Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #29

Lawan Terkuat

[Hari ke-4] Lapangan latihan, Kerajaan Ardana

Tak terasa, ini sudah hari keempat Akasa belajar bela diri di Kerajaan Ardana bersama Balin. Sesuai instruksi gurunya, pada pagi itu, Akasa sudah bersiap-siap untuk berangkat di kala sinar mentari baru saja mengintip dari ufuk timur. Ia pun melakukan peregangan otot sebelum akhirnya mengambil inisiatif untuk berlari 10x putaran mengelilingi lapangan.

Tentu hal ini bukan tanpa alasan. Sebab, dalam hatinya, Akasa tidak ingin menghabiskan waktunya hanya untuk berlarian sampai pingsan. Kali ini, ia ingin belajar hal lain dari Balin, dengan harapan supaya nantinya bisa sedikit menyenangkan hati Ratu Zafia.

Sementara Balin yang menyaksikan Akasa dari kejauhan, turut merasa senang karena muridnya akhirnya mau mengambil inisiasi dan bersemangat untuk menjalani kegiatan pelatihannya. Kemudian, Balin pun muncul setelah Akasa sudah menyelesaikan “pemanasan harian” seperti yang ia perintahkan sebelumnya.

Sae (bagus)! Niku enggal muridku (itu baru muridku)!” puji Balin usai menyaksikan perkembangan muridnya yang cukup memuaskan.

“Oh! Kapan Guru dugi (datang)?” kata Akasa yang tampak terkejut lalu segera bergegas menghampiri gurunya.

Nembe dugi (baru saja).” Jawab Balin santai seraya memberikan tangan kanannya yang hendak disalimi oleh muridnya.

Dados, dinten niki kita purun latian napa (jadi, hari ini kita mau latihan apa)?” tanya Akasa yang tampak antusias.

Niku (itu) ….” Jawab Balin sambil menunjuk ke satu arah yang telah terpatri sebuah boneka kayu sederhana dengan banyak sisi menonjol, yang mana mekanismenya bisa berputar jika salah satu sisinya dipukul menyamping.

“Hah? Ket kapan benda niku wonten ing mrika (sejak kapan benda itu ada di sana)?” tanya Akasa heran. Karena dari awal dia datang hingga sebelum gurunya muncul, tak ada apapun selain tanah berumput yang lapang dan pepohonan yang berjajar rapi di sekitar.

Kula pasang pas sampeyan mlajeng kados pasien ingkang purun klenger (aku memasangnya selagi kau berlarian seperti pasien yang mau pingsan),” jawab Balin sekenanya dengan nada yang seperti sedang menyindir seseorang.

Dados (jadi) … kula kedah napa (saya harus ngapain), Guru?” tanya Akasa dengan gelagat yang masih keheranan.

Kula pun penggalihaken, nanging ket sampeyan nrimah pedhang niku, mboten wonten klintunipun katur bawi sinau elmi pedhang (aku sudah memikirkannya, tapi semenjak kau menerima pedang itu, tidak ada salahnya untuk mulai belajar ilmu pedang).” Ujar Balin yang kini berniat untuk mengajarkan sedikit ilmu pedang kepada Akasa.

Nanging Guru, kula boten pitados napa niki saged kanaman pedhang, bilahnipun bahkan keningal boten tajam (tapi Guru, saya tidak yakin apakah ini bisa disebut sebagai pedang, bilahnya bahkan terlihat tidak tajam).” Keluh Akasa yang seperti kurang puas dengan benda tumpul yang sedang dipegangnya.

Dados, sampeyan langkung remen dipuntujleb kaliyan ingkang tajam (jadi, kau lebih suka ditusuk dengan yang tajam)?” tanya Balin dengan sedikit ketus. Mendengar hal ini, sontak Akasa menjadi panik dan berusaha kembali membujuk gurunya.

“Ah, boten (tidak)! Niki mawon (saya sudah nyaman dengan yang satu ini)!” ralat Akasa sambil tersenyum lebar-lebar.

Nggihpun, menawi mekaten, sampeyan badhe latian ngayun lan nebas kaliyan boneka kajeng niku (ya sudah, kalau begitu, kamu akan latihan mengayun dan menebas dengan boneka kayu itu)!” perintah Balin pada Akasa dengan cukup jelas.

Jagi (siap), Guru!” angguk Akasa dengan semangat. Setelah itu, ia pun segera mendekati boneka kayu itu dan mulai mengayunkan pedangnya. Namun, bukannya menebas seperti yang biasanya dilakukan oleh kebanyakan orang, Akasa malah membuat gerakan seperti ibu-ibu komplek yang sedang menghajar maling. Melihat pemandangan itu, Balin pun sontak merasa tidak tahan dan seketika langsung menghentikan aksi konyol muridnya itu.

MANDEG (BERHENTI)!!” teriak Balin dengan keras dan tegas, hingga membuat Akasa pun merasa kaget dan jadi kebingungan.

“Yaa Gusti (Tuhan)! Kula ngengken sampeyan ngayun pedhang, sanes mukul maling (aku menyuruhmu mengayunkan pedang, bukan memukul maling)!” ejek Balin yang masih tak percaya dengan seberapa parah gerakan Akasa.

“Guru, niki kula taksih ngayun pedhang (ini saya sedang mengayunkan pedang)!” ucap Akasa dengan polosnya.

Boten wonten pendekar pedhang mukul kaliyan gagang. Dados … tebas! Ampun gebug! Ayun bilah pedhang, sanes gagang (tidak ada ceritanya pendekar pedang memukul dengan gagangnya. Jadi … tebas! Jangan pukul! Ayunkan bilah pedangnya, bukan gagangnya)!” ujar Balin mengoreksi gerakan muridnya yang tampak sangat konyol.

“Oh, mekatenkah (begitukah)?” tanya Akasa memastikan.

Malihan, pripun sampeyan saged megang pedhang andhap kaliyan kalih tangan (lagipula, bagaimana bisa kau memegang pedang pendek dengan dua tangan)?” tanya Balin yang tidak habis pikir dengan pemikiran muridnya yang tampak sangat polos dalam memegang senjata.

“Oh, dados kula kedah majengaken kaliyan setunggal tangan (jadi saya harus melakukannya dengan satu tangan)?” tanya Akasa memastikan.

Tentu kemawon (tentu saja)!” jawab Balin sekenanya. Setelah itu, Akasa pun langsung meralat gerakan pedang, kali ini dengan satu tangan sesuai yang diinstruksikan oleh gurunya.

Lihat selengkapnya