[10:25 WIB] Aula Istan Kerajaan Ardana
Usai Sang Putri mengambil alih dan membubarkan pertemuan dengan Akasa dan rombongannya pada hari itu, Ratu Zafia yang masih bersedih, lambat laun akhirnya mulai mampu mengatur emosinya, lalu mulai membuka percakapan.
“Piyambake kalih mekaten sami (mereka begitu mirip)," ucap Ratu Zafia secara tiba-tiba, hingga seketika mampu memecah keheningan pada suasana yang berat di aula istana kerajaan.
“Bunda Ratu?” respons Sang Putri yang tampak sedikit lega, karena ibunya yang sedari tadi sedang bersedih, kini mulai membuka dirinya untuk melakukan percakapan.
"Akasa ... lan arimu (dan adikmu).” Sambung Ratu Zafia menambahkan.
“Piyambake gadhah manah ingkang sederhana, mboten remen kemewahan, mboten taat tatanan, remen dolanan lan kadang kala ceroboh, ngantos ndamel kita sedaya pisakit sirah (mereka punya hati yang sederhana, tidak suka kemewahan, tidak taat aturan, suka bermain-main dan terkadang ceroboh, hingga bisa membuat kita sakit kepala).” Tutur Ratu Zafia sambil sedikit tersenyum.
"Nggih, niku leres (ya, itu benar)!" angguk Sang Putri dengan tatapan sayu.
“Nanging kita mboten saged benci. Sosoknipun justru ndhatengaken raos kangen ingkang boten saged dipunjampeni, lan samangke … kita sedaya kumedah nguculipun (namun anehnya, kita tidak bisa membencinya. Ketidakhadirannya justru mendatangkan rasa rindu yang tidak bisa diobati, dan sekarang … kita harus melepasnya).” Lanjut Ratu Zafia kembali mengutarakan perasaannya. Tampak jelas beliau masih tidak sepenuhnya rela melepas kepergian Akasa.
“Dewi faham (mengerti), Bunda Ratu. Nanging, bahkan kaliyan sedaya keamanan ing mriki, kita boten saged jamin kawilujenganipun (tapi, bahkan dengan segala keamanan yang ada di sini, kita tidak bisa menjamin keselamatannya).” Sanggah Sang Putri bermaksud mengingatkan dengan tabah, hingga membuat Sang Ratu sedikit terkejut.
“Putriku … tanpa Bunda sadari, sampeyan sampun kathah berubah (kau sudah banyak berubah),” kata Ratu Zafia seraya mengusap pipi putrinya yang kini sudah mampu bersikap lebih dewasa daripada sebelumnya. Tersirat ada sedikit perasaan bangga di balik senyuman Sang Ratu.
“Boten sakhatah (tidak sebanyak) Bunda Ratu.” Balas Sang Putri yang kini juga ikut tersenyum haru atas kasih sayang Sang Ratu.
“Nduk, purunkah sampeyan ndherek Akasa? ing mriki sanes panggenan ingkang (Nak, maukah kau ikut dengan Akasa? Di sini bukan tempat yang)-” ucap Ratu Zafia yang kini juga mulai mengkhawatirkan keselamatan putrinya, namun dengan cepat langsung dibantah oleh Sang Putri.
“Bunda Ratu, sedayanipun badhe sae-sae kemawon. Dewi saged jagi piyambak. Lan saksampune bibar perang, kita saged cobi mampir sakepatos (semuanya akan baik-baik saja. Dewi bisa jaga diri. Dan setelah perang ini usai, kita bisa coba mengunjunginya sesekali).” Celetuk Sang Putri dengan tegar dan penuh percaya diri.
“Nggih, sampeyan leres, Nak! Mila saking niku, Bunda Ratu badhe berjuang ngantos titik rah puwanten (ya, kau benar, Nak! Maka dari itu, Bunda Ratu akan berjuang sampai titik darah penghabisan).” Ucap Ratu Zafia dengan mantap.
“Boten namung Bunda Ratu, nanging kita sedaya (bukan cuma Bunda Ratu, tapi kita semua).” Ralat Sang Putri seraya menoleh ke arah para abdi Sang Ratu, yang terdiri dari para menteri, panglima perang dan petinggi lainnya, yang memilih untuk tetap setia menemani perjuangan Ratu Zafia hingga akhir.