Historia - The Misty Kingdom

Hazsef
Chapter #58

Dua Sahabat

[21:45] Halaman Istana Kerajaan Ardana

Deklarasi perang telah digaungkan. Seluruh pasukan utama dari Kerajaan Orion, kini sudah dikerahkan menuju Kerajaan Ardana. Memunculkan perasaan takut dan cemas di hati semua orang, terutama para penduduk dari Kerajaan Ardana.

Meski demikian, tentu mereka takkan tinggal diam begitu saja, menerima fakta bahwa tidak lama lagi tempat tinggal mereka akan menjadi medan perang. Beragam persiapan pun telah dilakukan, baik oleh para penduduk sekitar, maupun dari pihak para petinggi kerajaan itu sendiri. Sementara sisanya, menikmati sisa-sisa malam terakhirnya, ditemani secangkir kopi panas di suasana malam purnama yang masih terasa seperti mimpi.

"Gak disangka, ya!" kata Pak Wandra membuka pembicaraan.

"Apanya, Pak?" tanya Pak Kumar heran.

"Meski baru beberapa hari, tapi rasanya kayak udah lama kali sejak kita bisa ngopi santai malem-malem gini," jawab Pak Wandra yang mulai membangun suasana layaknya sedang berada di warung kopi.

"Iya juga ya, Pak! Padahal rasa-rasanya kita baru lewat beberapa malam. Tapi rasanya udah kayak anak rantau berbulan-bulan. Ah, rasanya udah kangen kali sama kampung halaman. Oh iya, kira-kira kabar si Fikri gimana yah? Apa tuh bocah baik-baik di sana?" gumam Pak Kumar yang mulai kepikiran tentang anaknya di Desa Rohan.

"Kalau itu gak usah khawatir, Pak! Si Fikri pasti baik-baik aja! Dia anak yang kuat dan berani. Para warga desa juga baik sama dia. Beda sama bapaknya yang penakut!" sindir Pak Wandra santai sambil menyeduh kopinya dengan nikmat.

"Widiih … ada celah dikit langsung encer banget tuh lidah!” sindir balik Pak Kumar yang tampak sedikit kesal dengan candaan Pak Wandra. Namun bukannya tersinggung, Pak Wandra justru malah tertawa terbahak-bahak.

“Oh iya dong! Ahahaha!” tawa Pak Wandra yang membuat Pak Kumar jadi kehabisan kata-kata. Lalu, usai menghela napas sejenak, Pak Kumar pun kembali melanjutkan percakapan dengan wajah yang sedikit sayu.

“Tapi ... jadi Pak Wandra itu enak ya! Bisa tetep tenang, bahkan di situasi yang kayak gini. Kayak gak ada beban gitu!" ucap Pak Kumar yang kini melirik Pak Wandra dengan sedikit lesu.

"Tenang matamu! Jantung dari jauh-jauh hari rasanya udah kayak mau copot gini kok! Mikirin anak istri di rumah. Udah gitu anakku yang mbarep (pertama) udah mau masuk SMP, terus yang kecil juga mau masuk TK. Duuh, puyeng ini pala kalo gak bisa pulang-pulang!" keluh Pak Wandra yang kini jadi tampak kesal usai mendengar tuduhan Pak Kumar.

"Ahahaha! Oalah ... rupane (ternyata) tampang aja macan, tapi hati anakan kucing. Gak malu tuh sama kumis sampeyan, Pak?" ejek Pak Kumar yang kini jadi mulai bersemangat.

"Halah ... kayak Pak Kumar berani aja! Tengah malem mau kencing aja minta temenin!" balas Pak Wandra menepis ejekan Pak Kumar dengan nada sinis.

"Yaa ... gimana ya, Pak? Kan buat jaga-jaga! Siapa tau nanti ada macan atau apa gitu. Kan bahaya, Pak!" sanggah Pak Kumar yang coba membenarkan tindakannya.

"Sakarepmu (terserah kamu), Pak! Pokok ndak makan ternak warga sek (masih) aman!" canda Pak Wandra yang kembali mengejek Pak Kumar begitu ada kesempatan.

"Woo … enak ae (aja)! Dipikir saya anjing hutan apa?" protes Pak Kumar dengan nada kesal.

"Loh! Bukan saya yang bilang loh ya ...." Balas Pak Wandra dengan nada menggoda, bermaksud ingin cuci tangan dengan candaan yang baru saja ia lontarkan, hingga kembali membuat Pak Kumar merasa kesal.

Lihat selengkapnya