[19:02] Barak Pangkalan Militer Kerajaan Ardana
Meskipun hari sudah gelap, namun acara pesta perayaan masih tetap berlangsung dengan meriah. Maklum, karena ini merupakan momen kemenangan pertama Kerajaan Ardana dalam puluhan tahun terakhir. Tentu semua orang pun menikmatinya, tak terkecuali para pasukan kerajaan yang sedang mengisi waktu istirahatnya dengan nyaman. Pada momen itu, datanglah seorang kakek tua yang berpakaian serba putih dan memakai tongkat kayu. Ia berjalan sendirian ke pangkalan militer kerajaan untuk menemui Balin.
"Balin." Sapa seorang kakek tua dengan ramah.
"Oh, Eyang Suci, napa panjenengan ngecakaken pestanipun (apakah Anda menikmati pestanya)?" respons Balin dengan sopan menanggapi sosok kakek tua yang ternyata adalah Eyang Suci.
"Nggih, katur pikantuk panyangetan kita sedaya kala wau, napa sampeyan sampun nyriyosikaken kaliyan leres (ya, berkaitan dengan hasil pengamatan kita sebelumnya, apa kau sudah melaporkannya dengan benar)?" tanya balik Eyang Suci bermaksud memastikan.
"Ah?! Nyuwun pangapunten (mohon maaf), Eyang Suci!" kata Balin yang ternyata lupa akan pesan penting yang harus ia sampaikan kepada Sang Ratu.
"Boten biasanipun, napa wonten samukawis ingkang kedadosan (tidak biasanya, apa ada sesuatu yang terjadi)?" tanya Eyang Suci penasaran.
"Nggih (ya). Mirengan kula teralihken rikala midhanget pirengan, menawi wonten setunggal tiyang ingkang maburaken atap menara pengawas salebetipun kula tindak (perhatian saya langsung teralihkan ketika mendengar kabar, bahwa ada seseorang yang telah menerbangkan atap menara pengawas selama saya pergi)." Jawab Balin sekenanya.
"Lereskah (benarkah)? Napa piyambake sedaya sampun menyusup kantos satebih niki (apa mereka sudah menyusup sampai sejauh ini)?" tanya kembali Eyang Suci dengan nada sedikit panik.
"Ah, boten (tidak), Eyang Suci! Yektos niku ulah murid kula ingkang teledor ngginakaken kekiyatipun (ternyata itu adalah ulah murid saya yang sembarangan menggunakan kekuatannya)." Jawab Balin yang merasa sedikit malu atas kelakuan muridnya.
"Lereskah (benarkah)? Napa piyambakipun salinangkung niku (apakah dia sehebat itu)?" tanya Eyang Suci penasaran.
"Boten ugi (tidak juga). Namung bocah ndableg ingkang boten sumerep pripun cara nguwawi salira (dia hanya bocah nakal yang tidak tahu bagaimana caranya menahan diri)." Sanggah Balin yang meralat dugaan Eyang Suci dengan menerangkan sedikit watak muridnya.
"Ahaha, samangke piyambakipun bawi mireng kados sampeyan (sekarang dia mulai terdengar seperti dirimu)!" respons Eyang Suci yang langsung tertawa. Karena secara tidak langsung, Balin juga mencirikan dirinya sendiri di mata orang lain.
"Nyuwun pangapunten (mohon maaf), Eyang Suci!" sesal Balin meminta pengertian.
"Nggihpun, menawi mekaten, terna kula nemoni Ratu Zafia! Badhe kula dhumatengaken pikantuk panyangetan kita sedaya sacara pribadi (baiklah, kalau begitu, antarkan aku menemui Ratu Zafia! Akan kusampaikan hasil pengamatan kita secara pribadi)." Pinta Eyang Suci sekenanya.
"Nggihpun (baiklah), Eyang Suci! Mangga, guyubi kula (mari, ikuti saya)!" angguk Balin menyanggupi, lalu mulai memandu Eyang Suci untuk bertemu dengan Sang Ratu.
[19:25] Beranda Istana Kerajaan Ardana
Usai berjalan melewati koridor dan aula istana, Balin pun akhirnya dapat mempertemukan Eyang Suci dengan Sang Ratu yang pada kala itu sedang menyiapkan sendiri teh hangat di sebuah teko yang terbuat dari perak.
“Salam, Ratu Zafia!” sapa Balin dengan sopan.
"Balin, punapa sampeyan wonten ing mriki? Napa sampeyan boten ngecaki pestanipun (kenapa kau ada di sini? Apa kau tidak menikmati pesatnya)?" tanya Ratu Zafia keheranan.
"Tentu hamba ngecakaken pestanipun, Kanjeng Ratu! Namung, wonten setiyang ingkang kersa manggihi kaliyan Kanjeng Ratu (tentu hamba menikmati pestanya, Tuan Ratu. Hanya saja, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Tuan Ratu)," jawab Balin dengan sopan.
"Sinten (siapa)?" tanya Ratu Zafia penasaran.
"Ratu Zafia." Sapa Eyang Suci dari belakang Balin.