[10:25] Gazebo Taman, Istana Kerajaan Ardana
Waktu telah berlalu. Tak terasa, sinar matahari kini mulai berpindah ke atas ubun-ubun. Sementara itu, para prajurit masih sibuk melakukan perbaikan pada atap menara pengawas yang hancur akibat ulah Akasa, hingga sempat membuat kegaduhan besar di sekitaran kawasan barak militer. Mereka mengira, bahwa ada serangan musuh yang datang dari arah yang tak diketahui.
Untungnya, insiden itu telah berhasil ditutupi dengan baik oleh Ratu Zafia, yang kemudian menyuruh bawahannya untuk lebih fokus dalam memperbaiki atap menara daripada mengkhawatirkan hal yang tidak pasti. Sedangkan tersangka utama penyebab kegaduhan itu, yakni Akasa, ironisnya sedang duduk santai di sebuah gazebo yang terletak di pinggiran area taman dekat kolam senja, masih di area istana kerajaan.
Akasa tampak memandangi langit dengan tenang. Melihat awan putih yang bergerak pelan di langit yang cerah, sembari merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi. Walaupun ada suara berisik di latar belakang dari orang-orang yang seperti sedang bekerja di konstruksi bangunan, nyatanya masih tidak menggangu waktu Akasa untuk bersantai.
Tak lama kemudian, mulailah terdengar suara langkah kaki yang temponya cukup cepat, seolah ada seseorang yang sedang berjalan tergesa-gesa, lalu diikuti oleh sesosok wanita cantik yang mulai mengomel dari kejauhan.
“Mboten saged kah sedinten kemawon sampeyan anteng (tak bisakah sehari saja kau tidak membuat keributan)?” ucap Sang Putri tegas dengan nada agak kesal.
“Hmm? K-kajengipun (m-maksudnya)?” kata Akasa yang balik bertanya sambil memalingkan matanya ke arah lain, seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan olehnya. Melihat respons Akasa yang demikian, Sang Putri pun tak ingin bertele-tele dan langsung melayangkan tuduhannya pada Akasa.
“Ingkang ngajuraken atap menara niku … sampeyan, leres (yang menghancurkan atap menara itu … kamu, kan)?” tanya Sang Putri menegaskan.
“Ahaha, Mbak Dewi … Akasa niki namung bocah lemah lan rapuh, mustahil saged (ini cuma bocah lemah dan rapuh, tidak mungkin bisa)- urrggh?!” jawab Akasa yang masih berusaha berpura-pura dan bertingkah seperti anak polos sambil tersenyum. Namun tidak sampai ia mengutarakan alasannya, tiba-tiba Sang Putri langsung melancarkan cengkeraman gaibnya pada kepala Akasa, hingga perlahan membuatnya melayang.
“Sampeyan, leres (kamu, kan)?” tanya Sang Putri kembali menegaskan.
“Ng-nggih, nggih, nggih (i-iya, iya, iya)! Niku kula (itu aku)! Niku kula (itu aku)! Ampun! Ampun! Ampun!” kata Akasa yang meminta pengampunan dengan nada panik.
“Malihan, kula mboten endel sampeyan ngginakaken pedhang niku dados tusuk buah (lagian, aku tak percaya kau menggunakan pedang itu sebagai tusuk buah).” Ketus Sang Putri dengan nada kesal, seolah masih tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya, sebelum akhirnya mulai melepaskan cengkeraman gaibnya pada Akasa hingga membuatnya seketika terjatuh.
“Uggh … tumunten katur napa? Pedhang niki bahkan boten saged nggores cucal tiyang (terus buat apa? Pedang ini bahkan tidak bisa menggores kulit orang),” tanya Akasa yang mulai mempertanyakan kegunaan dari pedang pemberian dari Sang Putri.
“Akasa … ampun anggep (jangan anggap) enteng! Sampeyan mbekta samukawis ingkang mboten sepele (kamu membawa sesuatu yang tidak sepele).” Tegur Sang Putri dengan nada yang agak serius, seolah ada resiko besar yang cukup mengancam.