Meski harus mengucurkan keringat penuh darah, Raffy dan teman-temannya akhirnya berhasil kembali ke dunia nyata. Namun Akasa masih belum terlihat di mana pun, karena memang, saat ini dirinya masih berada di dunia lain.
Pada kesempatan itu, Sang Putri menggunakan kekuatannya untuk memulihkan tubuh Akasa yang kesemutan, setidaknya sampai ia mampu berdiri dan berjalan sendiri. Sedangkan tangan kanannya masih tampak menghitam usai memaksakan diri menggunakan kekuatan penuh dari Pedang Lavaana.
"Nggihpun, menawi mekaten, mangga kesah teng gerbang gaib! Sampeyan sampun ketlajeng tebih saking panggenan ingkang dipunharaken (ya sudah, kalau begitu, ayo segera pergi ke gerbang gaib! Kau sudah terlalu jauh dari tempat yang dijanjikan)!" ajak Sang Putri sambil mengulurkan tangannya.
"Mbak, wau (tadi) ... Akasa sampun nyobi, nanging mboten saged lumebet! Kadosipun wilangane kedah ganjil (udah nyoba, tapi gak bisa masuk! Sepertinya jumlahnya harus ganjil)." Tutur Akasa menjelaskan kronologinya, sambil berjalan memegangi tangan kanannya yang menghitam.
"Mekatenkah (benarkah)? Nanging, kula mboten ningali setiyang pun ing mrika. Kadosipun, sampeyan kedah antos sapirang wekdal sadereng watesane wilangan dibalikaken kados semula (tapi, aku tidak melihat seorang pun di sana. Sepertinya, kau harus tunggu beberapa waktu sebelum batasan jumlahnya dikembalikan seperti semula)." Sanggah Sang Putri memberikan argumennya.
"Oh, jebulna mekaten (ternyata begitu) ...." Gumam Akasa akhirnya paham, lalu mulai mengingat nasib gurunya yang menahan sergapan musuh sendirian supaya dirinya bisa melarikan diri dan menjauh dari medan perang.
"Guru Balin ... piyambakipun nguwawi sekawan musuh kiyat kala wau, napa guru sae-sae kemawon (beliau menahan 4 orang musuh yang terlihat kuat sendirian tadi, apa beliau baik-baik saja)?" tanya Akasa khawatir.
"Tenang! Malihan, wonten Catur ingkang dugi mbiantu (kau tidak perlu khawatir! Lagi pula, ada Paman Catur yang datang membantunya)." Jawab Sang Putri dengan santai.
"Ah, mekaten nggih (begitu ya) ...." Gumam Akasa yang kali ini tampak lega. Kemudian, setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Akasa dapat melihat bukit tempat ia mengirim kembali jasad Pak Kumar ke dunia asalnya.
"Sampun keningal (sudah terlihat)! Mangga, sekedhik malih (ayo, sedikit lagi)!" ajak Sang Putri dengan antusias.
"Mbak Dewi ... amargi setunggal kalih hal, kula mboten saged sanjang. Dados, kula badhe sanjangaken sakniki (karena satu dua hal, aku jadi tak sempat menyampaikannya. Jadi, biarkan aku mengatakan ini sekarang) ...." ucap Akasa yang tampaknya ingin memberitahukan suatu hal yang penting pada Sang Putri.
"Hmm?" respons Sang Putri heran.
"Matur nuwun (terima kasih)!" sambung Akasa dengan sedikit malu-malu, hingga membuat Sang Putri merasa sedikit terharu.
"Yen sampeyan mboten nyulik kula wekdal niku, kula mboten badhe saged rumaosaken sedaya keramenan niki. Dados (jika kau tidak menculikku waktu itu, aku pasti tidak akan bisa merasakan semua kesenangan ini. Jadi)- uagghh?!" imbuh Akasa menambahkan, namun justru malah membuat Sang Putri jadi tersinggung, hingga tiba-tiba meninju perut Akasa yang sedari tadi berjalan agak letih.
"Yen sampeyan saged ndagel maketen, kadosipun sampeyan sae-sae kemawon (jika kau bisa bercanda seperti ini, sepertinya kau baik-baik saja)!" ucap Sang Putri sambil menutup mata dan berjalan santai mendahului Akasa seolah tak terjadi apa-apa.
"Oi!! Ngetenkah sampeyan nindak tamu kehormatan? Yen Ibu Ratu mireng niki, sampeyan mesti badhe diomeli sabendintenan (beginikah caramu memperlakukan tamu kehormatan? Jika Ibu Ratu mendengar ini, kau pasti akan diomeli seharian)!" keluh Akasa tidak terima.
"Cah ndableg! Cangkemmu! Kowe ngerti aku sopo? Aku Kanjeng Putri saka kenalendran agung (bocah kurang ajar! Beraninya kau berbicara seperti itu padaku! Jaga mulutmu! Apa kau tidak tahu sedang berbicara dengan siapa? Aku adalah Tuan Putri dari kerajaan agung) ... Kerajaan Ardana!" balas Sang Putri sambil menyombongkan dirinya.
"Nggih, nggih (ya, ya) ... Tuan Putri ingkang (yang) cerewet!" sindir Akasa dengan ketus.
"Opo (apa)?! Wanine kowe (beraninya kau) ...." Omel Sang Putri yang kini mulai tampak kesal menanggapi sikap Akasa yang dirasanya kurang ajar. Sementara di sisi yang lain, Eyang Suci yang mengikuti mereka dari belakang, lama-lama jadi tidak tahan untuk mengatakan sesuatu.
"Siro ngalih ... saged mendel? Kuping tiyang sepuh niki dados kelaran (kalian berdua ... bisakah kalian diam? Kalian membuat telinga orang tua ini jadi sakit)!" tegur Eyang Suci dengan tegas agar perdebatan sengit mereka dapat segera diakhiri.
"Ah ... ngapuntene ing kathah (mohon maaf yang sebesar-besarnya), Eyang Suci!" jawab Akasa dan Sang Putri serempak, namun tetap saling memaki lewat tatapan sinis. Setelah itu, mereka pun akhirnya sampai di tempat yang dituju.
"Nggihpun, mangga kesah! Ampun balik kemawon (ya sudah, silakan pergi! Jangan pernah kembali lagi kemari)!" kata Sang Putri tersenyum puas sambil melambaikan tangan ke arah Akasa yang sudah berdiri di dekat lapisan pelindung gerbang gaib.