Pertemuan antara dua ratu kerajaan besar yang lama dinanti, akhirnya datang. Mengawali babak baru dari pertarungan sengit yang bakal menentukan nasib dari barisan dua kerajaan kuno terakhir di Benua Arsyanendra.
“Zafia … rencang lawasku (teman lamaku)! Kangen (apa kau merindukanku)?” tanya Ratu Lusila sambil tersenyum.
“Yo, saking kangene dadi pingin mateni awakmu (ya, saking rindunya aku jadi ingin membunuhmu)!” jawab Ratu Zafia dengan sinis.
“Uhh … kejeme (kejamnya)! Opo we ra ngerti cara njamu tamu (tidakkah kau merasa terlalu kasar dalam menjamu tamu)?” sindir Ratu Lusila sambil melihat-lihat ke sekeliling aula istana yang cukup besar dan luas.
“Ora usah ngajeni wong sing merdhayoh karo geni lan getih (tidak perlu ada keramahan untuk orang yang datang bertamu dengan api dan darah)!” balas Ratu Zafia dengan ketus.
“Ahahaha! Kuwi mergo we wong sing keisinan, rencang alitku (itu karena kau orang yang sangat tertutup, teman kecilku)!” sindir kembali Ratu Lusila, kali ini menyinggung sikap Ratu Zafia yang memasang dinding kabut tebal yang mengelilingi wilayah Kerajaan Ardana dan menutupnya dari dunia luar.
“Nalarmu sek pancet edan koyok biasane (pikiranmu masih tetap gila seperti biasanya)!” maki Ratu Zafia dengan santai, namun menatap tajam ke arah Ratu Lusila.
“Aku anggep kuwi pujian (anggap itu sebagai pujian)!” balas Ratu Lusila santai, lalu mulai melirik ke arah para bawahannya yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Mereka semua memakai jubah bertudung hitam yang hanya memperlihatkan dengan jelas pada bagian hidung hingga ke dagu.
"We kabeh … uber cah kuwi (kalian … pergi dan temukan bocah itu)!" seru Ratu Lusila dengan tegas.
"Nggih (baik), Kanjeng Ratu! Lajeng, pripun kaliyan (lalu, bagaimana dengan) Ratu Ardana?" tanya salah satu bawahannya dengan sopan.
"Sing situk iki mangsaku! Ojo melu-melu! Wis suwe aku ra seneng-seneng (yang satu ini mangsaku! Jangan ikut campur! Sudah lama aku tidak bersemangat seperti ini)." Jawab Ratu Lusila sambil tersenyum ke arah Ratu Zafia.
"Nggihpun (baiklah), Kanjeng Ratu! Menawi mekaten (kalau begitu), kami pamit!" angguk para bawahan Ratu Lusila menyanggupi.
"Yo (ya)!" balas Ratu Lusila singkat, lalu segera pergi mengejar Akasa.
"Tenan ta? Ojo nangis lho yen kalah mengkuk (apa kau yakin menyuruh semua bawahanmu pergi? Jangan sampai kau membuat alasan bodoh dan menangis ketika kalah nanti)!" sindir Ratu Zafia dengan sinis.