Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #38

Pedang Lavaana

[10:25] Gazebo Taman, Istana Kerajaan Ardana

Waktu pun telah berlalu, hingga tak terasa sinar matahari kini mulai berpindah ke atas ubun-ubun. Sementara itu, para prajurit masih sibuk melakukan perbaikan pada atap menara pengawas yang hancur hingga sempat membuat kegaduhan besar di barak militer. Mereka mengira, bahwa ada serangan musuh yang datang dari arah yang tidak diketahui.

Untungnya, insiden itu telah berhasil ditutupi dengan baik oleh Ratu Zafia dan menyuruh bawahannya untuk lebih fokus dalam memperbaiki atap menara. Sedangkan tersangka utama penyebab kegaduhan itu, yakni Akasa, ironisnya sedang duduk santai di sebuah gazebo di taman dekat kolam senja, masih di area istana kerajaan.

Melihat awan putih yang bergerak pelan di langit yang cerah, merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi, meski dengan suara latar belakang orang-orang yang seperti sedang bekerja di suatu konstruksi bangunan, nyatanya masih bisa membuat Akasa bersantai.

Tak lama kemudian, mulailah terdengar suara langkah kaki yang temponya cukup cepat, seolah ada seseorang yang sedang berjalan tergesa-gesa, lalu diikuti oleh sesosok wanita yang mulai mengomel dari kejauhan.

Mboten saged kah sedinten kemawon sampeyan mboten ngatur keributan (tak bisakah sehari saja kau tidak membuat keributan)?” ucap Sang Putri tegas dengan nada agak kesal.

“Hmm? K-kajengipun (m-maksudnya)?” kata Akasa yang balik bertanya sambil memalingkan matanya ke arah lain, seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan olehnya. Melihat respons Akasa yang demikian, Sang Putri pun tak ingin bertele-tele dan langsung memberikan tuduhannya pada Akasa.

Ingkang ngajuraken atap menara niku … sampeyan, leres (yang menghancurkan atap menara itu … kamu, kan)?” tanya Sang Putri menegaskan.

“Ahaha, Mbak Dewi … Akasa niki namung bocah lemah ingkang rapuh, mboten bokmenawi saged (ini cuma bocah lemah yang rapuh, tidak mungkin bisa)- urrggh?!” jawab Akasa yang masih berusaha berpura-pura untuk bertingkah seperti anak polos sambil tersenyum. Namun tidak sampai ia mengutarakan alasannya, tiba-tiba Sang Putri langsung melancarkan cengkeraman gaibnya pada kepala Akasa hingga perlahan membuatnya melayang.

Sampeyan, leres (kamu, kan)?” tanya Sang Putri kembali menegaskan.

Ng-nggih, nggih, nggih (i-iya, iya, iya)! Niku kula (itu aku)! Niku kula (itu aku)! Ampun! Ampun! Ampun!” kata Akasa yang meminta pengampunan dengan nada panik.

Malihan, kula mboten endel sampeyan ngginakaken pedhang niku dados tusuk buah (lagian, aku tak percaya kau menggunakan pedang itu sebagai tusuk buah).” Ucap Sang Putri dengan nada ketus, seolah masih tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya, lalu perlahan melepaskan cengkeraman gaibnya pada Akasa, hingga seketika membuatnya jatuh.

“Uggh … tumunten katur napa? Pedhang niki bahkan boten saged nggores cucal tiyang (terus buat apa? Pedang ini bahkan tidak bisa menggores kulit orang),” tanya Akasa yang mulai mempertanyakan kegunaan dari pedang pemberian dari Sang Putri.

“Akasa … ampun anggep (jangan anggap) enteng! Sampeyan mbekta samukawis ingkang mboten sepele (kamu membawa sesuatu yang tidak sepele).” Balas Sang Putri dengan nada yang agak serius, hingga terkesan seperti sedang memperingatkan sesuatu yang memiliki resiko besar.

Lihat selengkapnya