengan aman dan nyaman seperti sedang bermain di daratan.
Demikianlah bagaimana cara punggawa Sang Ratu Orion dapat menyeberang dengan aman ke dunia manusia. Karena pada dasarnya, perbedaan dimensi ini ibarat kita menyelam ke dalam laut, sehingga butuh banyak persiapan dan tenaga ekstra untuk dapat menyelam lebih dalam. Kecuali bagi mereka yang cukup kuat untuk menahan napas dalam waktu yang lama. Tentu tidak semua orang dapat melakukannya.
Namun, kebetulan beberapa waktu yang lalu, tabir dimensi sedang mengalami penyusutan, sehingga salah satu punggawa Sang Ratu Orion, dapat mengintai ke dunia manusia. Lalu saat ini, ia sedang kembali menuju ke istana Sang Ratu berada, yakni di bawah kaki Gunung Prama. Punggawa itu memakai wujud ribuan kelelawar yang terbang bergerombol, sebelum akhirnya berubah kembali ke bentuk manusia ketika sampai di aula istana, lalu mengucap salam pada Sang Ratu.
“Salam, Kanjeng Ratu Lusila! Sang Panguwaos Kenalendran Agung Orion (Sang Penguasa Kerajaan Agung Orion)!” sapa siluman kelelawar itu yang kini merubah wujudnya menjadi sosok bapak-bapak yang mengenakan pakaian surjan khas Jawa dan memegang tongkat kayu. Ia lalu berlutut di hadapan penguasa tertinggi di kerajaan tersebut.
“Lowo, kah? Piye kabar menungso sing mok maksud kui? Wis ketangkep (bagaimana kabar manusia yang kau maksudkan itu? Sudah tertangkap)?” ucap Sang Ratu Orion, yakni Ratu Lusila, sedang duduk santai di singgasananya, sambil memandang ke arah salah satu pengikut setianya yang ternyata bernama Lowo.
Sosok Ratu Lusila masih tampak misterius, berbalutkan bayangan kegelapan yang pekat. Hanya menyisakan siluet hitam dari bagian perut hingga ke atas kepala. Namun, sorot matanya yang merah menyala, masih mampu memberikan aura intimidasi yang kuat hingga mampu membuat siapa pun jadi merinding karenanya.
“Pangapunten (mohon maaf)! Dereng (belum), Kanjeng Ratu!” jawab Lowo dengan penuh penyesalan. Kedua tangannya dirapatkan, kepalanya ditundukkan, berharap bahwa Ratu Lusila masih berkenan memberinya kesempatan kedua.
“Napa durung (kenapa belum)? Wis bosen urip we (sudah bosan hidup kamu)?” tanya Ratu Lusila dengan nada ketus, sedang matanya menatap sinis. Menyebabkan Lowo seketika jadi bergidik ketakutan. Salah sedikit saja, dapat menyebabkan nyawanya melayang.