Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #21

Syukur

[13:25] Taman Istana, Kerajaan Ardana

Usai menghadiri jamuan makan dari Sang Ratu di pagi hari, Akasa pun berpamitan untuk pergi meninggalkan ruang makan istana. Setelah itu, ia kembali berkeliling melihat-lihat keindahan alam sekitar dan menikmati suasana istana yang cukup sejuk dan damai.

Ketika keluar dari bangunan istana, Akasa disambut oleh taman berbunga yang banyak didominasi oleh warna merah dari bunga mawar dan warna putih dari bunga melati. Menciptakan harmoni indah di antara tanah berumput yang hijau nan asri.

Tak ada tiang-tiang maupun kabel-kabel listrik yang mengganggu pemandangan. Tak ada asap knalpot dan suara bising kendaraan. Birunya langit dan putihnya awan, membentang sejauh mata memandang, ditemani oleh suara kicau-kicau burung yang cukup menawan.

Jika boleh jujur, ini adalah tempat yang sangat ideal untuk Akasa tinggali seumur hidup. Namun, tentu dirinya sadar, bahwa semua yang dilihatnya saat ini, tak lebih dari sekadar ilusi yang nantinya harus ia relakan untuk ditinggal pergi. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini, adalah menikmati semuanya sebelum tiba saatnya ia harus kembali.

Perasaan takjub dan damai yang memenuhi setiap sisi di relung hati, tanpa sadar mampu membuat Akasa berjalan-jalan mengitari istana dalam waktu yang cukup lama. Karena memang, area istana tersebut cukup luas. Jika diukur, mungkin sekitar 5x ukuran stadion sepakbola berkapasitas 40.000 penonton.

Lama ia berjalan, Akasa pun akhirnya sampai di suatu halaman luas dengan pagar pembatas setinggi 1,5 meter. Membentang mengelilingi bidang tanah yang berbeda ketinggian, seperti terasering sawah, hanya saja tingginya mencapai 4 meter.

Akasa pun mencoba mendekati pagar pembatas itu dan bermaksud untuk melihat pemandangan seperti apa yang ada di balik sana. Ketika diperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah tanah lapang yang banyak dihadiri oleh para prajurit yang sedang berlatih. Ada yang memegang tombak, ada yang menghunuskan pedang, ada pula yang mengangkat tameng, panah, dan lain sebagainya.

Tampak para prajurit itu begitu bersemangat dalam berlatih, hingga menarik minat Akasa untuk mengamatinya lebih lama. Lalu tak lama kemudian, terdengarlah suara seperti seorang wanita yang memanggil namanya dari kejauhan.

“Akasa!” sapa suara seseorang yang terdengar tidak asing.

“Ibu Ratu?!” kata Akasa yang tampak kaget ketika mengetahui bahwa sosok yang menyapanya barusan ternyata adalah Sang Ratu Zafia itu sendiri. Beliau berjalan menghampiri Akasa dengan perlahan, ditemani oleh seorang penjaga yang memiliki perawakan tubuh yang cukup gagah, tepat di belakang sosok Sang Ratu.

Napa ingkang taksih sampeyan ningal (apa yang sedang kau lihat), Nak?” tanya Sang Ratu penasaran.

“Umm, boten wonten (tidak ada)! Namung nikmati pemandangan alam lan tiyang-tiyang ingkang taksih berlatih (cuma menikmati pemandangan alam dan orang-orang yang sedang berlatih),” jawab Akasa yang tampak cukup antusias menyaksikan pemandangan dan keseharian para prajurit yang berlatih di Kerajaan Ardana.

Napa sampeyan purun (apa kau tertarik)?” tanya Sang Ratu menawarkan.

“Ah, b-boten (t-tidak), Ibu Ratu! Kula niki … tiyangipun cekap rapuh (saya ini … orangnya cukup rapuh).” Jawab Akasa yang dengan rendah hati menolak tawaran Sang Ratu untuk bergabung bersama para prajurit.

Lajeng, punapa sampeyan mboten sinau bela salira (lalu, kenapa kau tidak belajar bela diri)?” tanya Sang Ratu kembali menawarkan.

Bela salira (bela diri)?” respon Akasa keheranan.

Nggih, kaliyan mekaten, sampeyan saged mengsah menawi mangke wonten ingkang macam-macam kaliyanmu (ya, dengan begitu, kau bisa melawan jika nanti ada yang macam-macam denganmu),” ujar Sang Ratu yang mengemukakan gagasan supaya tak sembarang orang bisa macam-macam lagi dengan Akasa.

Tampaknya, ide ini muncul karena Sang Ratu mengetahui perundungan yang dialami oleh Akasa dengan geng Enzi di masa lalu. Mungkin, ide tersebut memang tampak menggiurkan. Namun, sepertinya tidak semudah itu Akasa bisa menerimanya.

Nanging (tapi), Ibu Ratu, kula (saya) ….” Kata Akasa yang masih tampak bingung untuk menerima tawaran tersebut. Melihat kerisauan Akasa, rasa ingin tahu Sang Ratu pun jadi mulai terusik.

Napa ingkang ndamel sampeyan bimbang (apa yang membuatmu bimbang), Nak?” tanya Sang Ratu penasaran.

Kula namung … boten remen nandhing (saya cuma … tidak suka berkelahi).” Jawab Akasa dengan raut wajah yang tampak bingung. Sepertinya, sifat aslinya yang pasif dan tidak suka terlibat konflik, masih melekat erat dengan karakternya hingga saat ini.

Meskipun pada satu momen, ia juga hampir kehilangan jati diri tatkala ia hampir membunuh Enzi di area mata air. Namun, untungnya niat tersebut Akasa urungkan setelah ia tiba-tiba teringat akan janjinya bersama mendiang ibunya. Tentu saja, Sang Ratu yang sudah mengintip jauh hingga ke masa kecil Akasa, memahami alasan di balik keraguannya.

“Akasa … sampeyan niki cah lanang. Kumedah kiyat, kedah purun, kedah tegar! Sampeyan kedah dados pelindung kagem saliramu kiyambak lan tiyang sanes (kamu itu laki-laki. Harus kuat, harus berani, harus tegar! Kamu harus menjadi pelindung bagi dirimu sendiri dan orang lain),” tegur Sang Ratu dengan lembut, mencoba menyemangati Akasa yang tampak kurang antusias.

Lihat selengkapnya