[13:25] Taman Istana, Kerajaan Ardana
Usai menghadiri jamuan makan dari Sang Ratu di pagi hari, Akasa pun pamit undur diri meninggalkan ruang makan istana. Setelah itu, ia kembali berkeliling melihat-lihat keindahan alam sekitar dan menikmati suasana istana yang cukup sejuk dan damai.
Ketika keluar dari bangunan istana, Akasa disambut oleh taman berbunga yang banyak didominasi oleh warna merah dari bunga mawar dan warna putih dari bunga melati. Menciptakan harmoni indah di antara tanah berumput yang hijau nan asri. Selain itu, ada pula tanaman alocasia jenis dragon scale (sisik naga) yang daunnya berbentuk unik nan indah, mirip dengan kalung pemberian dari Ratu Zafia. Warna daunnya agak putih, dengan bagian tulang daunnya yang berwarna biru tua. Tak jarang, orang-orang menjulukinya sebagai "Ratu Daun", yang sangat cocok untuk dibudidayakan di sekitar kediaman Sang Ratu.
Beralih ke sisi yang lain, Akasa tak melihat adanya tiang-tiang maupun kabel-kabel listrik yang mengganggu pemandangan. Tak ada asap knalpot apalagi suara bising kendaraan. Birunya langit dan putihnya awan, membentang sejauh mata memandang, ditemani oleh suara kicau-kicau burung yang mampu menentramkan jiwa.
Jika boleh jujur, ini adalah tempat yang sangat ideal untuk Akasa tinggali seumur hidup. Namun, tentu dirinya sadar, bahwa semua yang dilihatnya saat ini, tak lebih dari sekadar ilusi, yang nantinya harus ia relakan untuk ditinggal pergi. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah menikmati semuanya, sebelum tiba saatnya ia harus kembali.
Perasaan takjub dan damai yang kini memenuhi setiap sisi di relung hatinya, tanpa sadar membuat Akasa berjalan-jalan mengitari istana dalam waktu yang cukup lama. Karena memang, area istana tersebut cukup luas. Jika diukur, mungkin sekitar 5x ukuran stadion sepakbola berkapasitas 40.000 penonton.
Lama ia berjalan, Akasa pun akhirnya sampai di suatu halaman luas dengan pagar pembatas setinggi 1,5 meter. Membentang mengelilingi bidang tanah yang berbeda ketinggian, seperti terasering sawah, hanya saja tingginya mencapai 4 meter.
Akasa pun mencoba mendekati pagar pembatas itu dan bermaksud untuk melihat pemandangan seperti apa yang ada di balik sana. Ketika diperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah tanah lapang yang banyak dihadiri oleh para prajurit yang sedang berlatih. Ada yang memegang tombak, ada yang menghunuskan pedang, ada pula yang mengangkat tameng, panah, dan lain sebagainya.
Tampak para prajurit itu begitu bersemangat dalam berlatih, hingga menarik minat Akasa untuk mengamatinya lebih lama. Lalu tak lama kemudian, terdengarlah suara lembut seperti seorang wanita, sedang memanggil namanya dari kejauhan.
“Akasa!” sapa suara seseorang yang terdengar tidak asing. Ketika dilihat, ternyata itu adalah sosok penguasa tertinggi dari Kerajaan Ardana.
“Ibu Ratu?!” respons Akasa yang tampak kaget usai mengetahui bahwa sosok yang menyapanya barusan, ternyata adalah Sang Ratu Zafia itu sendiri. Beliau berjalan menghampiri Akasa dengan perlahan, ditemani oleh seorang penjaga yang memiliki perawakan tubuh yang cukup gagah, tepat di belakang sosok Sang Ratu.
“Napa ingkang sampeyan ningal (apa yang sedang kau lihat), Nak?” tanya Ratu Zafia penasaran.
“Umm ... boten wonten (tidak ada)! Namung nikmati pemandangan alam lan tiyang-tiyang ingkang taksih berlatih (cuma menikmati pemandangan alam dan orang-orang yang sedang berlatih),” jawab Akasa yang tampak antusias.
“Napa sampeyan purun (apa kau tertarik)?” tanya Ratu Zafia menawarkan.
“Ah, b-boten (t-tidak), Ibu Ratu! Kula niki … tiyangipun cekap rapuh (saya ini … orangnya cukup rapuh).” Jawab Akasa yang dengan rendah hati menolak tawaran Sang Ratu untuk bergabung bersama para prajurit.
“Lajeng, punapa sampeyan mboten sinau bela salira (lalu, kenapa kau tidak belajar bela diri)?” tanya Ratu Zafia kembali menawarkan.
“Bela salira (bela diri)?” respons Akasa keheranan.
“Nggih, kaliyan mekaten, sampeyan saged mengsah menawi mangke wonten ingkang macam-macam kaliyanmu (ya, dengan begitu, kau bisa melawan jika nanti ada yang macam-macam denganmu),” ujar Ratu Zafia mengemukakan gagasannya, tentunya demi kebaikan Akasa itu sendiri.
Tampaknya, ide ini muncul usai Sang Ratu mengetahui perundungan yang dialami oleh Akasa dengan geng Enzi di masa lalu. Mungkin, tawaran tersebut memang nampak menggiurkan. Namun, sepertinya tak semudah itu Akasa bisa menerimanya.
“Nanging (tapi), Ibu Ratu, kula (saya) ….” Kata Akasa yang masih tampak ragu untuk menerima tawaran tersebut. Melihat kerisauan Akasa, rasa ingin tahu Sang Ratu pun jadi mulai terusik.
“Napa ingkang ndamel sampeyan bimbang (apa yang membuatmu bimbang), Nak?” tanya Ratu Zafia penasaran.
“Kula namung … boten remen nandhing (saya cuma … tidak suka berkelahi).” Jawab Akasa dengan raut wajah yang tampak bingung. Sepertinya, sifat aslinya yang pasif dan tidak suka terlibat konflik, masih melekat erat dengan karakternya hingga saat ini.
Meskipun pada satu momen, Akasa juga hampir kehilangan jati dirinya, tatkala ia hampir membunuh Enzi di area mata air. Namun, untungnya niat tersebut ia urungkan usai ia tiba-tiba teringat akan janjinya pada mendiang ibunya. Tentu saja, Sang Ratu yang sudah mengintip jauh hingga ke masa kecil Akasa, memahami alasan di balik keraguannya.
“Akasa … sampeyan niki cah lanang. Kumedah kiyat, kedah purun, kedah tegar! Sampeyan kedah dados pelindung kagem saliramu kiyambak lan tiyang sanes (kamu itu laki-laki. Harus kuat, harus berani, harus tegar! Kamu harus menjadi pelindung bagi dirimu sendiri dan orang lain),” tegur Ratu Zafia lembut, coba menyemangati Akasa yang masih terlihat kurang antusias.