[10:34] Barak Pangkalan Militer Kerajaan Ardana
Usai berpamitan dengan Akasa dan Sang Ratu, Balin akhirnya tiba di pusat pangkalan militer Kerajaan Ardana. Ketika ia baru saja menginjakkan kaki di sana, ternyata sudah ada banyak prajurit yang hendak menyambut kedatangan Balin dengan penuh hormat.
“Salam, Tuan Sapta!” sapa para prajurit yang sedang berbaris dari gapura pintu masuk, hingga ke tenda pertemuan para sosok penting dengan serempak. Para prajurit itu nampaknya memiliki cara tersendiri dalam memanggil para atasan mereka. Di tempat ini, Balin dipanggil dengan sebutan “Sapta” atau berarti “ketujuh”.
“Pripun kejagiane (bagaimana persiapannya)? Wonten ingkang kirang (ada yang kurang)?” tanya Balin penasaran.
“Boten (tidak), Tuan! Sedayanipun sampun pepak lan kita sedaya jagi budhal kapan kemawon (semuanya sudah lengkap dan kita siap berangkat kapan saja)!” Jawab salah satu perwakilan dari prajurit itu dengan penuh percaya diri.
“Sae (bagus)! Dipunpundi para petinggi liyane (dimana para petinggi yang lain)?” lanjut Balin bertanya.
“Tuan Catur, Tuan Panca lan (dan) Tuan Arga, sampun ngentos wonten tenda (sudah menunggu di dalam tenda), Tuanku!” balas perwakilan prajurit itu dengan sopan, seraya mempersilakan Balin untuk menuju ke sebuah tenda yang cukup besar untuk dapat menampung sekitar 40-an orang. Biasanya, tempat ini digunakan untuk rapat strategi dan koordinasi dalam berbagai kepentingan, terutama yang berhubungan dengan masalah keamanan.
“Menawi mekaten, timbali sedayanipun mriki! Kita sedaya kumedah ngamanaken jalur pamlajaran sadereng miwiti penyerangan esok dinten (kalau begitu, panggil mereka kemari! Kita harus mengamankan jalur pelarian sebelum memulai penyerangan besok pagi)!” perintah Balin dengan tegas seraya menghentikan langkahnya.
“Jagi (siap), Tuan!” angguk perwakilan prajurit itu dengan mantap. Setelah itu, ia pun langsung bergegas pergi menuju ke tenda besar tadi, untuk menyampaikan pesan Balin dan memanggil seluruh pemimpin yang memiliki gelar penyebutan unik berupa angka. Lalu, tak berapa lama kemudian, satu per satu dari mereka pun mulai keluar dari tenda.
“Dherekku, napa sampeyan boten keladuk terburu-buru (Saudaraku, apa kau tidak terlalu terburu-buru)?” tanya seorang lelaki yang gaya berpakaiannya hampir mirip dengan Balin. Hanya saja postur badannya lebih besar dan memiliki bentuk simbol yang berbeda pada sabuknya, yakni kepala badak.
“Arga. Boten wonten cukup wekdal, kita budhal sakmenika (tidak ada waktu lagi, kita berangkat sekarang)!” jawab Balin sekenanya.
“Nggihpun (baiklah)!” angguk Arga setuju.
“Mangga (ayo)!” ajak kembali Balin dengan singkat.
[Hari ke-4] Lapangan latihan, Kerajaan Ardana
Sementara itu, di lapangan istana kerajaan, Akasa sedang menyantap makanan yang dibawakan oleh Ratu Zafia. Percakapan pun mengalir begitu saja. Mengisi waktu luang mereka sembari memulihkan energi Akasa yang telah terkuras pasca latihan.
“Ibu Ratu, kula taksih dereng faham (saya masih tidak mengerti),” ucap Akasa yang mengawali pembicaraan.
“Perihal napa niku (perihal apa itu), Nak?” tanya Ratu Zafia penasaran.
“Guru sanjang (bilang) ... kula kumedah numindakaken tolak angkat badan sakathah kaping kalih ewu. Saneskah niku kelangkung kejam (aku harus melakukan tolak angkat tubuh sebanyak 2000 kali. Bukankah itu terlalu kejam)?” keluh Akasa yang merasa keberatan dengan porsi latihan gurunya.
“Hmm ... kadosipun wonten hal benten ingkang dipunajaraken gurumu kajawi ngiyati badan (sepertinya ada hal lain yang diajarkan oleh gurumu selain memperkuat tubuh).” Balas Ratu Zafia sambil tersenyum.
“Kajengipun (maksudnya), Ibu Ratu?” tanya Akasa keheranan.
“Nak ... niki sanes soal pencapaian, nanging tekad. Sanes sepinten kathah sampeyan saged majengaken, nanging sepinten tulus sampeyan purun majengaken (ini bukan soal pencapaian, tapi tekad. Bukan seberapa banyak kau bisa melakukannya, tapi seberapa tulus kamu mau melakukannya).” Ujar Ratu Zafia memberikan nasihatnya dengan lembut.
“Dados (jadi), niku (itu) ….” Balas Akasa dengan raut wajah yang masih tampak bingung.
“Boten sedaya pikantuk ingkang sae ugi aos ingkang sae. Kadang kala, upadosmu katur nyagedi pikantuk ingkang sae, badhe langkung dipunregani, senadyan pikantukipun boten sae (tidak semua hasil yang bagus juga mengandung nilai yang bagus. Terkadang, usahamu untuk meraih hasil yang bagus, akan lebih dihargai, meskipun hasilnya tidak bagus).” Sambung Ratu Zafia menambahkan.
“Dados, upados kemawon sasagedmu, ngasoa nalika sampun boten sanggup, lan kajengipun semesta ingkang nentukaken pikantukipun katurmu (jadi, berusaha saja semampumu, istirahatlah ketika sudah tidak mampu, dan biarkan semesta yang menentukan hasilnya untukmu).” Lanjut Ratu Zafia menasihati Akasa dengan sabar.
“Sanes kesagahan ingkang dipunkersakaken gurumu, nanging kesatuhu katur nrimah sacara ikhlas inggil napa ingkang sampun ditentukaken katurmu. Napa sampeyan faham samangke (bukan kesanggupan yang diinginkan oleh gurumu darimu, tapi kesungguhanmu untuk menerima secara ikhlas atas apa yang telah ditentukan untukmu. Apa kau sudah mengerti sekarang)?” tanya Ratu Zafia memastikan.
“Faham (mengerti), Ibu Ratu!” jawab Akasa singkat sebelum akhirnya terdiam. Berusaha mencerna segala hal yang baru saja disampaikan oleh Sang Ratu.
Namun, perhatiannya tiba-tiba mulai terusik oleh suara yang terdengar seperti badai, hanya saja dengan irama serempak yang diiringi dengan sedikit getaran. Lalu tak lama kemudian, bunyi-bunyian lain seperti alat ketukan kayu yang biasanya ada di pos ronda, serta dentuman-dentuman lonceng pun mulai terdengar saling bersahutan. Seolah, sedang ada kejadian besar sedang terjadi hingga mampu menyita perhatian seisi kerajaan.
“Ungel napa niku (bunyi apa itu), Ibu Ratu?” tanya Akasa penasaran.