Raffy dan teman-temannya, telah berhasil menyelamatkan diri bersama dengan Pak Wandra dan Pak Kumar yang sedang sekarat. Sementara di tempat lain, Akasa sedang melarikan diri bersama Balin menuju ke wilayah selatan kerajaan. Lalu di tengah perjalanan, tiba-tiba kembali bermunculan sosok-sosok bertudung hitam yang sedari tadi juga mengincar Akasa.
Ketika tudung-tudung itu disingkap, maka nampaklah sosok-sosok baru yang terdiri dari siluman macan kumbang, siluman serigala, siluman beruang hitam, serta satunya lagi adalah sosok siluman gagak, yakni Kokila. Mereka semua adalah para bawahan Ratu Lusila yang beberapa waktu lalu telah diutus untuk mengejar Akasa.
“Nak … saksampune niki, mlajara teng ngajeng! Menapaa ingkang kedadosan, ampun ningal teng pengker (setelah ini, larilah sekuat tenaga ke depan! Apa pun yang terjadi, jangan lihat ke belakang)!” perintah Balin dengan nada serius dan sikap penuh waspada.
“Nanging (tapi), Guru-” bantah Akasa yang jelas tampak khawatir dengan keadaan gurunya. Namun tanpa aba-aba, tahu-tahu Balin langsung memotong pembicaraan dan segera mengeksekusi rencananya.
“SAKMENIKA (SEKARANG)!!!” teriak Balin dengan tegas seraya mendorong tubuh Akasa dari belakang untuk segera berlari ke depan. Setelahnya, Akasa pun tidak punya pilihan selain menuruti apa kata Balin. Meninggalkan gurunya melawan 4 orang petinggi dari Kerajaan Orion seorang diri, hanya demi menyelamatkan seorang lelaki asing yang datang dari antah berantah.
Kemudian, Akasa pun mulai berlari sambil menangis, lalu menutup telinganya supaya ia tidak mendengar apa yang tidak ingin dia dengar, terkait nasib gurunya yang sedang berjuang mati-matian untuk menghadang serangan musuh.
Lama Akasa berlari, hingga tak terasa, dirinya sekarang sudah berada di dekat area bukit tempat gerbang gaib itu berada. Lalu dari kejauhan, tampak ia melihat tubuh Pak Kumar yang sudah tergeletak bersimbah darah, dengan satu tombak panjang yang menembus langsung jantungnya.
“Pak Kumar ….” Panggil Akasa sambil menggoyang-goyangkan tubuh Pak Kumar yang sudah terbujur kaku tak bernyawa. Meski begitu, wajahnya yang tersenyum walau dengan banyaknya darah yang mengalir dari mulutnya, membuat Akasa seketika bersedih. Namun di saat yang sama, juga menaruh hormat kepada sosok Pak Kumar.
Setelah itu, Akasa pun memutuskan untuk mencabut tombak yang menancap di dada Pak Kumar, lalu membopongnya menuju ke gerbang gaib yang masih mengeluarkan residual energi dan memancarkan lapisan penghalang tipis di depannya. Namun, ketika hendak memasuki lapisan penghalang itu, tiba-tiba Akasa merasakan tubuhnya seperti menabrak dinding kaca dan tidak bisa melewatinya.
Tentu Akasa jadi heran, lalu mencoba melewatinya kembali. Namun, tetap saja gagal. Akasa pun bingung. Ia lalu meletakkan jasad Pak Kumar sejenak, untuk memikirkan bagaimana caranya agar mereka bisa melewati dinding penghalang gaib itu.
Kemudian, ketika sedang pusing mencari jalan keluar, secara tak sengaja, Akasa melihat salah satu tangan Pak Kumar yang tergeletak, ternyata dapat melewati batas lapisan penghalang itu. Lalu, tak butuh waktu lama, Akasa pun langsung membuat spekulasi liar, bahwa hanya satu orang saja yang dapat melewati gerbang gaib itu.
Tanpa pikir panjang, Akasa pun segera memasukkan jasad Pak Kumar ke dalam gerbang itu, lalu mulai berbalik menatap ke arah sekeliling, yang kini sudah ramai dipenuhi oleh pasukan dari Kerajaan Orion yang sedang mengepungnya. Namun, tak ada rasa takut. Tak ada rasa gentar. Hanya … sedikit rasa sedih. Karena ia merasa tidak mampu berbuat banyak, di saat yang lain sedang berjuang mempertaruhkan nyawa, demi keberlangsungan hidup yang lain.
Selanjutnya, Akasa akhirnya membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk bertarung mati-matian. Sendiri menghadapi sergapan ribuan musuh yang datang padanya dari arah barat daya. Tampaknya, ia tak berniat untuk melarikan diri, lalu meninggalkan kerajaan untuk hancur menjadi abu.
"Apanya yang senjata suci. Apanya yang senjata terkuat. Aku gak peduli sama semua omong kosong itu. Jika boleh milih, aku gak pingin kekuatan yang paling sakti, aku gak pingin kekuatan tak tertandingi, karena apa yang aku mau, cuman satu kesempatan biar bisa kumpul lagi dengan keluargaku.
Tapi kalian … kalian para iblis bedebah yang gak tahu diri, tiba-tiba datang terus mau ngambil semuanya? Jangan harap aku bakal pangku tangan!
Bakal kubasmi tiap eksistensi dari kalian. Bakal kuhapus tiap jengkal ancaman dari kalian. Jadi, kumohon ... menghilanglah! Menghilanglah, jadi ... aku bisa balik habisin waktu sama Ibu Ratu." Demikian batin Akasa seraya mementalkan pasukan musuh satu persatu. Namun, gempuran yang terus-menerus, membuat Akasa jadi mulai kewalahan, sebelum akhirnya tubuhnya terpental cukup jauh, usai terkena tembakan bola api dari sisi kiri yang gagal ditangkisnya dengan sempurna.
"Uaarrgghh?!" erang Akasa seraya merasa telinganya berdengung hebat, ditambah pandangannya yang kini agak kabur dan kepala yang sedikit pusing, usai terkena efek ledakan. Pada momen itu, seketika rentetan memori-memori lama dan kutipan percakapan yang terjadi di masa lalu bersama gurunya, mendadak mulai bermunculan.
“Jangan terlalu banyak berpikir, atau menanyakan sesuatu yang tidak penting. Jalani saja!”
"Berpikir?" batin Akasa heran.
"Belajar bertarung, bukan berarti belajar untuk menyakiti, tapi untuk melindungi. Sama seperti Sang Putri yang memberimu pedang itu. Tidak sembarang orang bisa memegang apalagi memilikinya.”