[5:40 WIB] Kamar Akasa
Tak terasa, hari sudah mulai berganti. Segala peristiwa yang terjadi di sore kemarin, seolah hanya terasa seperti mimpi. Itulah yang dirasakan oleh Akasa yang baru saja bangun dari tidurnya.
Tampak ia cukup terkejut tatkala di kamarnya, kini sudah ramai dikerumuni oleh sosok Chafik, Ezra dan Raffy, beserta 2 orang bapak-bapak yang masih tertidur pulas, sementara sisanya tidur di kamar tamu yang lain.
Seperti biasa, Akasa pun pergi keluar kamar untuk kembali melanjutkan rutinitas hariannya, yakni lari pagi dan berlatih dengan pedangnya. Namun, ketika ia sedang mencoba-coba sesuatu, tiba-tiba ia berakhir tersangkut di ranting pohon dengan posisi kaki yang menggantung di atas dan kepala di bawah. Lalu tak lama kemudian, mulai terdengarlah suara seseorang yang sedang memanggil namanya.
“Akasa! Dipunpundi sampeyan (dimana kamu)?” sapa sosok seorang wanita yang ternyata adalah Sang Putri.
“Oh, Mbak Dewi! Ing inggil riki (di atas sini)!” balas Akasa dengan penuh perasaan lega.
“Nyapo (apa yang kau lakukan di atas sana)?” tanya Sang Putri keheranan.
“Namung kecelakaan, dados … saged bantu mandhapaken (hanya sedikit tidak beruntung, jadi … bisa tolong bantu turunkan)?” pinta Akasa dengan nada yang sedikit memelas. Setelah itu, Sang Putri pun langsung memotong ranting pohon itu dengan sihir yang berwujud seperti pisau angin, lalu membuat Akasa seketika jatuh ke bawah.
Namun ketika kepalanya hendak menyentuh tanah, tiba-tiba ada semacam energi tak kasat mata yang menahan laju gravitasinya, sehingga membuat tubuh Akasa tampak seperti melayang di udara pada jarak ketinggian sekitar 1 meter, sebelum akhirnya benar-benar terjatuh ke atas alas berumput.
“Ok, matur nuwun (terima kasih)! Dados, sasambetipun kita sinau napa (jadi, apa yang akan kita pelajari selanjutnya)?” tanya Akasa dengan antusias.
“Boten wonten (tidak ada).” Jawab Sang Putri singkat.
“Napa suraosipun boten wonten (apa maksudnya tidak ada)?” tanya lagi Akasa karena keheranan.
“Dinten niki badhe terakir sampeyan latian (hari ini akan jadi hari terakhir kau latihan).” Jawab Sang Putri sekenanya.
“Oh! Napa samangke kesagedanku sampun diakui (apa sekarang kemampuanku sudah diakui)?” balas Akasa dengan perasaan bangga dan penuh percaya diri. Namun bukannya mendapat pujian, hal itu justru malah makin memancing rasa kesal dari Sang Putri.
“Ouch!” erang Akasa yang kaget karena tiba-tiba dijitak oleh Sang Putri.
“Ampun sombong! Sampeyan taksih mboten tirah sae saking cemen (jangan besar kepala dulu! Kemampuanmu itu masih tak lebih hebat dari seekor anakan kucing)!” ejek Sang Putri dengan ketus.
“Lajeng, punapa Mbak sanjang terakir (lalu, kenapa Mbak bilang ini adalah terakhir)?” tanya Akasa keheranan.
“Kajengipun Bunda Ratu kemawon ingkang nggenahaken. Dherek kula teng aula utami samangke (biar Bunda Ratu saja yang menjelaskan. Ikut aku ke aula utama sekarang)!” ajak Sang Putri dengan nada tegas.
“Oh, nggihpun (baiklah)!” angguk Akasa menyetujui ajakan dari Sang Putri.