Bintang kejora mulai nampak. Anggunnya sinar rembulan yang terasa syahdu, perlahan tertutup oleh bayangan bukit di ufuk timur. Sementara atap semesta yang tadinya gelap, kini mulai memudar lebih terang. Menampilkan bulir-bulir embun yang berkilauan laksana permata alam di tengah padang rumput yang luas. Ya, pagi yang baru telah tiba.
Namun, ini bukan sekadar pagi yang baru. Bukan pula sekadar hari yang terasa seperti rutinitas berulang. Lebih dari itu, ini merupakan awalan bagi insan-insan lama yang baru saja melewati tembok perubahan, yang mana akan menuntun mereka menuju ke fase pendewasaan. Seperti halnya yang terjadi pada Sang Putri.
Perubahan kecil pada kedekatan hubungannya dengan Sang Ratu, mungkin akan dianggap biasa saja bagi sebagian orang. Namun nyatanya, hal yang kecil itu, dapat membawa perubahan besar yang nantinya akan menentukan nasib kerajaan mereka di masa mendatang.
Tapi untuk sekarang, bukanlah momen yang tepat bagi Sang Putri untuk bersinar, melainkan sudah waktunya bagi Akasa untuk bangun dan melakukan rutinitas latihan pagi. Setelah berganti pakaian dan membasuh muka, ia lalu berjalan keluar menuju ke tempat pelatihan. Namun di tengah perjalanan, Akasa tiba-tiba dikejutkan oleh penampakan sosok Sang Putri yang terlihat berdiri dari kejauhan, seolah sudah lama menunggunya.
“Akasa! Mriki (sini)!” panggil Sang Putri seraya sedikit mengangkat tangan kanannya seperti sedang mempersilakan seseorang.
“Kanjeng Putri?” gumam Akasa yang tampak heran dengan kemunculan Sang Putri yang begitu tiba-tiba. Tidak biasanya "Nenek Lampir" itu mau melakukan hal ini, jika menilai dari sifat sadisnya yang biasanya, kecuali jika ada hal penting yang perlu disampaikan. Lalu, tanpa pikir panjang, Akasa pun segera mendatangi Sang Putri yang kini sedang berdiri di dekat kolam senja.
“Wonten nopo Kanjeng Put (ada apa Tuan Put)-” ucap Akasa yang bermaksud ingin menanyakan keperluan Sang Putri. Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Sang Putri langsung memotong pembicaraan seraya menyodorkan sesuatu.
“Pundhut (ambil)!” celetuk Sang Putri memerintahkan Akasa sambil menyodorkan sebuah benda berbentuk lonjong yang dibungkus dengan kain merah dan diikat rapi pada kedua sisi.
“Hmm? Niki napa (ini apa)?” tanya Akasa kebingungan.
“Bebingah (hadiah).” Jawab Sang Putri singkat.
“Hah?” respons Akasa yang jadi tambah bingung, lantaran Sang Putri yang sangat irit untuk berbicara. Hanya melontarkan sepatah dua kata tanpa penjelasan apa pun, sehingga membuat Akasa tidak punya pilihan selain mencari tahunya sendiri.
Kemudian, dibukalah ikatan kain merah itu dengan perlahan, lalu diperhatikannya lagi benda pemberian Sang Putri dengan lebih cermat. Setelah itu, barulah ia mengenali benda apa yang saat ini sedang dipegangnya.
“Ini kan … pedang yang malam itu ….” Batin Akasa yang serasa nostalgia tatkala melihat pedang dengan ukiran unik dan indah yang sempat ia terima sewaktu pertama kali ia menghadap Sang Putri, yakni pada malam di mana ia seharusnya berduel dengan geng Enzi.
“Pripun miturut sampeyan (bagaimana menurutmu)?” tanya Sang Putri.
“Nggih, niki … pedhang ingkang elok (ya, ini … pedang yang indah).” Jawab Akasa sambil tersenyum. Kembali merasa terkesima dengan keindahan pedang yang baru saja diterimanya itu, meskipun sudah pernah menyaksikannya sendiri pada malam sebelumnya. Namun, dikarenakan oleh faktor pencahayaan yang lebih memadai, sehingga membuat detail dari pedang tersebut kini jadi terasa lebih hidup.
“Nggihpun, sampeyan simpen (ya sudah, kalau begitu silakan kau simpan baik-baik)!” ucap Sang Putri dengan mantap.
“Nanging Kanjeng Putri, kula raos mbekta senjata tajem botena perlu katur kala niki (tapi Tuan Putri, saya rasa membawa-bawa senjata tajam tidaklah diperlukan untuk saat ini),” sanggah Akasa yang merasa tidak enak membawa-bawa senjata.
“Napa sampeyan sampun mriksani kaliyan leres (apa kau sudah memeriksanya dengan benar)?” tanya Sang Putri memastikan.
“Hmm? Kejengipun (maksudnya)?” tanya balik Akasa dengan nada bingung.
“Sampeyan bakal faham saksampune nggeret pedhang niku saking sarunge (kau akan mengerti setelah menarik pedang itu dari sarungnya).” Balas Sang Putri yang kini memberikan petunjuk dengan lebih gamblang.
Lalu, ketika Akasa coba menarik bilah pedang itu dari sarungnya untuk yang kedua kalinya, barulah ia menemukan satu hal yang tidak disadarinya, sewaktu dulu pertama kali menariknya.
“Eh? Tumpul ternyata ….” Batin Akasa yang kini merasa terkejut, lantaran kedua sisi pada bilah pedang yang sedang dipegangnya, ternyata sama-sama tumpul. Jujur saja, ia sebelumnya mengira bahwa pedang itu memiliki bilah yang tajam dan berbahaya jika digunakan untuk menyerang orang. Maka dari itu, Akasa kemudian memutuskan untuk menaruhnya di tanah dan tidak menggunakannya. Meskipun pada hakekatnya, pedang itu memiliki potensi tersembunyi yang sangat jauh dari kata aman.
“Kula mireng sampeyan taksih berlatih caranipun nandhing, sabotenipun niku langkung sae ketimbang pedhang kajeng (kudengar kau sedang berlatih caranya bertarung, setidaknya itu lebih baik daripada pedang kayu).” Tutur Sang Putri membeberkan alasannya.
“Niki saestu damel kula (ini beneran buat saya)?” tanya Akasa memastikan.
“Nggih, reksaa kaliyan sae (ya, jagalah pedang itu baik-baik)!” jawab Sang Putri mengiyakan.
“Umm ... matur nuwun (terima kasih), Kanjeng Putri!” kata Akasa sambil tersenyum ikhlas, hingga menimbulkan semacam perasaan aneh di hati Sang Putri yang melihatnya. Seolah-olah, ia ingin memberikan sesuatu yang lebih kepada Akasa. Sesuatu yang tidak ia sadari. Sesuatu yang lebih dulu dirasakan oleh Sang Ratu.
“Miwiti sakmenika, aturi kula (mulai sekarang, panggil aku) … Mbak Dewi!” pinta Sang Putri yang tiba-tiba memberikan pernyataan mengejutkan.