Mendapati alur pertempuran yang tak menentu, Lowo pun dipaksa berpikir cepat untuk membuat pilihan. Setelah menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, akhirnya Lowo memilih untuk melepaskan seekor makhluk mengerikan bernama “Haung”. Makhluk ini dikurung rapat-rapat di dalam penjara khusus yang berukuran besar, yakni bagian terdalam dan paling terisolasi di benteng perbatasan yang saat ini masih dikuasai oleh Kerajaan Orion.
Konon katanya, Haung memiliki sistem metabolisme tubuh yang bergerak cepat, sehingga berakibat pada nafsu makannya yang sangat rakus. Ia takkan memilah mana yang kawan maupun lawan. Siapa pun makhluk yang berbeda spesies dengannya, akan dianggap sebagai mangsa yang menunggu untuk disantap.
Pada aspek yang lain, Haung mampu berlari hingga 3x lebih cepat dari kuda liar, dan masih dapat ditingkatkan lagi hingga 10x lipat ketika sedang lapar. Atas keadaan inilah, kandang Haung wajib dibuat terpisah, tepatnya di atas penjara bawah tanah yang mengarah langsung ke sisi luar benteng.
Lalu, usai menjaga jarak dengan aman, para penjaga pun mulai membuka kunci dan rantai dari masing-masing satu pintu besar, serta beberapa pintu-pintu kecil di baliknya, yang menjadi semacam sekat atau pembatas tambahan guna memaksimalkan keamanan dari kandang, tempat Haung dikurung. Kemudian, tuas pun ditarik. Menyebabkan suara berderek dari pintu kandang besar yang perlahan terbuka, lalu diikuti oleh suara misterius yang begitu mengintimidasi.
“HRRAAUUUUUNNGGG!!!” demikian bunyinya. Seperti suara lolongan serigala, namun ada sedikit tambahan geraman seperti harimau dan deruman seperti gajah. Menjadikan suasana medan perang mendadak sunyi seketika. Sontak, semua pihak tampak terkejut dan waspada akan kedatangan seekor predator buas yang memancarkan aura intimidasi yang kuat, seolah ingin menerkam mangsanya.
Tak ada berani bersuara. Entah itu di kubu Kerajaan Orion ataupun di kubu Kerajaan Ardana, para prajurit yang sedang melakukan peperangan, semuanya langsung terdiam. Mendengarkan dengan seksama suara lolongan yang disertai geraman yang makin lama terdengar makin jelas, hingga tak lama kemudian, memunculkan seekor makhluk berkaki empat yang memiliki taring dan cakar yang tajam.
Makhluk itu berwujud seperti serigala, berbulu hitam, memiliki tanduk dan mata berwarna merah, serta ukuran tubuh yang setara dengan seekor gajah dewasa. Gigi-giginya yang tajam dengan 4 taring yang panjang, dihiasi oleh cairan berwarna kemerahan agak gelap yang sesekali menetes dari mulutnya. Entah siapa yang baru saja mengalami nasib buruk dengan menjadi mangsanya.
“Sadherekku (Saudaraku), m-makhluk napa niku (apa itu)?” tanya Catur dengan perasaan tegang. Namun tidak hanya Catur, melainkan seluruh pasukan dari kedua pihak, tampaknya juga memiliki pemikiran yang serupa.
Tak ada yang terdengar di medan pertempuran selain suara jantung yang berdetak makin cepat. Bahkan, suara angin pun seakan ikut membisu menyambut kemunculan makhluk itu. Beberapa saat kemudian, Balin pun akhirnya mulai membuka mulutnya, meski dalam keadaan siaga penuh.
“Haung. Raja para serigala. Makhluk niki ing njawi kesagedan siro sedaya (makhluk ini di luar kemampuan kalian).” Jawab Balin menerangkan sosok Haung sesederhana mungkin, tanpa membuat pergerakan yang tidak perlu.
“Sadherekku (Saudaraku), napa wonten cara katur mengsahipun (apakah tak ada cara untuk melawannya)?” tanya Arga yang kali ini tampak tegang.
“Wonten (ada). Ingkang setunggal, plajar (yang pertama, lari)!” jawab Balin sekenanya.
“Kaping kalih (yang kedua)?” tanya Catur penasaran. Namun belum sempat ia mendapat jawaban, tiba-tiba mata Haung langsung tertuju ke arah mereka dengan tajam, menyebabkan seluruh bulu kuduk jadi merinding seketika.
Sementara di sisi lain, Balin yang menyadari tatapan tajam dari predator itu, dengan sigap langsung menyerukan peringatan pada rekan-rekan dan pasukan yang ada di sekelilingnya, untuk segera bertindak.
“MENCAR (BERPENCAR)!!” perintah Balin dengan tegas. Lalu sedetik kemudian, Haung pun langsung melesat dengan kecepatan tinggi dan menerkam beberapa pasukan yang tak sigap melarikan diri. Mengakhiri takdir mereka seketika dengan teriakan pilu akibat terkena cakar yang tajam, atau tubuh yang tercabik-cabik oleh taringnya yang menakutkan.