Raffy dan teman-temannya, beserta Pak Kumar dan Pak Wandra, kini sedang meratapi nasib di penjara benteng Kerajaan Orion. Sementara itu, Akasa akhirnya mulai memasuki gerbang besar yang menjadi pintu masuk di Kerajaan Ardana. Tampak ada jalanan lurus yang mengarah langsung menuju ke istana kerajaan.
Kereta kencana yang dinaiki oleh Akasa dan Sang Putri, berjalan dengan lancar melewati kehidupan masyarakat yang cukup beragam. Ada yang sedang bertani, ada yang sedang menggembala ikan terbang, ada pula kerbau besar dengan tanduk yang ukurannya tidak umum. Bahkan, konon katanya bisa muat untuk dinaiki hingga 5 orang anak-anak atau 3 orang dewasa pada tiap sisi tanduknya.
Lebih jauh lagi, ada yang sedang bermain pentas seni dan musik. Atau sedang berdagang di tempat yang ramai seperti pasar tradisional, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, ada satu hal yang pasti, yakni ketika kereta kencana Sang Putri melewati jalanan utama, orang-orang yang Akasa lihat dari balik jendela, pasti akan menyambut dengan senyuman dan menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Putri.
Akasa yang menyaksikan semua kejadian tersebut, seketika merasa takjub, sekaligus tidak percaya, bahwa nenek lampir yang ada di hadapannya, benar-benar merupakan sosok penting yang sangat dihormati di kerajaan itu.
Kemudian, ketika mulai memasuki jalanan yang agak menanjak, tampak ada banyak jembatan layang yang cukup tinggi, dengan pondasi yang terlihat kokoh, mungkin sekitar puluhan hingga ratusan meter, dengan jalur yang terhubung hingga ke banyak tempat di seluruh kawasan kerajaan. Selain itu, model bangunan di area itu juga sudah mulai berbeda.
Jika di bawah tadi seperti tempat pemukiman dan tempat penginapan, maka kali ini, bakal lebih cocok apabila disebut sebagai kediaman pribadi, dengan pagar-pagar kayu dan halaman berumput hijau yang cukup luas, lengkap dengan hiasan tanaman dan bunga-bunga yang harum dan berwarna-warni.
Untuk kesekian kalinya, Akasa pun kembali merasa takjub atas suguhan pemandangan indah yang saat ini tengah dilihatnya. Ia bahkan tidak merasa sedang ditawan, melainkan seperti sedang diajak bertamasya melihat wahana-wahana baru yang belum pernah dijumpainya seumur hidup. Namun, itu belum semuanya.
Ketika sudah tiba saatnya untuk memasuki kawasan tertinggi yang ada di Kerajaan Ardana, ada banyak patung-patung yang terlihat seperti penjaga pada tiap sisi jalan yang ia lalui. Setelahnya, mulai nampak lebih banyak prajurit dan barak-barak yang di dalamnya terdapat berbagai macam senjata, seperti pedang, palu, tombak, kapak, panah, dll. Lalu, bertepatan pada tiap sisi sesuai 8 arah mata angin, terdapat 4 menara pengawas yang ditempatkan di dekat istana kerajaan, sedangkan 4 lainnya berada di sisi luar kerajaan.
Kemudian, usai melewati area yang menjadi markas pertahanan Kerajaan Ardana, akhirnya sampailah kereta kencana yang dinaiki oleh Sang Putri bersama dengan Akasa, berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang cukup besar dan megah. Tempat itu memiliki halaman berumput yang cukup luas dan tertata rapi, lengkap dengan bunga-bunga berwarna-warni yang amat harum baunya. Selain itu, ada pula tanaman lain berjenis alocasia yang daunnya terlihat cukup unik dan indah.
Lebih jauh lagi, tepatnya di depan pintu istana, terdapat 2 sosok pria berbadan tegap yang membawa tameng dan tombak. Pakaian mereka lebih tertutup daripada prajurit biasa, tampak lebih berwibawa dan bermartabat. Menjaga pintu masuk istana kerajaan tempat Sang Ratu berada.
“Sampun ngantos, mangga andhap (sudah sampai, ayo turun)!” ucap Sang Putri mempersilakan Akasa untuk segera turun dari kereta kencana. Setelah itu, mereka pun mulai berjalan menuju ke arah pintu masuk istana yang dijaga oleh 2 orang pria paruh baya yang tampak gagah. Sesampainya di sana, kedua penjaga itu pun langsung menundukkan kepala dan menyambut kedatangan Sang Putri.
“Sugeng rawuh (selamat datang), Kanjeng Putri!” sapa para penjaga pintu istana kepada Sang Putri dengan sopan dan penuh hormat.
“Nggih (ya), Bunda Ratu teng lebet (ada di dalam)?” tanya Sang Putri memastikan.
“Wonten (ada), Kanjeng Putri!” jawab para penjaga pintu istana serempak.
“Hmm, sae (bagus)!” balas Sang Putri singkat. Setelah itu, pandangannya mulai berbalik ke arah Akasa yang saat ini tengah berdiri di belakangnya, sedang melihat-lihat pemandangan sekitar yang masih terasa asing baginya.
“Siro ingkang teng wingking, dherek kaliyan kula (kalian yang ada di belakang, ikut denganku)!” perintah Sang Putri sembari menunjuk ke arah Akasa, hingga sontak membuatnya jadi bingung.
“Siro (kalian)?” tanya Akasa heran, karena alih-alih menyebut namanya, Sang Putri malah menyebut kata "siro" atau 'kalian', yang berarti ada beberapa orang yang seharusnya masuk dalam kategori kata tersebut. Namun, belum sempat Akasa mencerna semuanya, tiba-tiba ada suara lain yang terdengar dari arah belakangnya.
“Jagi (siap), Kanjeng Putri!” demikian suara serentak yang terdengar seperti suara orang banyak. Sontak Akasa pun kaget. Karena tepat di belakangnya, kini sudah berdiri sosok Danar dan Buntala, serta dua wanita cantik yang menjadi dayangnya Sang Putri.
“Lah? Kok? Tadi perasaan ….” Batin Akasa yang tampak terkejut mengetahui ada banyak orang yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Padahal, sebelumnya ia yakin bahwa tak ada satu pun yang mengikuti kereta kencana yang ia naiki bersama Sang Putri.
Meski begitu, walau pikiran masih dipenuhi oleh segudang tanda tanya, Akasa akhirnya memilih untuk mengabaikan situasi tersebut dan menganggapnya seolah itu sudah jadi hal yang lumrah. Toh, tak ada yang masuk akal bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau gaib. Setelahnya, Sang Putri pun mulai benar-benar mengarahkan pandangannya pada Akasa.