Usai Ratu Zafia memberikan putusan resminya, Akasa yang kini menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Ardana, kemudian diantar langsung oleh Sang Putri menuju ke sebuah ruangan di dekat taman, seperti yang dimaksudkan oleh Sang Ratu.
Tak seperti kamar pada umumnya di dalam istana yang luas dan mewah, kamar yang ditempati Akasa terasa sangat kecil dan sederhana, namun tetap terlihat nyaman untuk ditinggali.
Ketika dilihat, di dalam kamar itu, hanya ada satu kasur berukuran sedang yang muat untuk 2 orang. Sisanya adalah 1 lemari, 1 meja dan 1 kursi yang semuanya terbuat dari kayu. Mungkin, tak ada yang akan curiga, jika kamar itu diperuntukkan khusus untuk kamar pelayan, karena saking sederhananya kamar tersebut.
Namun, daya tarik sebenarnya dari kamar tersebut, bukan terletak pada perabot maupun luas tempatnya, tapi dari pemandangan luar jendela yang mengarah langsung ke taman istana, dengan balutan latar alam pegunungan yang indah di belakangnya. Jika harus menggambarkan bagaimana kamar tersebut, maka hanya ada 3 kata yang akan terlintas, yakni sederhana, indah dan nyaman.
“Niki ruanganmu, mangga ginakaken ngaso (ini ruanganmu, silakan gunakan untuk beristirahat)!” kata Sang Putri mempersilakan Akasa untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Setunggal hal malih, ampun regeti panggenan niki (satu hal lagi, jangan pernah kotori tempat ini)!” lanjut Sang Putri menambahkan satu kondisi, yang mana lebih seperti peringatan kepada Akasa, supaya menjaga kebersihan. Akasa pun menganggukkan kepala, menyetujui peringatan dari Sang Putri meskipun masih tak bersuara.
Setelah itu, mulai terdengar langkah kaki yang diiringi oleh kemunculan seorang wanita yang memakai kemben yang ditutupi kebaya putih, dengan selendang kuning yang diikat di pinggang dan bawahan batik berwarna coklat. Rambutnya yang hitam disanggul rapi ke belakang, sedang menghadap Sang Putri dengan kedua tangan yang disatukan seperti memberi hormat.
“Nuwun sewu (permisi), Tuan Putri!” sapa sosok wanita tersebut kepada Sang Putri. Tutur bahasa dan perilakunya sangat sopan bak seorang pelayan. Ketika dilihat dengan seksama, ternyata itu adalah salah satu dayang dari Sang Putri.
“Nggih, wonten napa (ya, ada apa)?” tanya Sang Putri dengan tegas.
“Kanjeng Ratu memanggil, Kanjeng Putri.” Jawab dayang tersebut dengan sopan.
“Sakmenika (sekarang)?” tanya Sang Putri memastikan.
“Leres (benar), Kanjeng Putri!” angguk dayang cantik tersebut membenarkan. Setelah itu, Sang Putri pun menerima panggilan tersebut meski dengan perasaan sedikit heran.
“Nggih pun (baiklah)! Sanjang ing Bunda Ratu, kula badhe enggal dugi (bilang pada Bunda Ratu, aku akan segera datang)!” ucap Sang Putri kepada dayangnya untuk segera menyampaikan pesannya kepada Sang Ratu.
“Jagi, Kanjeng Putri (siap, Tuan Putri)!” angguk sosok dayang tersebut menyanggupi permintaan Sang Putri, lalu segera pergi meninggalkan ruangan yang akan ditempati oleh Akasa. Setelah itu, kini fokus Sang Putri pun kembali tertuju pada Akasa.
“Akasa!” panggil Sang Putri kepada Akasa yang masih tampak keasyikan melihat-lihat seisi kamar.
“Damel saliramu nyaman (buat dirimu nyaman)! Kula badhe kesah sekedhap (aku akan pergi sebentar),” lanjut Sang Putri yang hendak berpamitan kepada Akasa untuk menjawab panggilan Sang Ratu. Tampaknya, ada hal penting yang ingin disampaikan langsung oleh Ratu Zafia secara pribadi.
“Nggih (baiklah)!” angguk Akasa yang tampaknya tidak begitu ambil pusing dengan keadaan sekitarnya. Setelah itu, Sang Putri pun menutup pintu kamar dan langsung pergi untuk menjawab panggilan Sang Ratu. Sementara Akasa, masih terkesima oleh pemandangan alam sekitar yang terlihat sangat memanjakan mata dari luar jendela kamarnya.
Itu adalah paduan dari langit yang cerah dengan sungai-sungai dan deretan perbukitan yang hijau sejauh mata memandang. Udaranya pun sangat sejuk dan bersih, walaupun sinar matahari di luar terlihat cukup terik.
Sepertinya, Akasa telah menemukan spot tempat favoritnya, yakni kusen jendela kayu yang memiliki sedikit ruang datar untuk bersandar, lengkap dengan suguhan pemandangan alam yang spektakuler. Sungguh tempat yang sangat sempurna bagi orang-orang seperti Akasa yang suka bersantai di tempat teduh dengan iringan hembusan angin yang sepoi-sepoi.
Bahkan, Akasa bisa saja bersantai seharian di sana hanya untuk sekadar menikmati suasana dan mendamaikan pikiran. Sementara di sisi yang lain, Sang Putri pun akhirnya menemui Sang Ratu di aula utama istana kerajaan.
“Kula dugi (saya datang), Bunda Ratu!” sapa Sang Putri sembari sedikit menundukkan kepalanya.
“Dewi ... pun sampeyan terna lare niku teng ruanganipun (sudah kau antarkan anak itu ke ruangannya)?” tanya Ratu Zafia memastikan.
“Sampun (sudah), Bunda Ratu!” jawab Sang Putri dengan mantap.
“Nggihpun (baguslah)! Menawi mekaten, ginemaken ing Akasa katur enggal jagi (kalau begitu, katakan pada Akasa untuk segera bersiap)!” lanjut Ratu Zafia memberikan perintah lain kepada Sang Putri. Namun, untuk sebuah permintaan tanpa adanya penjelasan yang jelas, tentu saja membuat Sang Putri jadi bingung.
“Jagi (bersiap)? Jagi kagem napa (bersiap untuk apa), Bunda Ratu?” tanya Sang Putri tampak bingung.